Senin, 26 November 2012

Feodalisme dan Anti-Kritik Masihkah Relevan?


Feodalisme berasal dari bahas Latin yakni feodum atau feudum. Secara historis, istilah feudum ini berkembang pada Abad Pertengahan di Eropa yang kaitannya dengan kekuasaan bangsawan yang dijual kepada kalangan borjuis atau ksatria untuk menguasai lahan/tanah dan menyerahkan upeti kepada kerajaan. Pola ini membentuk hirarkis dimana kalangan borjuis atau ksatria berada dibawah kekuasaan bangsawan dan sekaligus membawahi rakyat jelata. Kelak, sistem sumber pendapatan kerajaan dengan cara inilah yang mengawali lahirnya sistem pajak.

Pengertian feodalisme ini oleh para ekspertis kemudian dikembangkan sehingga pengertiannya pun menjadi jauh lebih luas. Pemaknaan mengenai feodalisme kemudian meliputi sikap yang mengagungkan kekuasaan, pangkat ataupun jabatan serta bertahan pada nilai nilai lama yang sudah ditinggalkan. Mental feodalisme seolah membenarkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan atau pangkat maupun jabatan berhak sewenang-wenang pada pihak yang dikuasainya atau orang yang secara hierarki berada dibawahnya. Lebih jauh lagi, seorang bawahan tidak layak menegur atasan. Oleh karena itu, beberapa pengamat juga memasukkan feodalisme sebagai salah satu sebab terjadinya korupsi.

Di era sekarang dimana alam demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, budaya feodalisme sudah tidak lagi relevan. Di dalam lingkaran kekuasaan politik dan birokrasi, karakter feodalis masih tetap ada sekalipun tidak sesubur di masa kepemimpinan diktator Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto, Bapak Pembangunan. Kita belum berbicara tentang wakil rakyat, yang tidak akan ada habisnya diperbincangkan di tulisan ini jika dikaitkan dengan mental feodalis.

Meskipun pada dasarnya tidak wajar dimaklumi, namun kita seolah sudah dapat memaklumi feodalisme di lingkaran kekuasaan politik. Namun yang mengejutkan tentu saja adalah ketika mental feodalisme ini juga terpelihara di lingkungan akademis yaitu kampus, sengaja atau tidak sengaja. Pada dasarnya kampus adalah tempat belajar, diskusi akademis, dan riset. Proses belajar yang baik tentu saja yang mengikutsertakan situasi diskusi yang baik. Suatu teori tidak begitu saja mutlak harus diterima terus-menerus karena suatu saat suatu teori akan jatuh oleh fakta-fakta baru diiringi argumentasi yang meyakinkan. Ilmu pengetahuan pun senantiasa berkembang termasuk proses pembelajaran itu sendiri. Suatu teori akan terus menerus diuji oleh perubahan dan perkembangan zaman apakah masih relevan atau tidak.

Sulit bagi penulis untuk melupakan kejadian beberapa bulan lalu di kelas Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai (PHKC). Seorang teman menanyakan urgensi dipertahankannya status Importir Mitra Utama Prioritas (MITA-P). Importir MITA-P ini adalah importir yang dokumen impornya tidak diteliti dan barang impornya tidak diperiksa sama sekali. Argumen yang disampaikan oleh teman mahasiswa ini adalah, MITA-P ini tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pabean dan menyalahi cita-cita untuk melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang tidak diperiksa ke wilayah Indonesia. Bea Cukai seolah kehilangan perannya sebagai homeland protection agency demi mengakomodasi keinginan masyarakat usaha atas kecepatan proses clearence barang. Pengajar PHKC yang ditanyakan pendapatnya justru menunjukkan raut wajar dan nada bicara emosi. “Siapa anda? Urusan apa anda? Anda itu belajar disini. Peraturan ini dibuat oleh wakil rakyat, anda harus patuh saja. Patuh pada atasan jangan mau dipengaruhi orang lain” begitulah kira-kira jawaban pengajar secara berulang-ulang dengan penekanan bahwa sebagai mahasiswa tidak pantas untuk menanyakan relevansi dan konsistensi sebuah aturan.

Hal ini tentu saja mengecawakan karena opini tidak di-counter  dengan opini tetapi justru dijawab dengan tinggi rendahnya status. Lalu apakah karena masih menyandang status sebagai mahasiswa yang memiliki ikatan dinas kita tidak boleh mempertanyakan sebuah kebijakan? Sangat wajar tentunya mahasiswa bertanya dan menyampaikan pendapatnya terkait suatu kebijakan apalagi pada saat jam belajar. Larangan membantah atasan di dunia kerja mungkin masih wajar diterima, tetapi larangan bertanya di kelas seperti ini tentu masih perlu dipirkan kembali. Jika memang pengajar sudah termasuk ahli di bidangnya dan punya sejuta pengalaman di dunia kerja, tentu saja pertanyaan seperti ini dapat dengan mudah dijawab dengan argumentasi yang kuat.

Secara psikologis, emosi sering kali muncul dalam debat karena ketidakmampuan dan minimnya kompetensi pada  hal yang diperdebatkan. Namun rasanya tidak pantas jika kita meragukan kemampuan pengajar, yang wajar kita sayangkan hanyalah sikap anti-kritik dan iklim diskusi yang tidak sehat. Lagipula, setelah diteliti lebih jauh ditemukan bahwa dasar peraturan yang mengatur importir MITA-P ini bukanlah Undang Undang melainkan peraturan menteri dan peraturan dirjen, artinya tidak ada keterlibatan wakil rakyat dalam pembuatannnya.

Kita tentu merindukan sebuah situasi belajar yang kondusif untuk sarana diskusi karena hanya dengan jalan diskusi dan berargumentasi kita bisa menemukan ide ide dan formulasi terbaik dalam pengambilan kebijakan. Idealnya, dunia kampuslah yang membantu dan memberikan masukan pada pemerintah pada saat proses pengambilan kebijakan. Menarik membayangkan STAN atau Pusdiklat Bea dan Cukai tidak hanya sekedar lembaga pendidikan dan pelatihan tetapi juga lembaga riset atas kebijakan yang akan atau sudah diambil di eselon I Kementrian Keuangan. Bagaimanapun, mahasiswalah yang kelak akan mewarisi tongkat estafet kepemimpinan dan tentu saja ide ide segar dan konstruktif sangat dibutuhkan.

Dalam sejarah pun, ada kejadian besar yang lebih besar terkait kekuasaan yang anti-kritik ini. Galileo Galilei pernah dipenjara karena penemuannya yang mendukung teori Copernicus bahwa Bumi bergerak mengelilingi Matahari bukan sebaliknya. Pada masa itu, teori yang masih dipakai adalah teori Aristoteles bahwa bumilah yan menjadi pusat alam semesta. Oleh Gereja Katholik, pandangan Galileo Galilei dianggap merusak iman. Feodalisme dan sikap anti-kritik gereja pada masa itulah yang membuat Galileo akhirnya meninggal dalam tahanan rumah. Baru tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa hukuman kepada Galileo adalah salah.

Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud  melawan, hanya merupakan otokritik agar kelak ada perbaikan. Budaya anti-kritik sudah saatnya dihilangkan dan dimulai dari dunia kampus. Hanya karena kita ikatan dinas, tidak berarti bahwa setiap tingkah laku kita harus dikaitkan dengan ancaman tidak akan ditempatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar