Jumat, 09 November 2012

Pilpres Indonesia 2014 seperti Pilpres Amerika Serikat

Pilpres di Amerika Serikat baru saja usai dengan kemenangan Barack Obama dari Partai Demokrat. Barack Obama terpilih dengan kemenangan telak 303-206 atas Mitt Romney pada lapis utusan (electoral college) dari 50 negara bagian ditambah satu daerah khusus Washington, kecuali Florida. Pada lapis pemilih, Obama untuk sementara unggul 60,6 juta dibandingkan 57,7 juta suara.
               
Selama beberapa minggu terakhir, pilpres AS menjadi topik yang sangat menarik dibahas di media baik oleh kalangan cerdik pandai maupun wartawan. Ada banyak kacamata yang digunakan dalam melihat Pilpres AS ini. Sebagian menilai dari sisi sebab sebab kemenangan Obama, ada yang melihat bagaimana hubungan Indonesia AS akan dibangun dibawah pemerintahan Obama jilid yang ke II ini dan ada juga yang mengkritik pemerintah Indonesia yang tidak mampu menggunakan momentum ini untuk kepentingan Indonesia mengingat ada keterkaitan historis Obama dengan Jakarta. Semua pendapat-pendapat yang mengemuka itu tentu ada benar dan salahnya.

Dalam polling yang dipublikasikan oleh beberapa media dan lembaga survei tergambar bahwa pilpres AS kali ini adalah pemilu yang sangat ketat, melampaui ketatnya pilpres 1960 ketika John F Kennedy bertarung dengan Richard Nixon. Di Indonesia sendiri mungkin belum ada pilpres yang sedemikian ketatnya, tidak di 2008 dan tidak juga di 2004 lalu yang keduanya dimenangkan SBY. Mengapa sampai sedemikian ketatnya? Berbeda dengan pilpres di Indonesia, pilpres di AS adalah pertarungan dua visi dan ideologi berbeda. Romney adalah konservatif dari Republikan yang seorang konglomerat pemilik Bain Capital. Sedangkan Obama adalah seorang liberal dari Demokrat yang pernah menjalani masa pubernya di Indonesia. Tahun 1967, ketika Obama masih bersekolah di Jakarta, Gubernur Michigan George Romney ayah dari Mitt Romney yang juga capres AS ketika itu datang ke Jakarta menemui Presiden Soeharto. Mungkin tidak disadari Obama bahwa kelak ia akan bertarung di pilpres AS dengan putra sang gubernur. Disini pun jelas tergambar latar belakang masa kecil dari Romney dan Obama.
          
Selama kampanye Obama sedikit lebih menonjol dibandingkan Romney. Obama ingin pemerintah ikut campur tangan dalam hal sistem asuransi kesehatan serta pendidikan anak Amerika, sementara Romney tidak berpihak ke arah sana. Romney menekankan prinsip pasar bebas itu tetap berlaku. Ada yang beranggapan bahwa Romney juga adalah simbol kapitalisme yang membawa kepentingan Wall Street. Obama bertekad membawa AS menjadi welfare state mirip di Eropa, sebaliknya Romney sangat menganjurkan free and open competition yang menjunjung tinggi kerja keras dan kapitalisme.

Dalam polling yang dipublikasikan kompas pada 7 November 2012, Obama didukung oleh 56% dari kalangan yang berpendapatan 36.000 dollar per tahun, sementara Romney hanya memperoleh dukungan 38%. Namun untuk kelas yang berpendapatan  90.000 dollar per tahun, dukungan kepada Romney mencapai 52% dan Obama hanya 44%. Angka ini jelas menjadi potret perbedaan ideologi dan keberpihakan yang mereka bawa.

