Senin, 26 November 2012

Feodalisme dan Anti-Kritik Masihkah Relevan?


Feodalisme berasal dari bahas Latin yakni feodum atau feudum. Secara historis, istilah feudum ini berkembang pada Abad Pertengahan di Eropa yang kaitannya dengan kekuasaan bangsawan yang dijual kepada kalangan borjuis atau ksatria untuk menguasai lahan/tanah dan menyerahkan upeti kepada kerajaan. Pola ini membentuk hirarkis dimana kalangan borjuis atau ksatria berada dibawah kekuasaan bangsawan dan sekaligus membawahi rakyat jelata. Kelak, sistem sumber pendapatan kerajaan dengan cara inilah yang mengawali lahirnya sistem pajak.

Pengertian feodalisme ini oleh para ekspertis kemudian dikembangkan sehingga pengertiannya pun menjadi jauh lebih luas. Pemaknaan mengenai feodalisme kemudian meliputi sikap yang mengagungkan kekuasaan, pangkat ataupun jabatan serta bertahan pada nilai nilai lama yang sudah ditinggalkan. Mental feodalisme seolah membenarkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan atau pangkat maupun jabatan berhak sewenang-wenang pada pihak yang dikuasainya atau orang yang secara hierarki berada dibawahnya. Lebih jauh lagi, seorang bawahan tidak layak menegur atasan. Oleh karena itu, beberapa pengamat juga memasukkan feodalisme sebagai salah satu sebab terjadinya korupsi.

Di era sekarang dimana alam demokrasi menjamin kebebasan berpendapat, budaya feodalisme sudah tidak lagi relevan. Di dalam lingkaran kekuasaan politik dan birokrasi, karakter feodalis masih tetap ada sekalipun tidak sesubur di masa kepemimpinan diktator Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto, Bapak Pembangunan. Kita belum berbicara tentang wakil rakyat, yang tidak akan ada habisnya diperbincangkan di tulisan ini jika dikaitkan dengan mental feodalis.

Meskipun pada dasarnya tidak wajar dimaklumi, namun kita seolah sudah dapat memaklumi feodalisme di lingkaran kekuasaan politik. Namun yang mengejutkan tentu saja adalah ketika mental feodalisme ini juga terpelihara di lingkungan akademis yaitu kampus, sengaja atau tidak sengaja. Pada dasarnya kampus adalah tempat belajar, diskusi akademis, dan riset. Proses belajar yang baik tentu saja yang mengikutsertakan situasi diskusi yang baik. Suatu teori tidak begitu saja mutlak harus diterima terus-menerus karena suatu saat suatu teori akan jatuh oleh fakta-fakta baru diiringi argumentasi yang meyakinkan. Ilmu pengetahuan pun senantiasa berkembang termasuk proses pembelajaran itu sendiri. Suatu teori akan terus menerus diuji oleh perubahan dan perkembangan zaman apakah masih relevan atau tidak.

Sulit bagi penulis untuk melupakan kejadian beberapa bulan lalu di kelas Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai (PHKC). Seorang teman menanyakan urgensi dipertahankannya status Importir Mitra Utama Prioritas (MITA-P). Importir MITA-P ini adalah importir yang dokumen impornya tidak diteliti dan barang impornya tidak diperiksa sama sekali. Argumen yang disampaikan oleh teman mahasiswa ini adalah, MITA-P ini tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pabean dan menyalahi cita-cita untuk melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang yang tidak diperiksa ke wilayah Indonesia. Bea Cukai seolah kehilangan perannya sebagai homeland protection agency demi mengakomodasi keinginan masyarakat usaha atas kecepatan proses clearence barang. Pengajar PHKC yang ditanyakan pendapatnya justru menunjukkan raut wajar dan nada bicara emosi. “Siapa anda? Urusan apa anda? Anda itu belajar disini. Peraturan ini dibuat oleh wakil rakyat, anda harus patuh saja. Patuh pada atasan jangan mau dipengaruhi orang lain” begitulah kira-kira jawaban pengajar secara berulang-ulang dengan penekanan bahwa sebagai mahasiswa tidak pantas untuk menanyakan relevansi dan konsistensi sebuah aturan.

Hal ini tentu saja mengecawakan karena opini tidak di-counter  dengan opini tetapi justru dijawab dengan tinggi rendahnya status. Lalu apakah karena masih menyandang status sebagai mahasiswa yang memiliki ikatan dinas kita tidak boleh mempertanyakan sebuah kebijakan? Sangat wajar tentunya mahasiswa bertanya dan menyampaikan pendapatnya terkait suatu kebijakan apalagi pada saat jam belajar. Larangan membantah atasan di dunia kerja mungkin masih wajar diterima, tetapi larangan bertanya di kelas seperti ini tentu masih perlu dipirkan kembali. Jika memang pengajar sudah termasuk ahli di bidangnya dan punya sejuta pengalaman di dunia kerja, tentu saja pertanyaan seperti ini dapat dengan mudah dijawab dengan argumentasi yang kuat.

Secara psikologis, emosi sering kali muncul dalam debat karena ketidakmampuan dan minimnya kompetensi pada  hal yang diperdebatkan. Namun rasanya tidak pantas jika kita meragukan kemampuan pengajar, yang wajar kita sayangkan hanyalah sikap anti-kritik dan iklim diskusi yang tidak sehat. Lagipula, setelah diteliti lebih jauh ditemukan bahwa dasar peraturan yang mengatur importir MITA-P ini bukanlah Undang Undang melainkan peraturan menteri dan peraturan dirjen, artinya tidak ada keterlibatan wakil rakyat dalam pembuatannnya.

Kita tentu merindukan sebuah situasi belajar yang kondusif untuk sarana diskusi karena hanya dengan jalan diskusi dan berargumentasi kita bisa menemukan ide ide dan formulasi terbaik dalam pengambilan kebijakan. Idealnya, dunia kampuslah yang membantu dan memberikan masukan pada pemerintah pada saat proses pengambilan kebijakan. Menarik membayangkan STAN atau Pusdiklat Bea dan Cukai tidak hanya sekedar lembaga pendidikan dan pelatihan tetapi juga lembaga riset atas kebijakan yang akan atau sudah diambil di eselon I Kementrian Keuangan. Bagaimanapun, mahasiswalah yang kelak akan mewarisi tongkat estafet kepemimpinan dan tentu saja ide ide segar dan konstruktif sangat dibutuhkan.

Dalam sejarah pun, ada kejadian besar yang lebih besar terkait kekuasaan yang anti-kritik ini. Galileo Galilei pernah dipenjara karena penemuannya yang mendukung teori Copernicus bahwa Bumi bergerak mengelilingi Matahari bukan sebaliknya. Pada masa itu, teori yang masih dipakai adalah teori Aristoteles bahwa bumilah yan menjadi pusat alam semesta. Oleh Gereja Katholik, pandangan Galileo Galilei dianggap merusak iman. Feodalisme dan sikap anti-kritik gereja pada masa itulah yang membuat Galileo akhirnya meninggal dalam tahanan rumah. Baru tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa hukuman kepada Galileo adalah salah.

Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud  melawan, hanya merupakan otokritik agar kelak ada perbaikan. Budaya anti-kritik sudah saatnya dihilangkan dan dimulai dari dunia kampus. Hanya karena kita ikatan dinas, tidak berarti bahwa setiap tingkah laku kita harus dikaitkan dengan ancaman tidak akan ditempatkan.

Kamis, 15 November 2012

Kontroversi Undang Undang Migas


Mahkamah Konstitusi akhirnya membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan menyatakan bahwa fungsi dan wewenang BP Migas beralih ke Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan ini sarat dengan kontroversi, dan seperti biasa ada cukup banyak analisis yang dilakukan oleh cerdik pandai maupun oleh orang awam dan melihat dari sisi yang beragam.

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang keputusan MK ini tentu perlu juga kita kaji mengenai fakta-fakta terkait dunia perminyakan dan energi kita. Pengaturan mengenai migas diatur dalam UU Migas no 22/2001. UU mengenai migas seharusnya sangat penting karena sama dengan UU Keuangan Negara merupakan UU organik yang lahir dari pesan dan perintah UUD 1945 pada pasal 33 yaitu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sejarah UU Migas
Secara historis, UU Migas ini sarat dengan kepentingan asing. Draft UU Migas pertama kali dikerjakan oleh konsultan US AID, diajukan sebagai draft Undang undang ke DPR oleh Mentri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto. DR. Rizal Ramli pada saat itu menjadi penasehat ekonomi fraksi ABRI dan fraksi-fraksi DPR lainnya menyarankan agar DPR menolak draft UU Migas tersebut. Dan memang DPR pada waktu itu akhirnya menolak dan meminta diperbaiki. Pada masa pemerintahan Gus Dur pembahasan draft UU tersebut mandeg dan stuck  karena Menko Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli tidak mendorongnya. Barulah setelah pergantian presiden, draft UU tersebut dikebut menjadi UU Migas. Pembahasan intensif dilakukan setelah Gus Dur jatuh dan Kwik Kian Gie serta  Rizal Ramli tidak lagi jadi Menko. Bahkan lebih parah lagi, ekonom politik Ichasnuddin Noorsy menilai bahwa konten UU Migas adalah titipan IMF. Sulit untuk menyangkalnya mengingat begitu jauhnya IMF ikut campur tangan di Indonesia seperti penutupan PT Dirgantara Indonesia ketika krisis moneter 1998.

Profit Sharing Contract
Pengelolaan Migas kita saat ini menggunakan Profit Sharing Contract(PSC). Prinsip-prinsip umum PSC adalah: kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara; kontrak didasarkan pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi biaya-biaya (cost recovery);  resiko ditanggung oleh kontraktor; aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara; kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau melatih mereka; dan kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri maksimum 25% dari bagian mereka. Di dalam PSC, kontraktor hanya berhak atas manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral right) tetap menjadi milik negara.

Sampai UU Migas No 22 Tahun 2001 terbit, sistem PSC masih dianggap yang terbaik, dibandingkan sistem-sistem pendahulunya, yakni sistem konsesi (1899 – 1960) dan kontrak karya (1960 – 1964). UU ini hanya merubah pelaku yang mewakili negara dalam mengadakan perjanjian dengan kontraktor. Sebelum UU liberal itu lahir, negara menunjuk Pertamina sebagai kepanjangan tangan. Setelah itu, Pemerintah melucuti kekuasaan Pertamina, dan membentuk BP Migas sebagai gantinya. Aneh memang karena badan hukum negara yang sifatnya non-profit, membuat suatu perjanjian bisnis.

Kontroversi UU Migas
Banyak pakar perminyakan dan ekonom yang mengatakan bahwa UU Migas ini justru merugikan rakyat Indonesia karena isinya memerintahkan kontrak-kontrak migas dilakukan oleh BP Migas, bukan oleh Pertamina dan dampak kerugiannya ratusan trilliun. BP Migas bukan entitas bisnis, maka minyak dan gas bagian negara yang berasal dari kontraktor asing tidak bisa dijual sendiri oleh BP Migas. UU Migas memerintahkan BP Migas menunjuk pihak lain untuk menjualnya.

Contohnya adalah Lapangan Gas Tangguh yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP). Karena bukan entitas bisnis, maka yang membangun pabrik gasnya ditunjuk oleh BP juga. Akibatnya BP meraup keuntungan luar biasa, dengan membangun pabrik, biayaknya bisa dimark-up dan pinjam uang ke bank dengan jaminan pemerintah. Setelah gas menjadi cair, harga penjualannya pun dikunci pada 3,35 dollar AS per mmbtu. Mari kita bandingkan dengan Lapangan Gas Bontang yang pabriknya dikelola oleh Pertamina. Meskipun lapangan gas Bontang ditemukan oleh investor asing, namun UU lama memerintahkan Pertamina yang berkontrak, BUMN itu bisa membangun dan memiliki pabriknya serta menjual ke Jepang dengan harga 20 dollar AS per mmbtu. See the different?

Parahnya harga gas Bontang akan naik sesuai dengan kenaikan harga pasar, sedangkan harga gas Tangguh sudah terkunci. Kerugian Indonesia di lapangan gas tangguh mencapai 30 trilliun dan di blok Mahakan kerugian mencapai 5o trilliun (Kurtubi:2012).

Menurut survei Fraser Institute Canada tahun 2011, kondisi investasi migas Indonesia menempati peringkat 114 dari 145 negara di dunia dan paling buruk di Asia dan Oceania. Lebih buruk dari Timor Leste, Papua Nugini, atau Filipina. Secara geologis sumber daya migas di perut bumi Indonesia mencapai 50-80 miliar barrel dan gas sekitar 350 triliun kaki kubik. Namun cadangan terbukti yang diproduksi saat ini hanya sekitar 3,9 miliar barrel yang akan habis sekitar 12 tahun ke depan. (Kurtubi:2012)

Kontroversi UU Migas tidak selesai disitu saja karena masih banyak yang pro mendukung UU Migas dan justru menganggap bahwa pembubaran BP Migas adalah salah satu langkah mundur dan pengingkaran terhadap cita cita reformasi. Bahkan salah satu Hakim MK, Harjono, menyampaikan dissenting opinion putusan MK dan menyatakan bahwa tidak ada konstitusi yang dilanggar oleh UU Migas dan keberadaan BP Migas pun tidak serta-merta inkonstitusional.

Menurut yang pro UU migas yang sekarang, UU migas lahir karena adanya harapan bahwa regulator dan operator Migas dilakukan oleh dua badan yang berbeda, artinya Pertamina tidak boleh menjadi operator sekaligus regulator. Bahkan BP Migas berencana menerbitkan buku putih untuk membuka kebenaran terkait stigma negatif yang selama ini disematkan pada badan otonom pengawas sektor hulu migas Indonesia itu. Beberapa  poin yang ingin ditekankan dalam buku putih tersebut adalah sebagai berikut:

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 sejatinya adalah tuntutan reformasi untuk tata kelola yang baik, transparansi dan antikorupsi. UU Migas bertujuan untuk memperbaiki kondisi sektor hulu dan hilir migas yang dulu monopolistik, oligarki, lemah pengawasan dan rawan Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (KKN).  Sejak diberlakukannya UU Migas, tata kelola di sektor hulu migas menjadi membaik yaitu Pertamina tidak lagi menjadi pengawas sekaligus pemain di industri hulu migas. Hal tersebut mendorong Pertamina menjadi lebih fokus dalam mengembangkan bisnisnya.  Dampak di sektor hulu migas sangat terlihat dari tingkat produksi Pertamina sebelum UU Migas yang hanya 70 ribu barel per hari (bph), namun setelah diberlakukan UU Migas  produksi Pertamina naik menjadi 130 ribu bph.  Di sektor hilir juga sangat terlihat perbedaan mencolok sebelum dan sesudah diberlakukannya UU Migas di mana sebelum diberlakukan UU Migas pelayanan SPBU Pertamina sangat buruk. Namun, kini setelah UU Migas diberlakukan pelayanan SPBU Pertamina sangat jauh lebih baik sehingga konsumen saat ini lebih diuntungkan dengan adanya UU Migas 22 Tahun 2001.

Pernyataan banyak pihak sejak berlakunya UU Migas No. 22 Tahun 2001 penemuan cadangan migas baru menurun dan produksi minyak nasional juga turun adalah tidak benar. Berdasarkan fakta historikal sejarah atau data yang ada, produksi minyak bumi nasional menurun sejak 1996 saat kendali industri hulu migas masih dipegang Pertamina atau sebelum UU Migas diberlakukan, dengan rata-rata laju penurunan produksi mencapai 12 persen per tahun.
Dan masih banyak poin poin lain yang mendukung keberadaan BP Migas ini, rasanya tulisan ini akan menjadi terlalu panjang.

Kembali Ke Cita-Cita
Dan begitulah, kontroversi atas setiap kebijakan akan selalu ada. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun penulis hanya ingin menyampaikan kembali visi negara Indonesia di dalam pembukaan UUD 1945 yakni ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...”

Diatas semua perdebatan kita mengenai layak atau tidaknya UU Migas dan BP Migas dibubarkan atau dipertahankan, adalah jauh lebih penting untuk memahami secara utuh apakah sumber daya energi perminyakan kita benar-benar telah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat? Lalu apakah dengan dibubarkannya BP Migas, rakyat akan semakin merasakan dampak kesejahteraan yang meningkat? Pada dasarnya rakyat kecil tidak peduli apakah operator atau regulator migas di tangan Pertamina atau BP Migas atau KemESDM.
Mari sejenak merenung setelah melihat gambaran penguasaan kekayaan minyak kita sebagai berikut:



Adakah rasa nasionalisme anda tersentuh melihat ini?

Jumat, 09 November 2012

Pilpres Indonesia 2014 seperti Pilpres Amerika Serikat

Pilpres di Amerika Serikat baru saja usai dengan kemenangan Barack Obama dari Partai Demokrat. Barack Obama terpilih dengan kemenangan telak 303-206 atas Mitt Romney pada lapis utusan (electoral college) dari 50 negara bagian ditambah satu daerah khusus Washington, kecuali Florida. Pada lapis pemilih, Obama untuk sementara unggul 60,6 juta dibandingkan 57,7 juta suara.
               
Selama beberapa minggu terakhir, pilpres AS menjadi topik yang sangat menarik dibahas di media baik oleh kalangan cerdik pandai maupun wartawan. Ada banyak kacamata yang digunakan dalam melihat Pilpres AS ini. Sebagian menilai dari sisi sebab sebab kemenangan Obama, ada yang melihat bagaimana hubungan Indonesia AS akan dibangun dibawah pemerintahan Obama jilid yang ke II ini dan ada juga yang mengkritik pemerintah Indonesia yang tidak mampu menggunakan momentum ini untuk kepentingan Indonesia mengingat ada keterkaitan historis Obama dengan Jakarta. Semua pendapat-pendapat yang mengemuka itu tentu ada benar dan salahnya.

Dalam polling yang dipublikasikan oleh beberapa media dan lembaga survei tergambar bahwa pilpres AS kali ini adalah pemilu yang sangat ketat, melampaui ketatnya pilpres 1960 ketika John F Kennedy bertarung dengan Richard Nixon. Di Indonesia sendiri mungkin belum ada pilpres yang sedemikian ketatnya, tidak di 2008 dan tidak juga di 2004 lalu yang keduanya dimenangkan SBY. Mengapa sampai sedemikian ketatnya? Berbeda dengan pilpres di Indonesia, pilpres di AS adalah pertarungan dua visi dan ideologi berbeda. Romney adalah konservatif dari Republikan yang seorang konglomerat pemilik Bain Capital. Sedangkan Obama adalah seorang liberal dari Demokrat yang pernah menjalani masa pubernya di Indonesia. Tahun 1967, ketika Obama masih bersekolah di Jakarta, Gubernur Michigan George Romney ayah dari Mitt Romney yang juga capres AS ketika itu datang ke Jakarta menemui Presiden Soeharto. Mungkin tidak disadari Obama bahwa kelak ia akan bertarung di pilpres AS dengan putra sang gubernur. Disini pun jelas tergambar latar belakang masa kecil dari Romney dan Obama.
          
Selama kampanye Obama sedikit lebih menonjol dibandingkan Romney. Obama ingin pemerintah ikut campur tangan dalam hal sistem asuransi kesehatan serta pendidikan anak Amerika, sementara Romney tidak berpihak ke arah sana. Romney menekankan prinsip pasar bebas itu tetap berlaku. Ada yang beranggapan bahwa Romney juga adalah simbol kapitalisme yang membawa kepentingan Wall Street. Obama bertekad membawa AS menjadi welfare state mirip di Eropa, sebaliknya Romney sangat menganjurkan free and open competition yang menjunjung tinggi kerja keras dan kapitalisme.

Dalam polling yang dipublikasikan kompas pada 7 November 2012, Obama didukung oleh 56% dari kalangan yang berpendapatan 36.000 dollar per tahun, sementara Romney hanya memperoleh dukungan 38%. Namun untuk kelas yang berpendapatan  90.000 dollar per tahun, dukungan kepada Romney mencapai 52% dan Obama hanya 44%. Angka ini jelas menjadi potret perbedaan ideologi dan keberpihakan yang mereka bawa.

Dan perlu diketahui bahwa tiga per empat pemilih mengaku bahwa faktor ekonomi menjadi pertimbangan utama memilih kali ini. Hal ini menggambarkan bahwa mayoritas pemilih AS secara rasional menyadari bahwa apa yang terjadi dengan ekonomi Amerika Serikat sekarang bukanlah kesalahan kebijakan Obama sebelumnya melainkan faktor pertumbuhan ekonomi global yang melamban. Kepercayaan masyarakat AS ini menjadi penting karena saat ini AS sedang diancam krisis anggaran dengan defisit sekitar 1 miliar dollar AS per tahun dan utang publik mencapai 16 trilliun dollar AS. Belum lagi ditambah dengan 50 juta warga miskin yang mengandalkan kupon makan gratis pemerintah dan 23 juta orang pengangguran. Angka angka ini menjadi gambaran yang wajar mengapa faktor ekonomi menjadi alasan pemilih dan itu artinya ideologi ekonomi dan titik keberpihakan capres AS ini sangat berpengaruh banyak pada distribusi suara.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kebalikan dengan Indonesia pada pilpres pilpres yang lalu, hampir tidak ada pertarungan ideologi yang jelas. Di pilpres 2004 misalnya, pada pilpres putaran kedua ketika Megawati dengan partai pengusung PDIP membawa jargon ekonomi kerakyatan dan lawannya SBY dari Demokrat yang menunjukkan ideologi demokratisnya. Di 2008 juga tidak jauh berbeda ketika Megawati tetap membawa jargon wong cilik dan ekonomi kerakyatan dan SBY dengan jargon lanjutkan serta Jusuf Kalla yang membawa jargon lebih cepat lebih baik. Dari ketiga calon ini saya hampir tidak melihat perbedaan dan pertarungan ideologi yang ketat dalam visi membawa Indonesia ke arah mana. Prinsip ekonomi kerakyatan memang bisa menjadi ideologi ekonomi namum jika tidak jelas arahnya hanya akan sebatas jargon. Begitu juga dengan jargon lebih cepat lebih baik yang sama sekali tidak menunjukkan ideologi yang dibawa. Dalam kampanye, yang “dijual” selalu tidak jauh jauh dari pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Maka dari itu visi yang dibawa juga semuanya hampir sama dan abu abu. Pada praktik pemerintahan juga begitu, SBY menekankan pro poor, pro growth, pro job dan pro environment. Ini bukanlah ideologi maupun strategi dalam mencapai visi Indonesia. Bagi saya apapun ideologinya, apa yang dimaksudkan SBY inilah tujuan yang ingin dicapai. Masalahnya adalah bagaimana cara mencapai tujuan tersebut tidaklah tercermin dalam ideologi partai yang mengklaim sebagai Nasionalis Religius ini.
  
Pilpres AS juga jelas merupakan pertarungan antar dua ideologi mengenai titik pengenaan pajak. Obama dan Romney bertarung menunjukkan letak keberpihakan terhadap rakyatnya. Obama jelas lebih memilih titik pengenaan pajak pada kalangan menengah ke atas sedangkan Romney sebaliknya justru melindungi kalangan menengah ke atas untuk tetap memacu pertumbuhan ekonomi lewat investasi investasi oleh kalangan atas yang dimungkinkan jika pajak bagi mereka tidak terlalu berat. Masalah titik pengenaan pajak ini penting mengingat taipan dan pialang saham Warren Buffet pernah mengatakan bahwa ia merasa aneh bahwa pajak yang dibayar oleh pekerjanya lebih besar daripada pajak yang ia bayar. Hal ini sangat penting juga dibahas pada kampanye pilpres Indonesia kelak.

Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa visi Indonesia adalah “membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia...”. Menurut saya, penjabaran dan ideologi dalam pencapaian visi negara inilah yang harus dipertarungkan dalam pilpres. Masalah pendidikan dan kesehatan gratis tidak lagi relevan dibawa ke ranah kampanye karena sudah menjadi kewajiban negara untuk melindunginya sesuai amanat UUD 1945. Butuh semacam ability to see unseeing things sehingga jelas tidak mudah menjadi pemimpin Indonesia. Jika hal ini diamini maka akan banyak yang menyadari bahwa dia tidak layak mejadi presiden bahkan menjadi capres saja pun, bukan justru berlomba mengaku diri layak menjadi presiden. Bertarung pada ranah ideologi membutuhkan wawasan politik, kenegaraan, kepekaan dan visi yang mumpuni. Inilah yang terjadi di AS dan sayangnya belum terjadi di Indonesia.

Semoga kelak di pilpres 2014, capres capres Indonesia sudah menunjukkan kemampuan dan keberanian bertarung pada ranah ideologi, titik keberpihakan yang jelas, dan penjabaran strategi akan pencapaian visi Indonesia secara tegas, tidak sebatas retorika yang abu-abu dan suam-suam kuku saja. Tidak kalah pentingnya juga adalah semoga pemilih semakin rasional dan cerdas, tidak diperdaya oleh janji gratisan ketika kampanye melainkan mampu menetapkan pilihan yang argumentatif.