Kamis, 18 April 2013

Apa Makna IPK Tinggi? (Sebuah Autokritik)

Kita sebentar lagi akan lulus, maka seharusnya kita menganggap pendidikan yang kita jalani selama ini sebagai sebuah pengalaman yang menyenangkan, terutama apabila kita adalah lulusan terbaik di angkatan kita ataupun paling tidak di kelas atau komunitas bergaul kita. Namun mari renungkan, apakah dengan menyandang lulusan dengan nilai terbaik maka secara otomatis kita lebih pintar dibandingkan dengan teman teman kita yang—katakanlah—nilainya tidak lebih baik dari kita. Sekali-kali tidak. Bagi penulis, makna nilai terbaik itu hanyalah terbaik dalam hal melakukan apa yang diperintahkan kepada kita dan terbaik dalam mematuhi sistem yang ada. Jika kita saling membandingkan pencapaian kita lewat indikator nilai yakni IP atau IPK, maka yang IP atau IPKnya lebih tinggi tidak berarti lebih pintar dari yang lain. Secara sederhananya dapat dikatakan bahwa yang mencapai nilai lebih baik tersebut hanya lebih patuh dalam sistem.

Ketika kelak pendidikan kita telah selesai maka harus kita sadari bahwa periode indoktrinasi kita telah selesai. Setelah kelulusan nanti maka kita akan dilepas ke dunia kerja dengan penuh kegamangan mengenai apa yang akan kita lakukan dalam bekerja. Lebih lebih lagi kegamangan kita akan bertambah ketika harus menunggu sampai beberapa waktu lamanya untuk sampai waktu yang tepat—menurut Kemenkeu—untuk penempatan kita.

Namun demikian kita perlu melakukan kontemplasi untuk kembali menyadari bahwa kita adalah manusia, dilahirkan untuk berpikir, mencari pengalaman hidup—bukan hanya pekerja. Menjadi pekerja artinya kita akan terjebak dalam pengulangan, menjadi seorang budak di dalam sistem yang mengurung diri kita. Jika demikian adanya, analog dengan pendapat penulis di awal tulisan ini maka mahasiswa-mahasiwa yang meraih nilai terbaik telah menunjukkan bahwa ia adalah budak terpintar. Mahasiswa yang mendapat predikat lebih baik dari yang lainnya bermakna bahwa ia adalah budak yang lebih pintar dari yang lainnya.

Sampai disini kita baru membahas tentang makna sebagai yang terbaik, belum menyentuh tentang content dan pola pendidikan yang kita jalani. Izinkan saya menggunakan analogi komputer sebagai cara kerja berpikir kita. Mayoritas materi kuliah yang kita konsumsi dan pola ujian yang kita terima mengarahkan kita menjadi memory storage bukan sebagai processor ataupun CPU seutuhnya. Kita tak bisa menyangkal bahwa kita seakan-akan dipaksa untuk menghafal seabrek materi kuliah dan bahkan tanpa memahami apa maksudnya. Lalu apakah semuanya itu ditempatkan di long term memory? Tidak juga. Coba saja mengingat apa yang kita pelajari di mata kuliah Pengetahuan Indentifikasi Barang tingkat I semester 1.

Lalu kemudian atas kemampuan storage kita tersebut dilakukan penilaian siapa yang terbaik. Layakkah yang terbaik atau yang lebih baik dianggap sebagai terpintar atau lebih pintar? Sekali-kali tidak. Yang terbaik berarti yang memory storage-nya kuat bukan processor-nya yang andal. Apakah manusia dididik hanya sebatas menjadi storage atau menjadi CPU seutuhnya? Atau lebih sempitnya lagi, dunia kerja justru membutuhkan daya kreativitas kita untuk memecahkan setumpuk masalah bukan sebatas kepatuhan belaka apalagi hanya mengandalkan memory storage.

Secara umum, menjadi mahasiswa akan memberi kita dua dari tiga pilihan untuk dikerjakan dalam menjalani day by day perkuliahan. Pilihan tersebut adalah nilai baik, kesehatan, atau hobi/pergaulan. Ketiga-tiganya tidak bisa berjalan sekaligus, melainkan hanya dua. Sebagai contoh, seorang aktivis kemahasiswaan yang hidupnya sehat dengan jam tidur teratur akan sulit mendapatkan nilai yang baik di kampus. Demikian juga mahasiswa yang mendapat nilai baik dibarengi dengan kesehatan dan jam tidur yang teratur biasanya harus merelakan aktivitas sosial pergaulan dan hobi. Jarang sekali yang mempu menyandingkan ketiganya.

Penulis mengamati bahwa mahasiswa yang mendapat nilai terbaik berarti melakukan apa yang diperintahkan kepadanya secara ekstrim baik. Di saat mahasiswa lain duduk melamun ataupun tertidur di kelas, mahasiswa terbaik akan duduk membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat. Saat mahasiswa lain masuk ke kelas dan menyadari belum menyelesaikan tugasnya, mahasiswa terbaik sendiri tidak akan pernah lalai mengerjakan tugasnya. Saat mahasiswa lain sibuk berbicara tentang jam jam bermain futsal dan update game terbaru, maka mahasiswa terbaik akan mulai mempersiapkan dirinya untuk ujian ujian berikutnya. Mahasiswa lain mungkin sudah terlarut dengan hobinya tetapi mahasiswa terbaik bahkan akan sulit menyadari apa hobinya.

Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah pantas mahasiswa terbaik tersebut menyandang predikat sebagai mahasiswa terbaik? Tentu saja sangat pantas sebagai reward atas kerja kerasnya yang luar biasa. Namun apakah yang akan didapatkan kemudian? Predikat menjadi mahasiswa terbaik apakah menjamin kesuksesan setelah meninggalkan institusi pendidikan? Atau bahkan penyandang mahasiswa terbaik akan justru tersesat dalam hidupnya? Tidak ada jawaban yang benar-benar memuaskan akan hal tersebut kecuali kegamangan yang kembali muncul.

Ketika Ketua Umum KBMC terpilih untuk periode 2012 2013 memilih penulis mendampinginya sebagai wakil, kami sempat terlibat diskusi mengenai apa pentingnya penghargaan bagi IP tertinggi dan kenaikan IP tertinggi. Namun apa daya, sekalipun penulis berpendapat penghargaan tersebut dihapuskan, dalam praktiknya tidak bisa. Menurut hemat penulis, memberikan penghargaan bagi mahasiswa haruslah dengan penilaian utuh, tidak sebatas akademis tetapi juga aspek lain seperti kepribadian, pergaulan, keaktifan dalam kegiatan mahasiswa dan mentalitas. Wajar juga ide penulis ditolak karena ukuran ukuran terhadap substansi tersebut sangat kualitatif, hanya IPK-lah yang bisa terukur secara jelas. Tetapi dengan memberi reward demikian, maka kita secara kelembagaan juga mengakui dan mendorong mahasiswa untuk menjadi “pengejar IP”.

Tapi bukankah dalam dunia pendidikan kita lazim terdengar tiga buah doktrin berikut ini? Pertama, lakukan apa yang diperintahkan. Kedua, percayalah apa yang diajarkan. Ketiga, jangan menyimpang dari textbook. Textbook dalam konteks pendidikan kita termasuk juga peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam Haluan edisi I, lewat opini berjudul “Feodalisme dan Antikritik Apakah Masih Relevan?” penulis mengkritik tentang tidak adanya ruang untuk kritis terhadap aturan. Harus patuh dan terus patuh.

Buruknya lagi, dalam pendidikan yang kita ikuti selama ini hanya membahas sebatas bagaimana menangani akibat dari suatu masalah atau bagaimana menjadi budak yang bekerja secara lebih efisien, belum membahas penyebab masalah.

Penulis berani menyampaikan pendapat ini bukan bermaksud mengkritik orang lain tetapi lebih sebagai otokritik terhadap diri sendiri. Setelah melakukan kontemplasi atas apa yang penulis lakukan selama ini, tibalah pada sebuah kesimpulan bahwa penulis juga termasuk budak yang dimaksud pada tulisan ini. Penulis pun kehilangan waktu waktu berkualitas untuk melakukan hobi demi melaksanakan tuntutan menjadi manusia memory storgage. Namun tentu saja segala sesuatu memiliki dua sisi paradoks. Membina sebuah generasi/angkatan menjadi orang yang patuh mengikuti sistem ada baiknya (bagi orang-orang tertentu) dan juga ada sisi buruknya (bagi orang-orang yang lain).

Jumat, 05 April 2013

Mestakung Solusi Macet Jakarta


Konsep mestakung (alam semesta mendukung) dipopulerkan oleh Prof Yohannes Surya, fisikawan yang membina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dibawah bimbingan beliau, banyak sekali prestasi yang telah diraih oleh TOFI di berbagai level, mulai dari Asian Physics Olimpiad (APhO) hingga International Physics Olimpiad (IPhO) dengan raihan mulai dari perunggu, perak, emas dan Absolute Winner. Capaian ini sangat luar biasa dan membuat Indonesia sangat disegani karena tidak kalah dengan siswa dari negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, China, dll. Menjadi lebih luar biasa karena Prof Yo, demikian biasa ia dipanggil, membuktikan bahwa kunci pencapaian sukses ini adalah pembinaan dan tidak melihat apakah calon peserta olimpiade harus dari sekolah-sekolah bertaraf internasional dari kota-kota besar. Prof Yo juga merekrut dari daerah-daerah terpencil untuk ditempa menjadi andalan di tim olimpiade ini. Bahkan Prof Yo pernah merekrut dari Papua seorang siswa SD yang akan dibina di tim olimpiade ini padahal siswa tersebut keliru menjawab penjumlahan ½ ditambah 1/3 dengan menjawab 1/5.

Prof Yo telah membuka rahasia dibalik kesuksesannya membimbing anak-anak didiknya di TOFI lewat buku Mestakung (alam semesta mendukung). Bahkan konsep mestakung ini telah diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh budayawan kondang, Sudjiwotedjo. Prinsip mestakung adalah bahwa usaha yang kita lakukan harus sampai pada titik paling maksimal sehingga pada titik itu alam semesta/lingkungan kita turut bergerak menyalurkan “energi”-nya untuk pencapaian tujuan dari usaha kita. Secara rinci dan ilmiahnya ada di publikasi Prof Yo.
 
Konsep mestakung ini sering berkecamuk dalam pikiran saya ketika sedang berada di tengah-tengah macetnya Jakarta. Di tengah rasa jenuh menunggu “antrian” macet di jalanan yang panas, pengap, dan penuh dengan asap knalpot serta rasa jengkel ketika melihat minimnya disiplin berkendara dari pengguna jalan, sering kali pula pejabat pemerintah melintas dengan sirine vorrijder dan sirine polisi memaksa memecah kemacetan. Tidak jarang pula saya mendengar masyarakat mengumpat dan ingin marah ketika mobil mobil plat merah dari para pejabat ini melintas. Budayawan Sudjiwotedjo bahkan pernah berkicau di akun twitternya bahwa sirine polisi di jalan raya itu lebih mirip suara babi, dengan arogan ingin mengatan bahwa gue penguasa, elo rakyat, minggir. Rasanya ada banyak orang yang merasa terwakili dengan kekesalan Sudjiwotedjo ini.

Penasaran dengan alasan penggunaan vorrijder dan sirine polisi ini, saya pun berusaha mencari tahu. Saya pun akhirnya menemukan suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi karena pejabat terburu-buru untuk agenda-agenda negara yang penting dan tidak boleh terlambat. Joko Widodo pun yang katanya menolak penggunaan vorrijder, memberikan pengecualian bila agendanya adalah pertemuan dengan kepala negara atau tamu-tamu negara asing. Artinya demi kepentingan agenda (pejabat) negara, masyarakat pengguna jalan haruslah mengalah dan memberi jalan.

Pada suatu senja ketika duduk menunggu redanya hujan di halte transjakarta di sekitaran Tebet, Jakarta Selatan akhirnya saya terinspirasi menggunakan konsep mestakung dalan menangani macetnya ibukota ini. Ketika itu daerah Tebet sedang macet parah di jam pulang kantor dan melintaslah iring-iringan pejabat plat merah dikawal polisi dan vorrijder sehingga pengguna jalan harus menepi. Dari platnya saya tahu bahwa yang melintas adalah pejabat setingkat menteri. Saya berasumsi saja semoga pejabat yang melintas benar-benar sedang menjalankan agenda negara, bukan sedang pulang ke rumahnya di Cibubur, mungkin. Terbersit di pikiran saya, selama pejabat negara masih tetap menggunakan vorrijder ataupun sirine polisi untuk memecah macetnya Jakarta, beliau-beliau tersebut tidak akan pernah sampai pada titik maksimal (mestakung) dalam memikirkan solusi macetnya Jakarta. Pejabat ini tidak akan bisa menggunakan daya pikirnya hingga titik maksimal dan berada pada kondisi alam semesta mendukung dalam mencari solusinya.

Saya pun membayangkan seandainya semua pejabat negara diwajibkan naik angkutan umum ataupun paling tidak vorrijder dilarang penggunaannya. Akan banyak sekali agenda (pejabat) negara yang kacau dan pertemuan-pertemuan yang tidak on time. Bahkan jika itu terkait dengan pertemuan-pertemuan dengan investor-investor asing, misalnya, bisa aja pembicaraan rencana investasi akan dibatalkan. Konsekuensinya tentu saja adalah kerugian besar yang harus kita tanggung akibat pembatalan investasi ini. Hal ini tentu hanya contoh kecil saja dari begitu banyak agenda negara yang memiliki limit waktu dan agenda negara yang eksekusinya sangat peka waktu.

Apa yang saya bayangkan kemudian berlanjut pada suatu situasi dimana para pejabat negara dipaksa untuk memobilisasi daya pikirnya untuk mencapai titik dimana mestakung terjadi dalam mencari solusi kemacetan Jakarta. Akhirnya akan tibalah kita pada titik dimana terjadi sinergi antara daya pikir pejabat negara, kita dan alam semesta untuk mencari solusi macet Jakarta. Bayangkan jika anggota DPR diharuskan naik busway kegedung DPR dan atau menteri kabinet Indonesia Bersatu diwajibkan naik bus dari rumah elit mereka di daerah Cibubur ke kantor-kantor di Jakarta. Layanan busway dan bus lain akan dipaksa meningkat dari sisi kuantitas dan utamanya adalah kualitas. Jika pejabat negara tidak merasakan rill-nya kemacetan yang dialami masyarakat maka kebijakan yang diambil sebagai solusi pun tidaklah memecahkan masalah.

Saya sih sudah sangat jenuh dengan macetnya Jakarta. Bagaimana dengan anda?

Senin, 04 Maret 2013

Apa itu Subprime Mortgage?


Ada begitu banyak orang yang tahu bahwa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang kemudian berdampak pada krisis global pada waktu waktu sesudahnya. Lebih dari itu, ada juga yang memahami bahwa awal dari krisis ekonomi ini adalah macetnya kredit perumahan subprimer (suprime mortgage). Namun demikian, tidak banyak yang benar-benar paham mengenai kejadian yang sebenarnya pada dunia kredit perumahan AS pada waktu itu. Lewat tulisan ini, penulis ingin mengurai lebih rinci dan berusaha untuk secara sederhana menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Tulisan ini banyak memuat pengakuan dari Lawrence McDonald, seorang mantan Wakil Presiden Lehman Brothers. Lehman Brothers adalah firma keuangan yang bangkrut pada hari Senin 15 September 2008 setelah dibangun selama 158 sebagai ksatria perbankan yang cemerlang dan masuk big four di AS maupun di dunia. Kebangkrutannya sangat mempengaruhi ekonomi AS dan ikut menjadi penyebab krisis global 2008.

Bagaimana ini semua berawal? Alan Greenspan, pemimpin Federal Reserve AS, sejak tahun 2000 secara bertahap memangkas suku bunga dari 6% hingga mencapai 1% pada tanggal 30 Juni 2003. Ini adalah suku bunga terendah sejak Great Depression 1920-an. Tujuan awalnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi setelah sebelumnya ada krisis gelembung dot-com akibat pertumbuhan berlebihan perusahaan berbasis internet. Namun Greenspan semakin yakin untuk mencegah resesi akibat peristiwa 11/9. Suku bunga yang hanya 1% ini membuat penurunan jumlah tabungan karena akan sama saja dengan menyimpang uang dibawah bantal. Yang naik adalah kecenderungan untuk menarik kredit dari bank. Untungnya, tidak terjadi inflasi besar karena tingginya angka impor AS terhadap barang dari China sehingga dollar AS banyak yang “diangkut” ke China.

Federal Reserve AS membayangkan sebuah kondisi positif dari perekonomian akibat menekan suku bunga ini. Suku bunga yang rendah sampai 1% akan membuat pertumbuhan kredit yang tinggi dan uang yang beredar banyak secara “gratis”. Bahkan rumah dapat dijadikan sebagai ATM dengan menarik uang dari bank atas pertumbuhan nilai property. Karena kebanjiran uang maka daya beli masyarakat juga naik dan membeli banyak barang dari pasar khususnya barang yang dijual di ritel besar seperti Home Depot, Sears, dll. Penguasa ritel ini mengimpor barang dari China sehingga China pun menjadi kelebihan dollar. Dollar AS milik China ini dipakai untuk membeli simpanan pada Bendahara Negara AS lewat obligasi negara. Jadinya, AS tetap tidak kekurangan dollar meskipun impor tinggi dan tetap dapat mempertahankan suku bunga 1%. Cita-cita pertumbuhan ekonomi pun tercapai karena ada efek domino yang positif dari suku bunga rendah ini. Dalam ekonomi, ini disebut dengan Putaran Umpan Balik Positif. Hal ini akan baik jika konsisten berjalan terus menerus dan akan menguntungkan semua pihak.

Kemudian berkembang pula pemberian kredit perumahan/hipotek di AS, utamanya di California (40% dari kredit subprimer). Kredit suprimer adalah kredit yang diberikan kepada orang yang sejarah kreditnya rendah/kemampuan bayarnya lemah. Bahkan hipotek ini diberikan bukan oleh Bank melainkan oleh “bank bayangan”. Bank bayangan ini nantinya akan menjual hipotek ini ke Bank dan Lembaga Keuangan di WallStreet antara lain Lehman Brothers, Morgan Stanley, Goldman Sachs, Merill Lynch, dll. Contohnya, sebuah bank bayangan berhasil menyalurkan kredit sebanyak 1000 hipotek masing-masing bernilai USD 300.000. Hipotek ini dijual ke Lehman seharga USD 300 juta. Bunga hipotek ini sebesar 2% perbulan sehingga total pembayaran untuk masing-masing hipotek sebesar USD 500 perbulan. Pemilik rumah yang menerima hipotek tidak perlu mengajukan dokumen dan jaminan apapun karena rumah itu sendiri yang akan menjadi jaminannya. Asumsi dari pemberi kredit adalah bahwa nilai rumah itu akan terus naik secara gradual.

Lembaga Keuangan kemudian “menyulap” 1000 buah hipotek ini menjadi obligasi. Hipotek yang tadi dibeli oleh Lehman sebesar USD 300 juta misalnya, dijadikan 300 buah obligasi dengan nilai masing masing USD 1 juta. Komisi dari lembaga keuangan adalah 1% dari nilai total hipotek ini. Tiga ratus buah obligasi kemudian dijual ke pasar dengan kupon 7%-8%. Sekilas tampak bahwa lembaga keuangan ini bodoh karena merugi sebesar 5%-6%, tetapi mereka memperhitungkan bahwa bunga hipotek akan naik menjadi 9%-10% dalam waktu 2 tahun. Selama 2 tahun, pembayaran hipotek akan berada pada bunga 2% namun setelahnya akan dilakukan penyesuaian bunga dengan asumi nilai aset rumah juga meningkat 5% per tahun. Cerdas sekali asumsinya! Namun lembaga keuangan ini melupakan asumsi yang lain bahwa ada kemungkinan penerima kredit tidak akan mampu membayar kredit ini. Bayangkan saja, tadinya kewajiban pembayaran seorang penerima hipotek berkisar USD 500 perbulan. Setelah dua tahun, maka dilakukan penyesuaian bunga sehingga kewajibannya naik menjadi USD 2000 perbulan.

Obligasi ini dijual ke pihak lain dan terutama dibeli oleh bank-bank dari luar negara AS seperti HSBC, Kaupting, dll. Anda bisa membayangkan bagaimana seseorang di Eslandia meminjamkan uang kepada seseorang di daratan California. Globalisasi keuangan? Ya inilah dunia sekarang, entah apapun namanya. Penjualannya mudah karena lembaga keuangan seperti Lehman menggandeng pemeringkat kredit seperti Standard and Poor’s, Moody’s, dan Fifth Ratings. Ketiga lembaga ini memberi peringkat AAA pada obligasi ini sehingga calon pembeli obligasi sangat yakin dengan daya bayar kredit tersebut. Sebagai perbandingan, obligasi ini setara dengan obligasi negara yang diterbitkan oleh Bendahara Negara Amerika Serikat. Yunani ketika sedang sekarat karena tidak mampu membayar utang diberi peringkat BB oleh ketiga lembaga tersebut. Oleh karena ketiga lembaga ini sangat reputable, pembeli obligasi ini menjadi sangat yakin tanpa sadar mereka telah membeli kucing dalam karung—membeli kredit yang hampir mustahil dapat dibayar.

Apa dampak buruk yang mungkin terjadi?
Saya ingin mengajak anda membayangkan serentetan kejadian apabila penerima kredit gagal membayar hipotek ini. Lembaga keuangan akan hancur dan bangkrut karena harus tetap membayar obligasi yang telah dijual ke bank-bank di seantero planet. Lembaga keuangan tidak akan menerima bayaran apapun dari pemilik rumah/penerima kredit karena jelas-jelas tidak mampu bayar. Ya memang lembaga keuangan dapat menyita aset berupa rumah tetapi itu menjadi tidak ada nilainya karena lembaga keuangan butuh cash ketika obligasi jatuh tempo. Lagipula, ketika gagal bayar kredit terjadi, nilai dari rumah tersebut akan terjun bebas. Apabila lembaga keuangan besar seperti Lehman Brothers yang masuk big four bangkrut maka mustahil tidak berdampak pada keuangan dunia.

Bahaya lainnya adalah ketika ada hipotek yang gagal bayar maka akan berimbas pada obligasi yang dijual lembaga keuangan tersebut. Pihak-pihak yang biasa membeli obligasi ini menjadi takut membelinya karena takut pada resiko gagal bayar. Hal ini akan membuat ambruk pasar properti AS sehingga rumah tidak lagi dapat digunakan sebagai ATM untuk menarik kredit dari bank. Karena kesulitan memperoleh kredit, masyarakat akan mengubah pola hidupnya menjadi sederhana dan tidak lagi membeli barang-barang dari penguasa ritel seperti dijelaskan pada awal tulisan ini. Penguasa ritel seperti Home Depot dan Sears pun kemudian mengurangi jumlah impor dari China. Cadangan dollar AS yang dimiliki China pun tidak lagi sebanyak sebelumnya. Padahal Bendahara Negara AS sangat ketergantungan pada China yang memasok dollar AS dengan membeli obligasi negara agar tetap dapat menekan suku bunga 1%. Dalam ilmu ekonomi ini disebut dengan Putaran Umpan Balik Negatif.

Terlalu mudah memberikan kredit ke pihak-pihak yang sangat potensial gagal membayar tentu sangat beresiko. Secara logika sederhana pun kita tentu dapat memahaminya tetapi keuntungan yang cepat dan besar membuat sebagian orang-orang di WallStreet menutup mata. Dampaknya tentu saja krisis global pada tahun 2008 yang masih terasa denyutnya hingga kini. Bahkan negara paling liberal seperti AS yang sejak lama membawa agenda kebebasan dan menolak campur tangan pemerintah sampai titik terendah harus menelan ludahnya sendiri. Kongres AS menyepakati paket bantuan untuk beberapa perusahaan besar di AS yang terancam bangkrut senilai USD 700 Miliar melalui program TARP (Troubled Assets Relief Program). Dana ini menjadi penyambung hidup bagi perusahaan seperti Frannie, Freddie, AIG (perusahaan asuransi terbesar di dunia), General Motors, Goldman Sachs, Bank of America, Citigorup. Perusahaan raksasa ini hampir semua memiliki anak perusahaan yang menyalurkan hipotek secara mudah dan kemudian hancur akibat gagal bayar. Bantuan semacam ini tentu saja pamali bagi negara laissez faire sekelas AS.

Lima tahun telah berlalu, disaat denyut krisis global itu masih terasa, saya justru baru saja memahami apa yang terjadi di AS. Baru awal 2013 saya benar-benar mengerti tentang suprime mortgage itu. Sederhana saja, meminjamkan uang kepada orang yang kita tahu tidak akan mampu membayar lagi.

Kapan terakhir kali anda meminjamkan uang dan tidak kembali? Haha

Selasa, 05 Februari 2013

To Build International Trade a New



Setelah negara-negara di dunia yang menyepakati General Agreement on Tariff and Trade, secara bertahap di seluruh belahan dunia terjadi pengurangan hambatan tarif dan non tarif perdagangan internasional. Jika dilihat lebih ke belakang, gagasan ini terjadi sejak depresi besar yang melanda Amerika Serikat tahun 1920-an, dimana ketika itu terjadi proteksi luar biasa dalam perdagangan bahkan dapat disebut sebagai perang tarif. Terlebih lagi gagasan yang lazim disebut perdagangan bebas ini sangat didukung oleh ekonom penganut mazhab Adam Smith.

Namun faktanya kini sekalipun pengurangan atau penghapusan tarif tidak menghapus sentimen dan kebijakan tentang proteksionisme, negara-negara di dunia justru mencari jalan keluar lain untuk “memproteksi” dirinya. Tak mengherankan jika kemudian penurunan tarif di negara-negara maju kemudian secara cerdik dibarengi dengan munculnya penghalang non tarif. Penghalang non tarif yang populer diantaranya adalah safeguard, dumping dan subsidi.

Yang terjadi sekarang bukanlah hambatan non tarif seperti dibahas sebelumnya tetapi justru penghalang-penghalang teknis lainnya. Masalah dumping dan safeguard misalnya masih bisa diatasi dengan bea masuk anti dumping dan bea masuk safeguard dan sudah lazim dalam tatalaku perdagangan internasional. Berbeda dengan penghalang-penghalang teknis lainnya yang sedikit sulit diselesaikan karena belum diantisipasi dalam sistem perdagangan internasional. Tidak bermaksud mendiskreditkan negara maju, namun memang hal ini sepertinya secara sengaja dibiarkan sebagai intrumen proteksi negaranya. Akal-akalan.

Secara historis, Amerika Serikat pernah bertarung hebat dengan Meksiko terkait dengan ekspor alpukat dari Meksiko ke AS yang dianggap membawa lalat buah. Brazil juga pernah merasakan restriksi perdagangan dari AS terkait dengan dugaan kontaminasi penyakit kuku dan mulut. China bahkan memperkirakan 90% produk pertaniannya terpengaruh oleh penghalang yang bersifat teknis dan mengalami kerugian sekitar 9 miliar dollar. Sekarang “perang restriksi” tampaknya terjadi juga antara Indonesia dan AS.

Dalam laporan Appellate Body World Trade Organization tanggal 4 April 2012 dinyatakan bahwa Amerika Serikat melanggar ketentuan WTO dalam hal diskriminasi dagang terkait rokok beraroma. AS melanggar artikel 2.1 pada perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) WTO. Kasus ini berawal dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act di AS. Undang Undang tersebut melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan. Namun ketentuan ini mengecualikan rokok mentol produksi dalam negeri AS. Hal ini banyak merugikan pabrikan rokok Indonesia yang mengekspor rokok ke AS sehingga Indonesia mengajukan kasus tersebut ke WTO. Namun kasus ini agaknya mengecewakan kita karena sekalipun WTO telah memaksa AS untuk membuka kembali legalitas perdagangan rokok kretek ini, AS tetap tidak menjalankannya.

Ini bukan kasus satu-satunya terkait diskriminasi dagang yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia. Pada 27 Januari 2012, Pemerintah AS menerbitkan notifikasi Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) terkait standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbaharui. Notifikasi ini menegaskan bahwa bahan bakar minyak nabati dari CPO Indonesia belum memenuhi standar terbarukan. Kasus ini memang tidak sampai dibawa Indonesia ke WTO, hanya sebatas menyampaikan sanggahan. AS menjanjikan akan melakukan pengecekan terhadap CPO Indonesia apakah benar-benar ramah lingkungan. Alasan lingkungan ini hanyalah alasan yang dibuat-buat karena dapat dipahami bahwa intensi AS adalah untuk melindungi minyak nabati berbahan baku jagung dan kedelai.

Belum berhenti disitu, The Walt Disney Company juga menambah panjang kasus boikot terhadap produk RI yakni boikot terhadap kertas made in Indonesia. Hanya saja kasus boikot kertas ini agak berbeda karena dilakukan oleh perusahaan, bukan oleh pemerintah seperti kejadian rokok dan CPO.

Beberapa hari terakhir di media cetak nasional pembahasan terkait pengaturan impor hortikultura yang dilakukan oleh Kementrian Pertanian dan Kementrian Perdagangan juga hangat dibicarakan. Sebabnya adalah permohonnan peninjauan oleh AS kepada Dispute Settlement Body WTO atas kebijakan pemerintah RI ini. AS menilai hal ini mengganggu aliran ekspor produk hortikultura dari AS ke Indonesia dan terkhusus lagi ekspor daging sapi. Seorang ekonom nasional, Bustanul Arifin malah menilai ini sebagai sikap yang berlebihan karena pada dasarnya porsi ekspor daging sapi AS ke Indonesia hanya 15%. Bahkan China yang merupakan pemasok utama untuk produk hortikultura tidak berkeberatan dengan kebijakan Indonesia ini.

Fakta-fakta tersebut menambah keyakinan bahwa perdagangan bebas bukanlah konsep perdagangan yang ideal. Perdagangan yang ideal adalah perdagangan yang adil. Menurut Nobel Laureate, Joseph Stigliz, perdagangan yang adil adalah sebuah sistem perdagangan yang akan timbul jika semua subsidi dan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dihilangkan. Jika dibaca secara sekilas, konsep dari Stigliz ini sama saja dengan konsep perdagangan bebas. Bedanya justru terletak pada legal atau tidak legalnya hambatan non tarif diberlakukan. Penurunan hambatan tarif menjadi fokus dari perdagangan bebas tetapi hambatan non tarif diberlakukan secara terselubung. Hambatan non tarif yang diberlakukan secara terselubung ini justru mengorbankan negara-negara berkembang. Kita bisa melihat dengan jelas kasus alpukat Meksiko, daging Brazil, dan rokok serta CPO dari Indonesia. Bahkan sekalipun WTO telah mengeluarkan putusannya terkait keberatan yang diajukan Indonesia, AS tetap tidak menjalankannya. WTO seakan-akan powerless menghadapi superpower ini.

Perdagangan bebas hanya menguntungkan satu pihak dan membebani pihak lain. Bahkan dengan catatan, masyarakat yang negaranya merasa diuntungkan belum tentu merasakan keuntungan. Contohnya, saat ini kesepakatan internasional melarang semua bentuk subsidi kecuali untuk barang-barang pertanian. Kondisi tersebut tentu saja menekan pendapatan di negara-negara berkembang yang tidak mendapatkan subsidi karena produk mereka kalah di pasar internasional. Dan oleh karena sekitar 70% masyarakat di negara-negara berkembang secara langsung maupun tidak langsung menggantungkan hidup mereka pada bidang pertanian, pendapatan negara-negara berkembang mengalami penurunan. Namum bagaimana dengan petani-petani di negara maju, apakah mereka juga menikmati keuntungan dari subsidi ini? Tidak juga karena sebagian besar subsidi pertanian di negara maju juga dinikmati oleh kartel dari perusahaan pertanian besar seperti Cargill dan Bayer.

Oleh karena itu katakan saja tidak pada perdagangan bebas, dan mulailah membangun suatu tatanan baru untuk perdagangan yang adil.