Dan perlu diketahui bahwa tiga per empat pemilih mengaku bahwa faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama memilih kali ini. Hal ini menggambarkan bahwa mayoritas pemilih AS secara rasional menyadari bahwa apa yang terjadi dengan ekonomi Amerika Serikat sekarang bukanlah kesalahan kebijakan Obama sebelumnya melainkan faktor pertumbuhan ekonomi global yang melamban. Kepercayaan masyarakat AS ini menjadi penting karena saat ini AS sedang diancam krisis anggaran dengan defisit sekitar 1 miliar dollar AS per tahun dan utang publik mencapai 16 trilliun dollar AS. Belum lagi ditambah dengan 50 juta warga miskin yang mengandalkan kupon makan gratis pemerintah dan 23 juta orang pengangguran. Angka angka ini menjadi gambaran yang wajar mengapa faktor ekonomi menjadi alasan pemilih dan itu artinya ideologi ekonomi dan titik keberpihakan capres AS ini sangat berpengaruh banyak pada distribusi suara.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kebalikan dengan Indonesia pada pilpres pilpres yang lalu, hampir tidak ada pertarungan ideologi yang jelas. Di pilpres 2004 misalnya, pada pilpres putaran kedua ketika Megawati dengan partai pengusung PDIP membawa jargon ekonomi kerakyatan dan lawannya SBY dari Demokrat yang menunjukkan ideologi demokratisnya. Di 2008 juga tidak jauh berbeda ketika Megawati tetap membawa jargon wong cilik dan ekonomi kerakyatan dan SBY dengan jargon lanjutkan serta Jusuf Kalla yang membawa jargon lebih cepat lebih baik. Dari ketiga calon ini saya hampir tidak melihat perbedaan dan pertarungan ideologi yang ketat dalam visi membawa Indonesia ke arah mana. Prinsip ekonomi kerakyatan memang bisa menjadi ideologi ekonomi namum jika tidak jelas arahnya hanya akan sebatas jargon. Begitu juga dengan jargon lebih cepat lebih baik yang sama sekali tidak menunjukkan ideologi yang dibawa. Dalam kampanye, yang “dijual” selalu tidak jauh jauh dari pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Maka dari itu visi yang dibawa juga semuanya hampir sama dan abu abu. Pada praktik pemerintahan juga begitu, SBY menekankan pro poor, pro growth, pro job dan pro environment. Ini bukanlah ideologi maupun strategi dalam mencapai visi Indonesia. Bagi saya apapun ideologinya, apa yang dimaksudkan SBY inilah tujuan yang ingin dicapai. Masalahnya adalah bagaimana cara mencapai tujuan tersebut tidaklah tercermin dalam ideologi partai yang mengklaim sebagai Nasionalis Religius ini.
  
Pilpres AS juga jelas merupakan pertarungan antar dua ideologi mengenai titik pengenaan pajak. Obama dan Romney bertarung menunjukkan letak keberpihakan terhadap rakyatnya. Obama jelas lebih memilih titik pengenaan pajak pada kalangan menengah ke atas sedangkan Romney sebaliknya justru melindungi kalangan menengah ke atas untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi lewat investasi investasi oleh kalangan atas yang dimungkinkan jika pajak bagi mereka tidak terlalu berat. Masalah titik pengenaan pajak ini penting mengingat taipan dan pialang saham Warren Buffet pernah mengatakan bahwa ia merasa aneh bahwa pajak yang dibayar oleh pekerjanya lebih besar daripada pajak yang ia bayar. Hal ini sangat penting juga dibahas pada kampanye pilpres Indonesia kelak.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa visi Indonesia adalah “membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”. Menurut saya, penjabaran dan ideologi dalam pencapaian visi negara inilah yang harus dipertarungkan dalam pilpres. Masalah pendidikan dan kesehatan gratis tidak lagi relevan dibawa ke ranah kampanye karena sudah menjadi kewajiban negara untuk melindunginya sesuai amanat UUD 1945. Butuh semacam ability to see unseeing things sehingga jelas tidak mudah menjadi pemimpin Indonesia. Jika hal ini diamini maka akan banyak yang menyadari bahwa dia tidak layak mejadi presiden bahkan menjadi capres saja pun, bukan justru berlomba mengaku diri layak menjadi presiden. Bertarung pada ranah ideologi membutuhkan wawasan politik, kenegaraan, kepekaan dan visi yang mumpuni. Inilah yang terjadi di AS dan sayangnya belum terjadi di Indonesia.

Semoga kelak di pilpres 2014, capres capres Indonesia sudah menunjukkan kemampuan dan keberanian bertarung pada ranah ideologi, titik keberpihakan yang jelas, dan penjabaran strategi akan pencapaian visi Indonesia secara tegas, tidak sebatas retorika yang abu-abu dan suam-suam kuku saja. Tidak kalah pentingnya juga adalah semoga pemilih semakin rasional dan cerdas, tidak diperdaya oleh janji gratisan ketika kampanye melainkan mampu menetapkan pilihan yang argumentatif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar