Kamis, 15 November 2012

Kontroversi Undang Undang Migas


Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan menyatakan bahwa fungsi dan wewenang BP Migas beralih ke Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan ini sarat dengan kontroversi, dan seperti biasa ada cukup banyak analisis yang dilakukan oleh cerdik pandai maupun oleh orang awam dan melihat dari sisi yang beragam.

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang keputusan MK ini tentu perlu juga kita kaji mengenai fakta-fakta terkait dunia perminyakan dan energi kita. Pengaturan mengenai migas diatur dalam UU Migas no 22/2001. UU mengenai migas seharusnya sangat penting karena sama dengan UU Keuangan Negara merupakan UU organik yang lahir dari pesan dan perintah UUD 1945 pada pasal 33 yaitu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sejarah UU Migas
Secara historis, UU Migas ini sarat dengan kepentingan asing. Draft UU Migas pertama kali dikerjakan oleh konsultan US AID, diajukan sebagai draft Undang undang ke DPR oleh Mentri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto. DR. Rizal Ramli pada saat itu menjadi penasehat ekonomi fraksi ABRI dan fraksi-fraksi DPR lainnya menyarankan agar DPR menolak draft UU Migas tersebut. Dan memang DPR pada waktu itu akhirnya menolak dan meminta diperbaiki. Pada masa pemerintahan Gus Dur pembahasan draft UU tersebut mandeg dan stuck  karena Menko Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli tidak mendorongnya. Barulah setelah pergantian presiden, draft UU tersebut dikebut menjadi UU Migas. Pembahasan intensif dilakukan setelah Gus Dur jatuh dan Kwik Kian Gie serta  Rizal Ramli tidak lagi jadi Menko. Bahkan lebih parah lagi, ekonom politik Ichasnuddin Noorsy menilai bahwa konten UU Migas adalah titipan IMF. Sulit untuk menyangkalnya mengingat begitu jauhnya IMF ikut campur tangan di Indonesia seperti penutupan PT Dirgantara Indonesia ketika krisis moneter 1998.

Profit Sharing Contract
Pengelolaan Migas kita saat ini menggunakan Profit Sharing Contract(PSC). Prinsip-prinsip umum PSC adalah: kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara; kontrak didasarkan pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi biaya-biaya (cost recovery);  resiko ditanggung oleh kontraktor; aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara; kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatih mereka; dan kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari bagian mereka. Di dalam PSC, kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral right) tetap menjadi milik negara.

Sampai UU Migas No 22 Tahun 2001 terbit, sistem PSC masih dianggap yang terbaik, dibandingkan sistem-sistem pendahulunya, yakni sistem konsesi (1899 – 1960) dan kontrak karya (1960 – 1964). UU ini hanya merubah pelaku yang mewakili negara dalam mengadakan perjanjian dengan kontraktor. Sebelum UU liberal itu lahir, negara menunjuk Pertamina sebagai kepanjangan tangan. Setelah itu, Pemerintah melucuti kekuasaan Pertamina, dan membentuk BP Migas sebagai gantinya. Aneh memang karena badan hukum negara yang sifatnya non-profit, membuat suatu perjanjian bisnis.

Kontroversi UU Migas
Banyak pakar perminyakan dan ekonom yang mengatakan bahwa UU Migas ini justru merugikan rakyat Indonesia karena isinya memerintahkan kontrak-kontrak migas dilakukan oleh BP Migas, bukan oleh Pertamina dan dampak kerugiannya ratusan trilliun. BP Migas bukan entitas bisnis, maka minyak dan gas bagian negara yang berasal dari kontraktor asing tidak bisa dijual sendiri oleh BP Migas. UU Migas memerintahkan BP Migas menunjuk pihak lain untuk menjualnya.

Contohnya adalah Lapangan Gas Tangguh yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP). Karena bukan entitas bisnis, maka yang membangun pabrik gasnya ditunjuk oleh BP juga. Akibatnya BP meraup keuntungan luar biasa, dengan membangun pabrik, biayaknya bisa dimark-up dan pinjam uang ke bank dengan jaminan pemerintah. Setelah gas menjadi cair, harga penjualannya pun dikunci pada 3,35 dollar AS per mmbtu. Mari kita bandingkan dengan Lapangan Gas Bontang yang pabriknya dikelola oleh Pertamina. Meskipun lapangan gas Bontang ditemukan oleh investor asing, namun UU lama memerintahkan Pertamina yang berkontrak, BUMN itu bisa membangun dan memiliki pabriknya serta menjual ke Jepang dengan harga 20 dollar AS per mmbtu. See the different?

