Sabtu, 15 Desember 2012

Que Leges sine Moribus



Korupsi sudah menjadi permasalahan panjang dan serius sejak berabad-abad lalu, terbukti lewat tulisan PM Chandragupta tentang 40 cara mencuri kekayaan negara di India sekitar 2300 tahun lalu. Bahkan selama Abad Pertengahan di Eropa, ketika Gereja Katolik Roma terus memegang kekuasaan, dengan Paus sebagai pemegang kekuasaan atas semua jenjang kehidupan dan hidup seperti raja, korupsi dan ketamakan dalam kepemimpinan gereja adalah hal yang umum. Di China ribuan tahun lalu,ada Yang-lian yakni hadiah untuk pejabat negara yang bersih sebagai cara menekan korupsi. Begitu juga di Hindia Belanda di awal abad ke 20, VOC bangkrut karena korupsi. Hal ini berlanjut terus hingga Indonesia merdeka di era Orde Lama, Orde Baru hingga saat reformasi yang salah satu sebabnya adalah  masalah  korupsi. Setelah reformasi pun korupsi terus terjadi bahkan skalanya semakin masif di hampir seluruh lembaga negara, menggurita dan mencengkram negara Indonesia.

Korupsi yang terjadi Indonesia secara teoretis wajar terjadi karena masih bergerak pada fase transisi politik dan ekonomi menuju demokrasi. Ketika kendali otoriter diruntuhkan melalui liberalisasi ekonomi (partisipasi) dan demokratisasi politik (transparansi), namun belum digantikan oleh mekanisme check and balances yang demokratis serta institusi yang mendapat pengakuan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas); tingkat korupsi akan meningkat dan mencapai puncaknya sebelum declining sampai pada sistem pemerintahan yang benar-benar demokratis sempurna.

Memahami korupsi di Indonesia tepat bila menggunakan persamaan Klitgaard yaitu C=D+M-A. C=Corruption, M=Monopoly, D=Discretion, A=Accountability. Artinya adalah bahwa korupsi bisa terjadi apabila seseorang mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu  dan ditunjang oleh diskresi (mengambil kebijakan diluar ketentuan) dalam menggunakan kekuasaannya sehingga akan cenderung menyalahgunakannya, serta kurang dalam hal pertanggungjawabannya. Oleh karena itu jelas bahwa korupsi adalah masalah sistem dan sangat erat kaitannya dengan kewenangan/kekuasaan. Dari persamaan Klitgaard dapat dilihat bahwa di dalam KPK sendiri sebagai intitusi pemberantasan korupsi terdapat potensi masalah bawaan karena wewenangnya yang sangat besar. Lord Acton mengatakan bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Maka dari itu, solusi pemberantasan korupsi yang hanya fokus pada  penegakan hukum tidaklah terlalu tepat. Pendekatan moral dan etika, edukasi, dan sosiologis harus diutamakan berbarengan dengan penegakan hukum. Pendekatan ini perlu karena “Korupsi merupakan produk konstruksi sosial. Korupsi di kalangan bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan korupsi kalangan atas yang lebih dahsyat” (William J Chambliss,1975). Dalam Penjelasan UU no 30 tahun 2002 tentang KPK pun disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga pemberantasannya pun harus dengan menggunakan cara-cara luar biasa.

Dalam prosesnya, penegakan hukum hendaknya dilakukan secara senyap namun menebas tanpa pandang bulu.  Pola kerja penegak hukum terkait korupsi, dalam hal ini KPK, dapat dilakukan sepeti Densus 88 yang menindak terorisme secara fokus hingga ke akar-akarnya. Penyelesaian terhadap penindakan kasus korupsi juga hendaknya memberi dampak penjeraan yang kuat. Hukuman terhadap koruptor layak untuk dibuat lebih berat bahkan memungkinkan untuk hukuman mati tetapi dengan satu syarat mutlak yaitu penegak hukum harus sudah siap dan tidak tebang pilih. Penerapan UU Pencucian Uang dan Asas pembuktian terbalik juga mutlak dilaksanakan agar tujuan pemiskinan koruptor bisa tercapai. Sejalan dengan itu, Indonesia juga perlu meratifikasi anti-illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah) seperti tertuang di United Nations Conventions Against Corruption pasal 20.

Jika tidak dibarengi dengan hukuman yang berat, pemiskinan koruptor dan sanksi sosial dari masyarakat, penegakan hukum tidak akan berdampak signifikan. Pada praktiknya di Indonesia, seorang pejabat yang dituduh korupsi dan bahkan telah divonis bersalah sekalipun, bisa jadi masih mendapat tempat terhormat di masyarakat. Ini dapat dipahami sebagai bagian dari masih suburnya budaya feodalisme di Indonesia. Namun sebagai bagian dari orkestrasi penanganan korupsi, perlu dibangun gerakan moral untuk memberikan sanksi sosial bagi koruptor. Sanksi sosial dapat berupa menyita seluruh hak milik (diserahkan ke negara), memberlakukan kerja sosial, menjadikan keluargnya (suami/istri dan anak) sebagai anak negara dan melokalisasi mereka dalam kluster hunian khusus. Mengingat risiko berupa sanksi sosial yang berat, calon koruptor akan berpikir berulang kali untuk melakukan korupsi.
            
Perlu diperhatikan bahwa institusi penegak hukum tidak boleh terlalu bereuforia dengan banyaknya penindakan kasus korupsi. Semakin banyak kasus korupsi yang terbongkar adalah prestasi namun disisi lain merupakan gambaran bahwa tingkat korupsi tidak menurun. Seharusnya apabila upaya pemberantasan korupsi berhasil maka dari tahun ke tahun semakin sedikit politisi dan birokrat yang ditangkap karena kasus korupsi.
            
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhasil apabila hanya bertumpu pada institusi penegak hukum semata karena korupsi telah menyentuh hampir seluruh aspek kenegaraan dan kebangsaan. Solusi penanganan korupsi  yang terbaik adalah dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam sistem pemberantasan korupsi yang holistis (menyeluruh). Perlu perbaikan sistem pada semua level pemerintahan dan semua struktrur sosial masyarakat. Tujuannya jelas sangat strategis yaitu menjadikan korupsi dari beresiko kecil dengan keuntungan besar menjadi beresiko tinggi dengan keuntungan kecil. Konsep ini merupakan gerakan anti korupsi yang melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah. Proses ini tentu saja bukanlah seperti racun kontak yang langsung mematikan namun dapat memberantas korupsi sampai pada level yang dapat diterima dan meningkatkan integritas dalam tata pemerintahan secara keseluruhan.
            
Sebagai pondasi awal dari keseluruhan sistem ini perlu dibangun sistem nilai moral. Nilai nilai moral anti korupsi dalam masyarakat khususnya masyarakat usaha yang terkait dengan birokrasi. Kebiasaan  menyerahkan “upeti” layaknya warisan budaya feodalisme sudah saatnya ditinggalkan dan perlu digaungkan suatu gerakan nasional mengenai hal ini. Harus dibangun budaya bahwa compliance terhadap aturan adalah keunggulan kompetitif dari entitas bisnis. Dengan cara ini kita tidak akan melihat lagi percobaan penyuapan terhadap pegawai pajak dan beacukai, misalnya.
            
Nilai pondasi kedua harus dibangun awareness dan sikap peduli dari masyarakat akan kondisi pemerintahan. Kalangan menengah yang selama ini dianggap apatis terhadap kondisi pemerintah perlu terus menerus bergerak memobilisasi kekuatannya untuk “menekan” pemerintah agar tetap on the track. Masyarakat menjadi watchdog terhadap jalannya pemerintahan.
            
Diatas pondasi moral tersebut, kita juga membutuhkan perbaikan pada lembaga legislatif agar sistem pemerintahan Indonesia tidak menjadi legislative heavy. Perlu ada pemisahan peran yang jelas, dan anggota legislatif dibatasi perannya pada pembuatan undang-undang, meluruskan politik anggaran dan mengawasi pemerintah. Lobi-lobi kelompok kepentingan untuk mengarahkan produk legislasi perlu dihindari dan yang paling penting kelak sistem perwakilan di Indonesia harus disempurnakan menjadi sistem dua kamar sempurna (Hamzah,2012). Adalah penting juga mereduksi keterlibatan lembaga legislatif pada pembahasan anggaran cukup sampai level kebijakan saja. Selama ini lembaga legislatif terlibat mulai dari penyusunan kebijakan, program, proyek dan bahkan kegiatan, yang memungkinkan adanya deal-deal dengan pengusaha dan kepentingan lain. Korupsi di DPR akhir-akhir ini yang terbanyak adalah karena masalah ini, baik itu dengan pengusaha maupun satuan kerja pemerintahan yang membutuhkan alokasi anggaran.
            
Lembaga eksekutif dipimpin oleh kepala pemerintahan yakni Presiden harus menunjukkan keteladanan dan berpijak pada etika. Pesan keteladanan akan tersampaikan lewat media massa yang bebas. Fokus perbaikan sistem di eksekutif yang penting adalah pengadaan barang dan jasa publik, proses pengambilan keputusan yang terhindar dari konflik kepentingan serta hubungannya dengan lembaga peradilan.
            
Birokrasi sebagai pelaksana dari eksekutif harus membangun budaya melayani publik dalam menjalankan kebijakan. Tiap-tiap lembaga pemerintahan harus didorong terus menerus untuk berlomba dalam pelayanan publik dan harus ada reward untuk lembaga yang menurut persepsi publik telah memberikan pelayanan maksimal. Untuk menyelesaikan masalah desentralisasi keuangan negara ke daerah, perlu dilatih lebih banyak akuntan yang kompeten dan berintegritas agar mampu mensuvervisi daerah dalam hal pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan dan akuntabel.
            
Khusus untuk penyelenggara negara dan PNS diwajibkan untuk menyerahkan laporan kekayaannya. Dan diberikan konsekuensi bagi yang tidak bersedia menyerahkan laporan kekayaannya. Untuk PNS mungkin diberikan sanksi penundaan kenaikan pangkat/golongan sehingga ruang gerak untuk menerima uang gratifikasi semakin berkurang. Pemeriksaan laporan kekayaan memang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit dan perlu dibangun sistem yang baik untuk itu.
            
Lembaga peradilan harus independen, tidak memihak dan mampu menjalankan fungsinya untuk memastikan bahwa jalannya pemerintahan telah sesuai dengan undang-undang. Lembaga lain bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi khusus lembaga peradilan bertanggung jawab pada nilai-nilai yang jauh lebih tinggi. Penting juga untuk meningkatkan kesejahteraan hakim sampai pada level cukup atau lebih dari cukup untuk  karena dengan kesejahteraan yang minim dan potensi godaan yang tinggi, suap akan tetap terjadi.
            
Korupsi politik yang terjadi melibatkan partai politik juga harus diselesaikan dengan membangun sistem yang komprehensif. Perlu dilakukan reformasi dalam pembiayaan untuk kampanye politik karena sistem pemilu di Indonesia menuntut dana yang tidak sedikit. Jika dana partai politik tidak bisa diperoleh secara legal, biaya amat besar untuk kampanye politik bisa memunculkan korupsi. Solusi mewajibkan partai politik yang ikut pemilu diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal pembiayaan kampanyenya. Selama ini keuangan partai politik belum tersentuh padahal sangat penting untuk tahu sistem pendanaan partai politik untuk mengetahui adanya interest dari donatur donatur parpol yang kelak akan mempengaruhi kebijakan parpol.
            
Semakin luas transparansi dan keterbukaan yang dikembangkan masyarakat, makin banyak informasi yang dapat diserap oleh masyarakat. Karena itu tidak mungkin masyarakat menyerap semua informasi yang tersaji. Di sini peran media menjadi sangat penting untuk mernyaring semua informasi setiap hari, memilih dengan arif sambil mempertimbangkan kepentingan publik. Media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Pemilikan media secara perorangan sangat berbahaya bagi sistem demokrasi. Tingkat kebebasan media adalah tingkat yang dapat dicapai untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang efektif atas perilaku pejabat publik.      
            
Masyarakat yang apatis terhadap hak-haknya, membuka peluang yang besar bagi terjadinya korupsi. Untuk tujuan ini, dibutuhkan kampanye terus-menerus untuk menumbuhkan kesadaran warga masyarakat, terutama kesadaran tentang kerugian akibat korupsi. Media massa merupakan alat ampuh untuk membongkar kasus-kasus korupsi, sekaligus merangsang pertumbuhan kesadaran warga masyarakat. Disini juga perlu peran LSM untuk melakukan edukasi anti korupsi pada masyarakat dan mengorganisir masyarakat dalam mengontrol jalannya pemerintahan mulai dari yang paling kecil yakni pemerintahan desa.
            
Pentingnya Moral
            
Horace menyampaikan sebuah pendapat yang populer yaitu  “Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas?”. Seberapapun baiknya sistem pencegahan korupsi yang dibangun dan betapapun baiknya hukum yang dibuat untuk memberantas korupsi, semuanya akan sia-sia jika tidak disertai moralitas. Absennya moralitaslah yang membuat pejabat mengambil keputusan-keputusan diluar akal sehat dan nurani. Absennya moralitas juga membuat kita sulit membedakan antara benar-salah, baik-buruk, wajar-tidak wajar. Maka dari itu, pondasi moralitas adalah mutlak sebelum memulai gerakan pemberantasan korupsi ini.

(Artikel ini membawa saya menjuarai sebuah kompetisi artikel antikorupsi di Semarang)

Senin, 26 November 2012

Feodalisme dan Anti-Kritik Masihkah Relevan?


Feodalisme berasal dari bahas Latin yakni feodum atau feudum. Secara historis, istilah feudum ini berkembang pada Abad Pertengahan di Eropa yang kaitannya dengan kekuasaan bangsawan yang dijual kepada kalangan borjuis atau ksatria untuk menguasai lahan/tanah dan menyerahkan upeti kepada kerajaan. Pola ini membentuk hirarkis dimana kalangan borjuis atau ksatria berada dibawah kekuasaan bangsawan dan sekaligus membawahi rakyat jelata. Kelak, sistem sumber pendapatan kerajaan dengan cara inilah yang mengawali lahirnya sistem pajak.

Pengertian feodalisme ini oleh para ekspertis kemudian dikembangkan sehingga pengertiannya pun menjadi jauh lebih luas. Pemaknaan mengenai feodalisme kemudian meliputi sikap yang mengagungkan kekuasaan, pangkat ataupun jabatan serta bertahan pada nilai nilai lama yang sudah ditinggalkan. Mental feodalisme seolah membenarkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan atau pangkat maupun jabatan berhak sewenang-wenang pada pihak yang dikuasainya atau orang yang secara hierarki berada dibawahnya. Lebih jauh lagi, seorang bawahan tidak layak menegur atasan. Oleh karena itu, beberapa pengamat juga memasukkan feodalisme sebagai salah satu sebab terjadinya korupsi.

Di era sekarang dimana alam demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, budaya feodalisme sudah tidak lagi relevan. Di dalam lingkaran kekuasaan politik dan birokrasi, karakter feodalis masih tetap ada sekalipun tidak sesubur di masa kepemimpinan diktator Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto, Bapak Pembangunan. Kita belum berbicara tentang wakil rakyat, yang tidak akan ada habisnya diperbincangkan di tulisan ini jika dikaitkan dengan mental feodalis.

Meskipun pada dasarnya tidak wajar dimaklumi, namun kita seolah sudah dapat memaklumi feodalisme di lingkaran kekuasaan politik. Namun yang mengejutkan tentu saja adalah ketika mental feodalisme ini juga terpelihara di lingkungan akademis yaitu kampus, sengaja atau tidak sengaja. Pada dasarnya kampus adalah tempat belajar, diskusi akademis, dan riset. Proses belajar yang baik tentu saja yang mengikutsertakan situasi diskusi yang baik. Suatu teori tidak begitu saja mutlak harus diterima terus-menerus karena suatu saat suatu teori akan jatuh oleh fakta-fakta baru diiringi argumentasi yang meyakinkan. Ilmu pengetahuan pun senantiasa berkembang termasuk proses pembelajaran itu sendiri. Suatu teori akan terus menerus diuji oleh perubahan dan perkembangan zaman apakah masih relevan atau tidak.

Sulit bagi penulis untuk melupakan kejadian beberapa bulan lalu di kelas Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai (PHKC). Seorang teman menanyakan urgensi dipertahankannya status Importir Mitra Utama Prioritas (MITA-P). Importir MITA-P ini adalah importir yang dokumen impornya tidak diteliti dan barang impornya tidak diperiksa sama sekali. Argumen yang disampaikan oleh teman mahasiswa ini adalah, MITA-P ini tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pabean dan menyalahi cita-cita untuk melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang tidak diperiksa ke wilayah Indonesia. Bea Cukai seolah kehilangan perannya sebagai homeland protection agency demi mengakomodasi keinginan masyarakat usaha atas kecepatan proses clearence barang. Pengajar PHKC yang ditanyakan pendapatnya justru menunjukkan raut wajar dan nada bicara emosi. “Siapa anda? Urusan apa anda? Anda itu belajar disini. Peraturan ini dibuat oleh wakil rakyat, anda harus patuh saja. Patuh pada atasan jangan mau dipengaruhi orang lain” begitulah kira-kira jawaban pengajar secara berulang-ulang dengan penekanan bahwa sebagai mahasiswa tidak pantas untuk menanyakan relevansi dan konsistensi sebuah aturan.

Hal ini tentu saja mengecawakan karena opini tidak di-counter  dengan opini tetapi justru dijawab dengan tinggi rendahnya status. Lalu apakah karena masih menyandang status sebagai mahasiswa yang memiliki ikatan dinas kita tidak boleh mempertanyakan sebuah kebijakan? Sangat wajar tentunya mahasiswa bertanya dan menyampaikan pendapatnya terkait suatu kebijakan apalagi pada saat jam belajar. Larangan membantah atasan di dunia kerja mungkin masih wajar diterima, tetapi larangan bertanya di kelas seperti ini tentu masih perlu dipirkan kembali. Jika memang pengajar sudah termasuk ahli di bidangnya dan punya sejuta pengalaman di dunia kerja, tentu saja pertanyaan seperti ini dapat dengan mudah dijawab dengan argumentasi yang kuat.

Secara psikologis, emosi sering kali muncul dalam debat karena ketidakmampuan dan minimnya kompetensi pada  hal yang diperdebatkan. Namun rasanya tidak pantas jika kita meragukan kemampuan pengajar, yang wajar kita sayangkan hanyalah sikap anti-kritik dan iklim diskusi yang tidak sehat. Lagipula, setelah diteliti lebih jauh ditemukan bahwa dasar peraturan yang mengatur importir MITA-P ini bukanlah Undang Undang melainkan peraturan menteri dan peraturan dirjen, artinya tidak ada keterlibatan wakil rakyat dalam pembuatannnya.

Kita tentu merindukan sebuah situasi belajar yang kondusif untuk sarana diskusi karena hanya dengan jalan diskusi dan berargumentasi kita bisa menemukan ide ide dan formulasi terbaik dalam pengambilan kebijakan. Idealnya, dunia kampuslah yang membantu dan memberikan masukan pada pemerintah pada saat proses pengambilan kebijakan. Menarik membayangkan STAN atau Pusdiklat Bea dan Cukai tidak hanya sekedar lembaga pendidikan dan pelatihan tetapi juga lembaga riset atas kebijakan yang akan atau sudah diambil di eselon I Kementrian Keuangan. Bagaimanapun, mahasiswalah yang kelak akan mewarisi tongkat estafet kepemimpinan dan tentu saja ide ide segar dan konstruktif sangat dibutuhkan.

Dalam sejarah pun, ada kejadian besar yang lebih besar terkait kekuasaan yang anti-kritik ini. Galileo Galilei pernah dipenjara karena penemuannya yang mendukung teori Copernicus bahwa Bumi bergerak mengelilingi Matahari bukan sebaliknya. Pada masa itu, teori yang masih dipakai adalah teori Aristoteles bahwa bumilah yan menjadi pusat alam semesta. Oleh Gereja Katholik, pandangan Galileo Galilei dianggap merusak iman. Feodalisme dan sikap anti-kritik gereja pada masa itulah yang membuat Galileo akhirnya meninggal dalam tahanan rumah. Baru tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa hukuman kepada Galileo adalah salah.

Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud  melawan, hanya merupakan otokritik agar kelak ada perbaikan. Budaya anti-kritik sudah saatnya dihilangkan dan dimulai dari dunia kampus. Hanya karena kita ikatan dinas, tidak berarti bahwa setiap tingkah laku kita harus dikaitkan dengan ancaman tidak akan ditempatkan.

Kamis, 15 November 2012

Kontroversi Undang Undang Migas


Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan menyatakan bahwa fungsi dan wewenang BP Migas beralih ke Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan ini sarat dengan kontroversi, dan seperti biasa ada cukup banyak analisis yang dilakukan oleh cerdik pandai maupun oleh orang awam dan melihat dari sisi yang beragam.

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang keputusan MK ini tentu perlu juga kita kaji mengenai fakta-fakta terkait dunia perminyakan dan energi kita. Pengaturan mengenai migas diatur dalam UU Migas no 22/2001. UU mengenai migas seharusnya sangat penting karena sama dengan UU Keuangan Negara merupakan UU organik yang lahir dari pesan dan perintah UUD 1945 pada pasal 33 yaitu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sejarah UU Migas
Secara historis, UU Migas ini sarat dengan kepentingan asing. Draft UU Migas pertama kali dikerjakan oleh konsultan US AID, diajukan sebagai draft Undang undang ke DPR oleh Mentri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto. DR. Rizal Ramli pada saat itu menjadi penasehat ekonomi fraksi ABRI dan fraksi-fraksi DPR lainnya menyarankan agar DPR menolak draft UU Migas tersebut. Dan memang DPR pada waktu itu akhirnya menolak dan meminta diperbaiki. Pada masa pemerintahan Gus Dur pembahasan draft UU tersebut mandeg dan stuck  karena Menko Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli tidak mendorongnya. Barulah setelah pergantian presiden, draft UU tersebut dikebut menjadi UU Migas. Pembahasan intensif dilakukan setelah Gus Dur jatuh dan Kwik Kian Gie serta  Rizal Ramli tidak lagi jadi Menko. Bahkan lebih parah lagi, ekonom politik Ichasnuddin Noorsy menilai bahwa konten UU Migas adalah titipan IMF. Sulit untuk menyangkalnya mengingat begitu jauhnya IMF ikut campur tangan di Indonesia seperti penutupan PT Dirgantara Indonesia ketika krisis moneter 1998.

Profit Sharing Contract
Pengelolaan Migas kita saat ini menggunakan Profit Sharing Contract(PSC). Prinsip-prinsip umum PSC adalah: kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara; kontrak didasarkan pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi biaya-biaya (cost recovery);  resiko ditanggung oleh kontraktor; aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara; kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatih mereka; dan kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari bagian mereka. Di dalam PSC, kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral right) tetap menjadi milik negara.

Sampai UU Migas No 22 Tahun 2001 terbit, sistem PSC masih dianggap yang terbaik, dibandingkan sistem-sistem pendahulunya, yakni sistem konsesi (1899 – 1960) dan kontrak karya (1960 – 1964). UU ini hanya merubah pelaku yang mewakili negara dalam mengadakan perjanjian dengan kontraktor. Sebelum UU liberal itu lahir, negara menunjuk Pertamina sebagai kepanjangan tangan. Setelah itu, Pemerintah melucuti kekuasaan Pertamina, dan membentuk BP Migas sebagai gantinya. Aneh memang karena badan hukum negara yang sifatnya non-profit, membuat suatu perjanjian bisnis.

Kontroversi UU Migas
Banyak pakar perminyakan dan ekonom yang mengatakan bahwa UU Migas ini justru merugikan rakyat Indonesia karena isinya memerintahkan kontrak-kontrak migas dilakukan oleh BP Migas, bukan oleh Pertamina dan dampak kerugiannya ratusan trilliun. BP Migas bukan entitas bisnis, maka minyak dan gas bagian negara yang berasal dari kontraktor asing tidak bisa dijual sendiri oleh BP Migas. UU Migas memerintahkan BP Migas menunjuk pihak lain untuk menjualnya.

Contohnya adalah Lapangan Gas Tangguh yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP). Karena bukan entitas bisnis, maka yang membangun pabrik gasnya ditunjuk oleh BP juga. Akibatnya BP meraup keuntungan luar biasa, dengan membangun pabrik, biayaknya bisa dimark-up dan pinjam uang ke bank dengan jaminan pemerintah. Setelah gas menjadi cair, harga penjualannya pun dikunci pada 3,35 dollar AS per mmbtu. Mari kita bandingkan dengan Lapangan Gas Bontang yang pabriknya dikelola oleh Pertamina. Meskipun lapangan gas Bontang ditemukan oleh investor asing, namun UU lama memerintahkan Pertamina yang berkontrak, BUMN itu bisa membangun dan memiliki pabriknya serta menjual ke Jepang dengan harga 20 dollar AS per mmbtu. See the different?

Parahnya harga gas Bontang akan naik sesuai dengan kenaikan harga pasar, sedangkan harga gas Tangguh sudah terkunci. Kerugian Indonesia di lapangan gas tangguh mencapai 30 trilliun dan di blok Mahakan kerugian mencapai 5o trilliun (Kurtubi:2012).

Menurut survei Fraser Institute Canada tahun 2011, kondisi investasi migas Indonesia menempati peringkat 114 dari 145 negara di dunia dan paling buruk di Asia dan Oceania. Lebih buruk dari Timor Leste, Papua Nugini, atau Filipina. Secara geologis sumber daya migas di perut bumi Indonesia mencapai 50-80 miliar barrel dan gas sekitar 350 triliun kaki kubik. Namun cadangan terbukti yang diproduksi saat ini hanya sekitar 3,9 miliar barrel yang akan habis sekitar 12 tahun ke depan. (Kurtubi:2012)

Kontroversi UU Migas tidak selesai disitu saja karena masih banyak yang pro mendukung UU Migas dan justru menganggap bahwa pembubaran BP Migas adalah salah satu langkah mundur dan pengingkaran terhadap cita cita reformasi. Bahkan salah satu Hakim MK, Harjono, menyampaikan dissenting opinion putusan MK dan menyatakan bahwa tidak ada konstitusi yang dilanggar oleh UU Migas dan keberadaan BP Migas pun tidak serta-merta inkonstitusional.

Menurut yang pro UU migas yang sekarang, UU migas lahir karena adanya harapan bahwa regulator dan operator Migas dilakukan oleh dua badan yang berbeda, artinya Pertamina tidak boleh menjadi operator sekaligus regulator. Bahkan BP Migas berencana menerbitkan buku putih untuk membuka kebenaran terkait stigma negatif yang selama ini disematkan pada badan otonom pengawas sektor hulu migas Indonesia itu. Beberapa  poin yang ingin ditekankan dalam buku putih tersebut adalah sebagai berikut:

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 sejatinya adalah tuntutan reformasi untuk tata kelola yang baik, transparansi dan antikorupsi. UU Migas bertujuan untuk memperbaiki kondisi sektor hulu dan hilir migas yang dulu monopolistik, oligarki, lemah pengawasan dan rawan Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (KKN).  Sejak diberlakukannya UU Migas, tata kelola di sektor hulu migas menjadi membaik yaitu Pertamina tidak lagi menjadi pengawas sekaligus pemain di industri hulu migas. Hal tersebut mendorong Pertamina menjadi lebih fokus dalam mengembangkan bisnisnya.  Dampak di sektor hulu migas sangat terlihat dari tingkat produksi Pertamina sebelum UU Migas yang hanya 70 ribu barel per hari (bph), namun setelah diberlakukan UU Migas  produksi Pertamina naik menjadi 130 ribu bph.  Di sektor hilir juga sangat terlihat perbedaan mencolok sebelum dan sesudah diberlakukannya UU Migas di mana sebelum diberlakukan UU Migas pelayanan SPBU Pertamina sangat buruk. Namun, kini setelah UU Migas diberlakukan pelayanan SPBU Pertamina sangat jauh lebih baik sehingga konsumen saat ini lebih diuntungkan dengan adanya UU Migas 22 Tahun 2001.

Pernyataan banyak pihak sejak berlakunya UU Migas No. 22 Tahun 2001 penemuan cadangan migas baru menurun dan produksi minyak nasional juga turun adalah tidak benar. Berdasarkan fakta historikal sejarah atau data yang ada, produksi minyak bumi nasional menurun sejak 1996 saat kendali industri hulu migas masih dipegang Pertamina atau sebelum UU Migas diberlakukan, dengan rata-rata laju penurunan produksi mencapai 12 persen per tahun.
Dan masih banyak poin poin lain yang mendukung keberadaan BP Migas ini, rasanya tulisan ini akan menjadi terlalu panjang.

Kembali Ke Cita-Cita
Dan begitulah, kontroversi atas setiap kebijakan akan selalu ada. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun penulis hanya ingin menyampaikan kembali visi negara Indonesia di dalam pembukaan UUD 1945 yakni ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...”

Diatas semua perdebatan kita mengenai layak atau tidaknya UU Migas dan BP Migas dibubarkan atau dipertahankan, adalah jauh lebih penting untuk memahami secara utuh apakah sumber daya energi perminyakan kita benar-benar telah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Lalu apakah dengan dibubarkannya BP Migas, rakyat akan semakin merasakan dampak kesejahteraan yang meningkat? Pada dasarnya rakyat kecil tidak peduli apakah operator atau regulator migas di tangan Pertamina atau BP Migas atau KemESDM.
Mari sejenak merenung setelah melihat gambaran penguasaan kekayaan minyak kita sebagai berikut:



Adakah rasa nasionalisme anda tersentuh melihat ini?

Jumat, 09 November 2012

Pilpres Indonesia 2014 seperti Pilpres Amerika Serikat

Pilpres di Amerika Serikat baru saja usai dengan kemenangan Barack Obama dari Partai Demokrat. Barack Obama terpilih dengan kemenangan telak 303-206 atas Mitt Romney pada lapis utusan (electoral college) dari 50 negara bagian ditambah satu daerah khusus Washington, kecuali Florida. Pada lapis pemilih, Obama untuk sementara unggul 60,6 juta dibandingkan 57,7 juta suara.
               
Selama beberapa minggu terakhir, pilpres AS menjadi topik yang sangat menarik dibahas di media baik oleh kalangan cerdik pandai maupun wartawan. Ada banyak kacamata yang digunakan dalam melihat Pilpres AS ini. Sebagian menilai dari sisi sebab sebab kemenangan Obama, ada yang melihat bagaimana hubungan Indonesia AS akan dibangun dibawah pemerintahan Obama jilid yang ke II ini dan ada juga yang mengkritik pemerintah Indonesia yang tidak mampu menggunakan momentum ini untuk kepentingan Indonesia mengingat ada keterkaitan historis Obama dengan Jakarta. Semua pendapat-pendapat yang mengemuka itu tentu ada benar dan salahnya.

Dalam polling yang dipublikasikan oleh beberapa media dan lembaga survei tergambar bahwa pilpres AS kali ini adalah pemilu yang sangat ketat, melampaui ketatnya pilpres 1960 ketika John F Kennedy bertarung dengan Richard Nixon. Di Indonesia sendiri mungkin belum ada pilpres yang sedemikian ketatnya, tidak di 2008 dan tidak juga di 2004 lalu yang keduanya dimenangkan SBY. Mengapa sampai sedemikian ketatnya? Berbeda dengan pilpres di Indonesia, pilpres di AS adalah pertarungan dua visi dan ideologi berbeda. Romney adalah konservatif dari Republikan yang seorang konglomerat pemilik Bain Capital. Sedangkan Obama adalah seorang liberal dari Demokrat yang pernah menjalani masa pubernya di Indonesia. Tahun 1967, ketika Obama masih bersekolah di Jakarta, Gubernur Michigan George Romney ayah dari Mitt Romney yang juga capres AS ketika itu datang ke Jakarta menemui Presiden Soeharto. Mungkin tidak disadari Obama bahwa kelak ia akan bertarung di pilpres AS dengan putra sang gubernur. Disini pun jelas tergambar latar belakang masa kecil dari Romney dan Obama.
          
Selama kampanye Obama sedikit lebih menonjol dibandingkan Romney. Obama ingin pemerintah ikut campur tangan dalam hal sistem asuransi kesehatan serta pendidikan anak Amerika, sementara Romney tidak berpihak ke arah sana. Romney menekankan prinsip pasar bebas itu tetap berlaku. Ada yang beranggapan bahwa Romney juga adalah simbol kapitalisme yang membawa kepentingan Wall Street. Obama bertekad membawa AS menjadi welfare state mirip di Eropa, sebaliknya Romney sangat menganjurkan free and open competition yang menjunjung tinggi kerja keras dan kapitalisme.

Dalam polling yang dipublikasikan kompas pada 7 November 2012, Obama didukung oleh 56% dari kalangan yang berpendapatan 36.000 dollar per tahun, sementara Romney hanya memperoleh dukungan 38%. Namun untuk kelas yang berpendapatan  90.000 dollar per tahun, dukungan kepada Romney mencapai 52% dan Obama hanya 44%. Angka ini jelas menjadi potret perbedaan ideologi dan keberpihakan yang mereka bawa.

Dan perlu diketahui bahwa tiga per empat pemilih mengaku bahwa faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama memilih kali ini. Hal ini menggambarkan bahwa mayoritas pemilih AS secara rasional menyadari bahwa apa yang terjadi dengan ekonomi Amerika Serikat sekarang bukanlah kesalahan kebijakan Obama sebelumnya melainkan faktor pertumbuhan ekonomi global yang melamban. Kepercayaan masyarakat AS ini menjadi penting karena saat ini AS sedang diancam krisis anggaran dengan defisit sekitar 1 miliar dollar AS per tahun dan utang publik mencapai 16 trilliun dollar AS. Belum lagi ditambah dengan 50 juta warga miskin yang mengandalkan kupon makan gratis pemerintah dan 23 juta orang pengangguran. Angka angka ini menjadi gambaran yang wajar mengapa faktor ekonomi menjadi alasan pemilih dan itu artinya ideologi ekonomi dan titik keberpihakan capres AS ini sangat berpengaruh banyak pada distribusi suara.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kebalikan dengan Indonesia pada pilpres pilpres yang lalu, hampir tidak ada pertarungan ideologi yang jelas. Di pilpres 2004 misalnya, pada pilpres putaran kedua ketika Megawati dengan partai pengusung PDIP membawa jargon ekonomi kerakyatan dan lawannya SBY dari Demokrat yang menunjukkan ideologi demokratisnya. Di 2008 juga tidak jauh berbeda ketika Megawati tetap membawa jargon wong cilik dan ekonomi kerakyatan dan SBY dengan jargon lanjutkan serta Jusuf Kalla yang membawa jargon lebih cepat lebih baik. Dari ketiga calon ini saya hampir tidak melihat perbedaan dan pertarungan ideologi yang ketat dalam visi membawa Indonesia ke arah mana. Prinsip ekonomi kerakyatan memang bisa menjadi ideologi ekonomi namum jika tidak jelas arahnya hanya akan sebatas jargon. Begitu juga dengan jargon lebih cepat lebih baik yang sama sekali tidak menunjukkan ideologi yang dibawa. Dalam kampanye, yang “dijual” selalu tidak jauh jauh dari pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Maka dari itu visi yang dibawa juga semuanya hampir sama dan abu abu. Pada praktik pemerintahan juga begitu, SBY menekankan pro poor, pro growth, pro job dan pro environment. Ini bukanlah ideologi maupun strategi dalam mencapai visi Indonesia. Bagi saya apapun ideologinya, apa yang dimaksudkan SBY inilah tujuan yang ingin dicapai. Masalahnya adalah bagaimana cara mencapai tujuan tersebut tidaklah tercermin dalam ideologi partai yang mengklaim sebagai Nasionalis Religius ini.
  
Pilpres AS juga jelas merupakan pertarungan antar dua ideologi mengenai titik pengenaan pajak. Obama dan Romney bertarung menunjukkan letak keberpihakan terhadap rakyatnya. Obama jelas lebih memilih titik pengenaan pajak pada kalangan menengah ke atas sedangkan Romney sebaliknya justru melindungi kalangan menengah ke atas untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi lewat investasi investasi oleh kalangan atas yang dimungkinkan jika pajak bagi mereka tidak terlalu berat. Masalah titik pengenaan pajak ini penting mengingat taipan dan pialang saham Warren Buffet pernah mengatakan bahwa ia merasa aneh bahwa pajak yang dibayar oleh pekerjanya lebih besar daripada pajak yang ia bayar. Hal ini sangat penting juga dibahas pada kampanye pilpres Indonesia kelak.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa visi Indonesia adalah “membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”. Menurut saya, penjabaran dan ideologi dalam pencapaian visi negara inilah yang harus dipertarungkan dalam pilpres. Masalah pendidikan dan kesehatan gratis tidak lagi relevan dibawa ke ranah kampanye karena sudah menjadi kewajiban negara untuk melindunginya sesuai amanat UUD 1945. Butuh semacam ability to see unseeing things sehingga jelas tidak mudah menjadi pemimpin Indonesia. Jika hal ini diamini maka akan banyak yang menyadari bahwa dia tidak layak mejadi presiden bahkan menjadi capres saja pun, bukan justru berlomba mengaku diri layak menjadi presiden. Bertarung pada ranah ideologi membutuhkan wawasan politik, kenegaraan, kepekaan dan visi yang mumpuni. Inilah yang terjadi di AS dan sayangnya belum terjadi di Indonesia.

Semoga kelak di pilpres 2014, capres capres Indonesia sudah menunjukkan kemampuan dan keberanian bertarung pada ranah ideologi, titik keberpihakan yang jelas, dan penjabaran strategi akan pencapaian visi Indonesia secara tegas, tidak sebatas retorika yang abu-abu dan suam-suam kuku saja. Tidak kalah pentingnya juga adalah semoga pemilih semakin rasional dan cerdas, tidak diperdaya oleh janji gratisan ketika kampanye melainkan mampu menetapkan pilihan yang argumentatif.


Selasa, 23 Oktober 2012

Kontroversi Pada Konsep Daerah Pabean, Kawasan Pabean, Kawasan Berikat, dan Free Trade Zone


Dalam risalah pembahasan UU pabean no 10 tahun 1995 dan risalah pembahasan perubahan UU pabean no 17 tahun 2006 tidak ada pembahasan mengenai daerah pabean. Tidak juga ada perdebatan yang alot mengenai definisi daerah pabean sebagaimana layaknya perdebatan alot mengenai pemeriksaan fisik. Fraksi fraksi di DPR dan kalangan pengusaha (pada saat rapat dengar pendapat) umumnya setuju dan tidak mempermasalahkan draft yang diajukan oleh pemerintah. Ada selang waktu 11 tahun antara UU no 10 tahun 1995 dan perubahannya pada 2006 sehingga seharusnya masalah atau kerancuan pada definisi daerah pabean dapat direvisi. Namun itu belum dilakukan oleh pemerintah.

Dalam UU Pabean Pasal 1 nomor 2,  Daerah pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang ini.

Definisi ini jika dikaji lebih jauh menimbulkan kerancuan, kalau bukan kekeliruan. Pada penjelasan UU pabean pun dinyatakan bahwa pasal 1 cukup jelas. Faktanya UU pabean justru tidak berlaku di dalam daerah pabean karena barang barang di dalam daerah pabean sudah menyelesaikan formalitas pabean. Jika mengikuti definisi UU pabean maka institusi kepabeanan dapat melaksanakan wewenangnya di dalam wilayah darat, contohnya di Pasar, Mall, dll.

Dalam ilmu matematika, ada teori himpunan dan diagram  venn yang ditemukan oleh John Venn. Diagram Venn  adalah cara untuk menyatakan dan melihat hubungan antara beberapa himpunan dengan menggunakan diagram atau gambar himpunan.Teori ini berlaku untuk semua hal termasuk permasalahan definisi daerah pabean ini. Mari kita kaji satu per satu.

Menurut UU Pabean, daerah pabean meliputi tempat tempat tertentu di landas kontinen dan ZEE sehingga daerah pabean menjadi lebih luas dari wilayah kedaulatan NKRI. Kita asumsikan bahwa Wilayah NKRI adalah himpunan, demikian juga dengan daerah pabean.
Jika dimasukkan ke dalam diagram Venn, maka seharusnya wilayah NKRI adalah himpunan semesta (himpunan semesta adalah himpunan yang mencakup semua himpunan lain—himpunan lain disini termasuk daerah pabean). Daerah Pabean menjadi bagian dari daerah wilayah NKRI (Daerah Pabean adalah himpunan bagian dari himpunan semesta yaitu wilayah NKRI). Namun yang terjadi dalam UU Pabean yang berlaku sekarang justru sebaliknya. Wilayah NKRI adalah bagian dari daerah pabean. Hal ini mnimbulkan kerancuan antara wilayah kedaulatan negara dan wilayah pengenaan pungutan pajak. Dengan menganut azas domisili maka kiranya tidak mungkin wilayah pungutan pajak dalam hal ini daerah pabean menurut UU Pabean, lebih luas dibanding wilayah kedaulatan NKRI. 

Secara matematis, tidak mungkin daerah pabean lebih luas wilayahnya dibandingkan wilayah NKRI yang menjadi himpunan semesta. Menurut Venn, himpunan semesta haruslah mencakup himpunan bagian, artinya wilayah NKRI haruslah mencakup daerah Pabean. Sedangkan menurut UU pabean, wilayah NKRI lebih kecil dibandingkan daerah pabean. Artinya UU pabean gagal diterima secara nalar matematika.

Secara yuridis, UU pabean juga masih mengandung kerancuan karena wilayah kedaulatan negara berbeda dengan wilayah berlakunya pemungutan pajak. Wilayah berlakunya pungutan perpajakan mungkin sama dengan wilayah kedaulatan negara akan tetapi mungkin juga lebih kecil dari wilayah kedaulatan negara. Indonesia saat ini menggunakan asas domisili khususnya untuk pungutan Bea Masuk, Cukai, PPN, dan PPnBm. Oleh karena itu penetapan wilayah berlakunya pungutan pajak tidak mungkin lebih besar daripada wilayah kedaulatan negara.

Masalah kerancuan ini akan semakin pelik jika dikaitkan dengan free trade zone. Menurut PP no 10 tahun 2012, Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pungutan bebas dari pungutan bea masuk, PPN, PPnBM, dan Cukai. Dari definisi ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yang nantinya kita uji sebagai premis.
1.     UU Kepabeanan hanya berlaku di daerah pabean (UU Pabean)
2.     Daerah Pabean meliputi wilayah NKRI sehingga akan ada daerah pabean yang bukan wilayah kedaulatan NKRI. Contohnya tempat tempat tertentu di ZEE dan LK.
3.     Free trade zone merupakan wilayah NKRI yang bukan daerah pabean.
Jika kita mengikuti logika UU Pabean maka dapat dijadikan premis
·         wilayah NKRI È Daerah Pabean (Wilayah NKRI adalah bagian dari Daerah Pabean)
·         FTZ = Wilayah NKRI
·         FTZ ≠ Daerah Pabean

Bagaimana FTZ dapat dimasukkan diagram venn secara logika UU Pabean? Tidak bisa, karena FTZ adalah wilayah NKRI tetapi bukan daerah pabean sedangkan wilayah NKRI itu sendiri adalah bagian dari daerah pabean. Jika dibuat sebaliknya masih dapat diterima logika. FTZ adalah bagian dari daerah pabean dan juga merupakan wilayah NKRI. Artinya wilayah NKRI dibuat yang paling luas.
Sekali lagi, UU Pabean gagal diterima secara logika.

Definisi daerah pabean seharusnya direvisi menjadi wilayah NKRI dimana UU Pabean tidak berlaku atau bagian bagian Indonesia yang berdasarkan UU dipungut bea masuk dan bea keluar berdasarkan asas domisili. UU Pabean berlaku hanya di wilayah NKRI yang meliputi wilayah laut dan udara, kawasan pabean, free trade zone, dan kawasan berikat.

Jika dilakukan redefinisi maka akan dipertanyakan mengenai status ZEE & LK.  Sesuai dengan azas domisili, pengenaan pajak di ZEE dan LK masih harus dipertanyakan. Indonesia memang berdaulat secara ekonomi untuk memanfaatkan sumberdaya yang terkandung di ZEE dan LK tanpa tunduk kepada negara lain dan Bea Cukai wajib menjaga dan mengamankan wilayah tersebut dari gangguan yang dapat merusak kelestariannya sesuai dengan yang diamanatkan oleh UNCLOS. Wewenang otoritas pabean dalam hal penegakan hukum (sebagai Douane/Customs) memang ada, tetapi wewenang sebagai aparat fiskal yang memungut pajak tidaklah dapat dilakukan. Potensi pengenaan pajak ini memungkinkan kalau dalam ketentuannya ditegaskan bahwa dasar pemungutannya menggunakan asas sumber/resources.
Peta Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif

Mengenai bagaimana UU pabean berlaku di wilayah laut dan udara, di kawasan pabean, di free trade zone dan kawasan berikat akan dijelaskan sebagai berikut.
1.    UU Pabean berlaku di wilayah laut dan udara
Sesuai dengan dalil dalam ilmu kepabeanan bahwa semua barang yang datang dengan jalur laut dan atau jalur udara dianggap datang dari luar negeri sampai bisa dibuktikan dengan dokumen pabean. Jika dilakukan redefenisi terhadap daerah pabean maka dalil ini menjadi berlaku. Sebagai Archipelagic State dan jalur perdagangan dunia maka ketentuan mengenai kepabeanan tentu harus jelas. Jika menggunakan ketentuan UU Pabean, bagaimana kita bisa membedakan barang yang berada diatas kapal dengan rute Batam-Tanjung Priok dengan Singapura-Tanjung Priok. Jalur laut dan jalur udara sifatnya bukanlah tempat konsumsi barang dan hampir dipastikan selalu menjadi area pergerakan barang sehingga mutlak UU Pabean diberlakukan.

2.     Kawasan Pabean
Kawasan pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Disini dilakukan kegiatan membongkar, memuat, dan menimbun barang barang yang belum menyelesaikan formalitas pabean dan oleh sebab itu barang-barang yang ditimbun di kawasan pabean wajib diawasi oleh petugas pabean dan tidak boleh dilakukan perubahan apapun kecuali seizin otoritas pabean. Kawasan Pabean menjadi sangat perlu mengingat ada begitu banyak pelabuhan di Indonesia. Dengan kewajiban membongkar di kawasan pabean maka tidak akan ada barang yang masuk ke wilayah Indonesia tanpa sepengetahuan otoritas pabean.

3.    Free trade zone
Untuk barang yang masuk ke free trade zone dikategorikan sebagai barang yang mendapat pembebasan bersyarat atau pembebasan relatif dengan kategori Badan Hukum. Hal ini terkait dengan tujuan mendorong kinerja ekonomi dan industri dalam kawasan tertentu dan sudah merupakan hal yang lazim di dunia internasional. Secara historis, Kepulauan Riau dulunya adalah daerah yang miskin sehingga tidak dipungut bea masuk atas barang yang masuk dari Singapura. Artinya pada saat itu Kepulauan Riau bukanlah daerah pabean sekalipun merupakan bagian dari wilayah Indonesia.
Dalam ketentuan yang mengatur tentang free trade zone tidak ada pernyataan bahwa wewenang kepabeanan tidak diberlakukan. UU yang mengatur free trade zone menyatakan bahwa proses pemasukan barang dan pengeluarannya dari free trade zone sesuai dengan tatalaksana yang berlaku dalam ketentuan kepabeanan meskipun tidak dikenakan pungutan impor. Pada saat pemasukan barang ke free trade zone tidak dikenakan pungutan bea masuk namun ketika barang yang dimasukkan ke free trade zone tersebut dikeluarkan ke dalam daerah pabean maka akan dikenakan pungutan bea masuk. Hal ini jelas bahwa free trade zone tetaplah berada di bawah pengawasan kepabeanan. Hal ini juga cukup menjadi alasan mengapa kantor kantor pabean tetap harus ada di free trade zone.

4.   Kawasan Berikat
Tempat penimbunan berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. Bahan baku dan barang lainnya yang dimasukkan ke kawasan berikat belum menyelesaikan formalitas pabean atau belum membayar bea masuk dan pajak lainnya namun diizinkan untuk memproses, memproduksi barang barang terutama untuk tujuan ekspor. Kawasan Berikat sendiri diciptakan untuk memberikan kemudahan kelembagan kepabeanan (customs institution facility yang terikat pada International Convention).

Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi daerah paeban menurut UU Pabean yang berlaku sekarang memiliki kerancuan. UU Pabean menimbulkan ketidakjelasan mengenai batasan batasan wilayah kedaulatan NKRI dan wilayah yang menjadi kewenangan memungut pajak. Karena ketidakjelasan ini kemudian wewenang otoritas pabean pun menjadi tidak jelas terutama di FTZ dan wilayah laut dan udara padahal Indonesia adalah negara kepualauan dan menjadi negara lalulintas perdagangan dunia.
Definisi daerah pabean seharusnya direvisi menjadi wilayah NKRI dimana UU Pabean tidak berlaku atau bagian bagian Indonesia yang berdasarkan UU dipungut bea masuk dan bea keluar berdasarkan asas domisili. UU Pabean berlaku hanya di wilayah NKRI yang meliputi wilayah laut dan udara, kawasan pabean, free trade zone, dan kawasan berikat.

Daerah Pabean=Wilayah NKRI - (wilayah laut & udara + kaw.pabean + kaw.berikat + FTZ)

Untuk lebih dipahami lagi maka hubungan ini dapat diubah sesuai persamaan matematika yaitu:

Wilayah NKRI Daerah Pabean + (wilayah laut & udara + kaw.pabean + kaw.berikat + FTZ)

Dengan definisi seperti ini maka kelemahan dan ketidakmasuk-akalan definisi daerah pabean pada UU pabean menjadi teratasi.


Selasa, 10 Juli 2012

Kontroversi Moratorium PNS


         Selama ini pengeluaran negara banyak terkuras untuk gaji pegawai (PNS). dalam APBN 2012 saja alokasi anggaran untuk belanja pegawai mencapai Rp 215,7 triliun. Angka ini meningkat Rp 32,9 trilliun atau 18 % dari pagu APBN sebelumnya (2011), yang besarnya Rp 182,9 triliun.  Beban APBN makin berat, sebab pemerintah juga merencanakan menaikkan gaji pokok PNS, TNI, Polri dan pensiunan rata-rata 10 % pada 2012. Selain itu pemerintah tetap memberikan gaji dan pensiun bulan ke-13 bagi PNS, TNI, Polri dan pensiunan.

         Kondisi ini semakin parah ketika pertumbuhan ekonomi di sejumlah daerah tidak mengalami pertumbuhan. Sehingga beban pemerintah daerah lebih banyak terserap untuk belanja pegawai bukan untuk belanja modal.  Akibatnya banyak pemda yang mengalami kebangkrutan lantaran anggarannya habis untuk bayar gaji pegawainya. Data Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mengungkapkan ada 124 Pemerintah Daerah yang terancam bangkrut gara-gara PNS.
         Untuk mengatasi masalah tersebut tercetuslah sebuah gagasan untuk melakukan moratorium atau penghentian penerimaan PNS. Langkah ini diharapkan bisa mengirit anggaran yang selama ini jumlahnya selangit. Tapi persoalannya, apakah cara ini bisa benar-benar menghemat anggaran negara. Atau justru berdampak lain terhadap daerah atau masyarakatnya?
         Moratorium bukanlah sebuah solusi untuk menghemat anggaran secara efektif sebab yang jadi persoalan adalah ketidakefektifan dalam penyerapan belanja negara untuk belanja pegawai.Sebabnya adalah anggaran lebih banyak dialokasikan untuk para PNS yang tidak produktif. Sementara untuk PNS yang produktif sangat minim. Lihat saja pegawai kelurahan yang seringkali tidak ada ditempat ketika ada warganya yg ingin mengurus KTP. Orang-orang seperti inilah yang perlu diberhentikan karena hanya jadi parasit anggaran.
         Moratorium ini tidak akan berdampak terhadap penghematan anggaran tetapi justru berdampak negatif terhadap instansi pemerintah yang melakukan moratorium PNS. Sebab perekrutan PNS baru sangat penting sebagai upaya penyegaran. Yang jadi masalah itu justru atasannya PNS yang kerjanya sudah tidak produktif lagi.  Regenerasi sangat penting karena tenaga-tenaga muda sangat dibutuhkan. Mereka lebih menguasai teknologi atau IT sehingga bisa meningkatkan produktivitas. Sementara PNS yang sudah tua selain gagap teknologi juga banyak yang tidak produktif lagi. Lebih buruk lagi adalah banyaknya PNS tua yang masih ingin mempertahankan status quo dengan mental korupnya.
         Rusaknya PNS itu sebenarnya mulai terjadi sejak awal era reformasi. Di era ini banyak PNS yang bersifat tenaga kontrak untuk administrasi. Cara ini dilakukan untuk mem-backup pimpinan PNS yang tidak produktif. Maka seharusnya yang perlu dibenahi adalah para pimpinan yang tidak produktif ini. Sementara PNS muda yang melek IT dan belum terkontaminasi dipromosikan jabatannya.
         Penyebab borosnya anggaran belanja pegawai justru karena sistem penggajiannya yang tidak beres. Gaji PNS kecil sementara variable income diberikan kepada pejabat yang pegang posisi. Jadi patokan income berpatokan pada proyek. Dalam setiap pemberian proyek ada income-nya sehingga anggaran itu lebih banyak tersebar untuk proyek-proyek pegawai. Misalnya, ketika membangun suatu jembatan pegawainya disertakan untuk survei, pejabat jalan-jalan ke luar negeri lihat pameran dengan alasan survei. Yang ikutan banyak, setidaknya 10-40 orang. Mereka diberi fasilitas dan uang saku yang tidak sedikit. Kegiatan-kegiatan inilah yang membuat anggaran membengkak. Jadi bukan karena gaji mereka anggaran belanja pegawai jadi besar tetapi belanja untuk kegiatan yang tidak perlu yang membuat anggaran membengkak.
         Saya sendiri lebih setuju diterapkan pensiun dini sebab dampaknya lebih dapat diukur dan tidak akan menimbulkan dampak negatif. Selain itu pensiun dini bisa dijadikan solusi menyaring PNS yang kurang produktif dan terkontaminasi, tidak disiplin, ketinggalan teknologi, dan cacat moral. Bahkan jika perlu, dirangsang supaya PNS yang sudah tua tapi tidak produktif ditawarkan uang pensiun yang tinggi. Cara seperti ini jauh lebih efektif dibanding melakukan moratorium PNS.
         Untuk jangka panjang, pemerintah juga perlu melakukan upaya untuk mengubah paradigma di masyarakat agar generasi muda tidak PNS-oriented tetapi lebih bermental entrepreneur. Memang tidak dipungkiri di sejumlah daerah yang tidak ada kegiatan ekonominya, banyak anak muda yang berupaya menjadi PNS. Alasannya, kalau tidak jadi PNS tidak bergengsi. Padahal paradigma itu sebuah kemunduran.  Harusnya pemda gencar menggalakkan program-program entrepreneurship. Misalnya lewat dinas pertanian, peternakan , perikanan, maupun pertambangan.  Masing-masing pemda harus menggalakkan kegiatan entrepreneur di daerah masing-masing. Sehingga masyarakat usia kerja bisa tertarik berusaha dibanding jadi PNS.  Dengan cara seperti itu diharapkan kaum muda bisa menjadi entrepreneur yang bisa menggerakkan kegiatan ekonomi di daerahnya masing-masing. Kalau sudah begini, pelan-pelan belanja pemerintah untuk pegawai berkurang. Malah bisa jadi gaji PNS akan besar karena sudah jarang yang minat jadi PNS dan lebih memilih berbisnis.


(Tulisan lawas - Januari 2012)

Jumat, 29 Juni 2012

Buah Produk Impor vs Buah Produk Lokal

Ada apa dengan impor buah?
  Menjelang akhir Mei 2012, di media nasional cukup ramai diperbincangkan mengenai pengaturan impor buah dan holtikurltura. Mirisnya, yang jadi perbincangan justru bukan bagaimana melindungi buah dan holtikultura lokal dari banjirnya komoditi impor melainkan pertunjukan ego sektoral antara kementrian pertanian dan kementrian perdagangan yang membuat aturan yang tidak sinkron. Hal ini sangat mengusik batin saya sebagai seorang anak petani buah jeruk lokal yang sedang menempuh pendidikan terkait perdagangan internasional.

  Pengaturan impor komoditas dan produk holtikultura ini dimaksudkan dilakukan terhadap kentang, bawang bombai, bawang putih, bawang perai,kubis, bunga kol dan brokoli, wortel, lebak cina, cabai, pisang, kurma, ara, nanas, avokad, jambu, mangga, manggis, lemon, anggur, melon, pepaya, apel, pir, durian, lengkeng dan jeruk.

  Pengaturannya adalah dengan menetapkan bahwa impor komoditas tersebut hanya dapat dilakukan di pelabuhan tertentu dan hanya dapat dilakukan oleh importir yang terdaftar. Sebagai tambahan, importir dilarang menjual komoditi impor ini langsung ke konsumen atau pengecer melainkan ke distributor terlebih dahulu. Dengan pengaturan ini diharapkan volume impor buah dan sayur dapat ditekan karena prosesnya sedikit dipersulit dan jumlah importirnya dibatasi.
 
  Tentu saja ini menjadi kabar baik bagi petani lokal karena sekilas ada usaha dari pemerintah untuk melindungi petani lokal dari serbuan komoditi impor. Namun aturan ini belum sempat terlaksana, pemerintah kita akhirnya mundur akibat tekanan importir buah terutama peritel. Mereka berdalih bahwa pengaturan impor ini akan menyebabkan rantai distribusi menjadi terlalu panjang (high cost economy)  sehingga  akhirnya pemerintah pun mengijinkan impor buah dilakukan oleh pengusaha ritel. Dengan begitu, tetap saja pasar lokal akan dibanjiri buah impor dan buah produksi lokal akan tetap kalah.

  Perdagangan Bebas
  Gonjang ganjing impor buah dan holtikultura ini adalah bagian dari proses panjang keterlibatan Indonesia dalam skema perdagangan bebas. Saat ini setidaknya ada 3 kerjasama ekonomi perdagangan bebas yang melibatkan Indonesia yaitu ASEAN-China, ASEAN-Korea Selatan, Indonesia-Jepang dan akan menyusul beberapa kerjasama lain bersama India, Australia, Selandia Baru, negara negara Asia Pasifik, dll. Inti dari semua ini adalah bahwa komoditi tertentu bebas diperdagangkan antar negara peserta tanpa ada hambatan impor baik menyangkut tarif bea masuk maupun hambatan lainnya. Sebagai akibatnya, kita begitu mudah menemukan produk impor di pasar dalam negeri terutama Made in China. Harganya lebih murah daripada harga barang impor dari negara lain bahkan seringkali lebih murah dibanding harga produk dalam negeri. Harga murah ini disebabkan banyak oleh hal mulai dari biaya produksi di China yang murah, tidak dikenakan pajak impor ketika masuk ke dalam negeri (zero tariff) , dan efek nilai tukar mata uang China yang “dilemahkan”.

  Ketika wacana keterlibatan Indonesia dalam skema perdagangan bebas ini didengungkan sebelum tahun 2010, banyak ekonom dan juga pemikir kebangsaan yang berhipotesis bahwa hal ini hanya akan menyengsarakan produsen komoditi lokal dalam hal ini petani lokal. Tentu para pengamat paham betul bahwa sulit membayangkan bagaimana petani jeruk lokal dari Tanah Karo misalnya, harus bertarung melawan banjirnya buah jeruk impor di pasaran dalam negeri. Khusus untuk jeruk dari Karo mungkin tidak terlalu terasa efeknya karena memiliki segmen pasar tersendiri, bahkan yang menjadi tandingannya justru adalah jeruk sambas atau yang lebih dikenal jeruk pontianak karena pengapalannya dilakukan disana. Namun seandainya volume impor jeruk rendah, jeruk Karo akan memiliki pangsa pasar lebih luas dan harganya lebih tinggi.

  Berbeda dengan jeruk, ada begitu banyak juga komoditi lain yang harus kalah dari produk impor. Misalnya saja petani tebu di Jawa Timur yang terancam bangkrut karena gula tebu mereka akan kalah saing dengan gula impor yang kualitasnya lebih baik dan harganya bisa saja lebih murah. Begitu juga dengan petani jagung di Sumatera Utara yang beberapa waktu lalu meminta Pemprovsu untuk menghentikan impor jagung saat panen raya terjadi. Tidak akan jauh berbeda dengan petani kedelai, petani bawang dan komoditi lainnya.

  Saat ini apa yang menjadi hipotesis para ekonom kita dulu sudah menjadi kenyataan. Indonesia belum siap ikut dalam perdagangan bebas yang dimulai pada 1 Januari 2010. Maka lihatlah bagaimana negara kita juga impor garam dari India yang justru lautnya jauh lebih sempit dari laut Indonesia, kita juga impor kedelai dari Amerika Serikat, serta durian montong yang ikonik dan berbagai macam buah dari Thailand yang juga menjadi pesaing serius dari buah lokal.

  Lalu apa yang harus kita lakukan?
  Kerjasama perdagangan bebas itu sudah tidak akan bisa dicabut begitu saja dan juga tidak perlu kiita ratapi terlalu lama. Pendahulu kita mengajarkan “ula mandangi roka dung peranin”. Menyesali absennya kepekaan pada sikap pemerintah yang tidak memihak petani lokal rasanya hanya akan membuang energi kita dan membuat kita tidak menemukan solusinya. Lewat tulisan ini saya inigin mengajak kembali satu kegerakan kemandirian ekononomi yang sudah sering diutarakan.

  Ada 2 solusi yang mungkin kita lakukan. Yang pertama adalah penguatan di sektor produksi komoditi lokal. Contohnya pertanian buah dan dan sayuran. Transisi dari pertanian dari yang menggunakan pestisida ke pertanian organik sudah saatnya dilakukan seperti yang dilakukan petani di Siborong-borong bersama siswa SMK, sangat menarik.  Saat ini Singapura dan Indonesia memiliki kesepakatan bahwa Indonesia memasok 30% kebutuhan buah dan sayur di Singapura. Hanya saja buah dan sayur kita hanya diterima jika bebas pestisida. Ini tentu saja peluang besar untuk pertanian organik apalagi Sumut sangat dekat dengan Singapura, biaya ekspornya murah karena bisa keluar lewat Belawan.
 
  Selain itu perlu juga melakukan diversifikasi produk pertanian agar tidak melulu menanam tanaman konvensional spserti jeruk, cabai atau jagung.  Buah seperti marquisa, alpukat, pisang, terong belanda, timun serta kopi tentu saja memiliki pangsa pasar tersendiri. Solusi diversifikasi produk sebenarnya adalah solusi yang klasik bahkan di kurikulum SD pun ada yang namanya pertanian tumpang sari. Namun solusi ini cukup ampuh ketika ada masalah baik hama maupun harga dari satu komoditi. Contohnya serangan hama lalat buah (cit-cit) ke buah jeruk tentu tidak menjadi masalah besar jika petani kita tidak hanya menanam jeruk saja.

  Solusi kedua adalah dukungan konsumen terhadap produk lokal. Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dulu sempat menggalakkan kampanye untuk mencintai produk lokal. Namun mandek karena pemimpinnya sendiri gemar dengan produk impor. Namun lagi lagi saya katakan, sudahlah stop mengkritik sikap tersebut. Bersama-sama kita membangun kegerakan untuk menggemari produk lokal utamanya buah dan sayuran lokal. Ayo Gemari Buah dan Sayur Lokal!! Memilih untuk mengonsumsi buah dan sayuran lokal memang  butuh sedikit pengorbanan baik harga bahkan yang paling berat adalah kualitas.
 
  Oleh karena itu solusi yang pertama dan kedua adalah satu kesatuan yang komplemen. Dengan beralih ke pertanian organik di sisi petani dan mengonsumsi buah sayuran lokal di sisi konsumen akan membangun sebuah kemandirian ekonomi kolektif yang sempurna.
 

  

  Siapa yang harus memulai? Jawabnya Anda. Kapan harus dimulai? Sekarang.


Oleh Jhon Billy Meliala
di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, akhir mei 2012