Parahnya harga gas Bontang akan naik sesuai dengan kenaikan harga pasar, sedangkan harga gas Tangguh sudah terkunci. Kerugian Indonesia di lapangan gas tangguh mencapai 30 trilliun dan di blok Mahakan kerugian mencapai 5o trilliun (Kurtubi:2012).

Menurut survei Fraser Institute Canada tahun 2011, kondisi investasi migas Indonesia menempati peringkat 114 dari 145 negara di dunia dan paling buruk di Asia dan Oceania. Lebih buruk dari Timor Leste, Papua Nugini, atau Filipina. Secara geologis sumber daya migas di perut bumi Indonesia mencapai 50-80 miliar barrel dan gas sekitar 350 triliun kaki kubik. Namun cadangan terbukti yang diproduksi saat ini hanya sekitar 3,9 miliar barrel yang akan habis sekitar 12 tahun ke depan. (Kurtubi:2012)

Kontroversi UU Migas tidak selesai disitu saja karena masih banyak yang pro mendukung UU Migas dan justru menganggap bahwa pembubaran BP Migas adalah salah satu langkah mundur dan pengingkaran terhadap cita cita reformasi. Bahkan salah satu Hakim MK, Harjono, menyampaikan dissenting opinion putusan MK dan menyatakan bahwa tidak ada konstitusi yang dilanggar oleh UU Migas dan keberadaan BP Migas pun tidak serta-merta inkonstitusional.

Menurut yang pro UU migas yang sekarang, UU migas lahir karena adanya harapan bahwa regulator dan operator Migas dilakukan oleh dua badan yang berbeda, artinya Pertamina tidak boleh menjadi operator sekaligus regulator. Bahkan BP Migas berencana menerbitkan buku putih untuk membuka kebenaran terkait stigma negatif yang selama ini disematkan pada badan otonom pengawas sektor hulu migas Indonesia itu. Beberapa  poin yang ingin ditekankan dalam buku putih tersebut adalah sebagai berikut:

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 sejatinya adalah tuntutan reformasi untuk tata kelola yang baik, transparansi dan antikorupsi. UU Migas bertujuan untuk memperbaiki kondisi sektor hulu dan hilir migas yang dulu monopolistik, oligarki, lemah pengawasan dan rawan Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (KKN).  Sejak diberlakukannya UU Migas, tata kelola di sektor hulu migas menjadi membaik yaitu Pertamina tidak lagi menjadi pengawas sekaligus pemain di industri hulu migas. Hal tersebut mendorong Pertamina menjadi lebih fokus dalam mengembangkan bisnisnya.  Dampak di sektor hulu migas sangat terlihat dari tingkat produksi Pertamina sebelum UU Migas yang hanya 70 ribu barel per hari (bph), namun setelah diberlakukan UU Migas  produksi Pertamina naik menjadi 130 ribu bph.  Di sektor hilir juga sangat terlihat perbedaan mencolok sebelum dan sesudah diberlakukannya UU Migas di mana sebelum diberlakukan UU Migas pelayanan SPBU Pertamina sangat buruk. Namun, kini setelah UU Migas diberlakukan pelayanan SPBU Pertamina sangat jauh lebih baik sehingga konsumen saat ini lebih diuntungkan dengan adanya UU Migas 22 Tahun 2001.

Pernyataan banyak pihak sejak berlakunya UU Migas No. 22 Tahun 2001 penemuan cadangan migas baru menurun dan produksi minyak nasional juga turun adalah tidak benar. Berdasarkan fakta historikal sejarah atau data yang ada, produksi minyak bumi nasional menurun sejak 1996 saat kendali industri hulu migas masih dipegang Pertamina atau sebelum UU Migas diberlakukan, dengan rata-rata laju penurunan produksi mencapai 12 persen per tahun.
Dan masih banyak poin poin lain yang mendukung keberadaan BP Migas ini, rasanya tulisan ini akan menjadi terlalu panjang.

Kembali Ke Cita-Cita
Dan begitulah, kontroversi atas setiap kebijakan akan selalu ada. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun penulis hanya ingin menyampaikan kembali visi negara Indonesia di dalam pembukaan UUD 1945 yakni ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...”

Diatas semua perdebatan kita mengenai layak atau tidaknya UU Migas dan BP Migas dibubarkan atau dipertahankan, adalah jauh lebih penting untuk memahami secara utuh apakah sumber daya energi perminyakan kita benar-benar telah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Lalu apakah dengan dibubarkannya BP Migas, rakyat akan semakin merasakan dampak kesejahteraan yang meningkat? Pada dasarnya rakyat kecil tidak peduli apakah operator atau regulator migas di tangan Pertamina atau BP Migas atau KemESDM.
Mari sejenak merenung setelah melihat gambaran penguasaan kekayaan minyak kita sebagai berikut:



Adakah rasa nasionalisme anda tersentuh melihat ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar