Peta
perpolitikan dunia sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi negara-negara
maju bahkan melampaui kepentingan politik karena kepentingan politik justru
hampir selalu disandra oleh kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi juga punya
banyak sekali faktor penentu, salah satunya adalah ketersediaan dan distribusi
minyak dunia khususnya ke negara Industri. Sering sekali dinamika dunia ini
dipengaruhi oleh minyak ini, bahkan sampai ada plesetan HAM (hanya alasan
minyak).
Perang dunia pertama dan perang dunia kedua mungkin lebih banyak
dipengaruhi oleh perang ideologi meskipun perang yang awalnya adalah
Imperialisme ini juga mengandung motif ekonomi meski tidak sedahsyat pengaruh
ekonomi di perang perang sesudahnya.
Perang Teluk di tahun 90-an adalah contoh nyata bagaimana benturan
kepentingan minyak melahirkan perang yang melibatkan negara yang secara
geografis justru jauh dari teluk. Adalah Amerika Serikat yang khawatir dengan
invasi Irak ke Kuwait yang kaya minyak. Ketika Irak menginvasi Kuwait, Amerika yang
merasa sebagai “satpam” dunia langsung melindungi rakyat Kuwait, kalau bukan
minyaknya. Kuwait dianggap sebagai negara yang patut diamankan karena cadangan
minyak yang luar biasa. Amerika jelas sangat khawatir jika Kuwait berada di
bawah kendali Irak.
Perang Teluk mungkin sudah dua dekade berlalu tetapi kini kita justru
menyaksikan Pendudukan AS di Irak yang dampaknya tak kunjung usai. Irak benar
benar babak belur bahkan bukan hanya karena pendudukan itu tetapi efek domino
yang disebabkannya yaitu perang saudara. Ada kekacauan luar biasa setelah
tentara Irak dibubarkan, apalagi diperparah dengan konfl;ik horizontal sunni
dan syiah. Secara resmi Gedung Putih “merilis” alasan pendudukan ini adalah
membawa Irak keluar dari otoritarian dan menjadi negara demokrasi. Jeremy
Scahill dalam bukunya Blackwater justru menendang habis alasan AS ini karena
fakta yang disaksikannya selama menjadi jurnalis di Irak adalah perang ini
dilatari oleh motif ekonomi. Perang ini diboncengi oleh misi Privatisasi
Tentara Bayaran AS dan menyerahkan kendali minyak Irak ke kontraktor kontraktor
swasta AS disana. Tentara resmi negara Irak dibubarkan pada masa Paul Bremer
memimpin pendudukan AS di Irak dan kemudian keamanan diambil alih oleh tentara
swasta yang merupakan kepentingan bisnis beberapa politisi Gedung Putih. Bahkan
pendudukan perang ini lebih tepat dikatakan sebagai pendudukan ekonomi karena
menurut Jeremy, jumlah kontraktor swasta disana justru lebih banyak dari jumlah
tentara resmi AS. Lalu pertanyaannya, untuk apa kontraktor swasta itu ada di
Irak? Jika memang pendudukan itu hanya untuk demokratisasi, tentu saja tidak
perlu membawa kontraktor swasta ke dalam negeri Irak.
Fakta ini sangat menguatkan apa yang sebelumnya dibuka oleh Scott Mc
Clellan mantan Juru Bicara Gedung Putih masa George W. Bush yang kemudian
mengundurkan diri. Scott dalam bukunya Kebohongan di Gedung Putih, melihat
bahwa pendudukan Irak yang alasannya penegakan demokrasi di Timur Tengah itu
hanyalah kebohongan dan salah satu kebohongan terbesar Gedung Putih. Yang ada
sebenarnya adalah motif ekonomi. Hampir tidak ada kebijakan AS yang tidak
dilatari motif ekonomi. Simpelnya, semua itu hanyalah urusan makan dan perut.
Rakyat Irak sendiri memang menganggap kehadiran AS hanyalah bentuk
diktatorisme gaya baru. AS dianggap sama diktatornya dengan Saddam Hussein yang
dijatuhkan karena alasan tidak demokratis. Bahkan janji mendemokratiskan Irak
itu tidak pernah terwujud, tidak pernah ada dirasakan warga Irak. Jadi, seandainya
sekalipun benar misi awal AS adalah demokratisasi Irak, misi ini telah gagal.
Sekarang yang jadi headline adalah Libya yang diserang oleh AS dengan
pasukan koalisinya lewat udara. Libya adalah negara kaya minyak dan dipimpin
oleh pemimpin yang tidak demokratis. Khaddafi yang tidak demokratis itu jadi
alasan kuat AS meligitimasi langkahnya menggempur Libya. Jika ditanya, manakah
yang lebih kuat alasan Demokratisasi Libya atau Cadangan Minyak Libya? Tegas
saya jawab, Cadangan Minyak Libya.
Ada banyak hal yang membuat keberadaan Libya sebagai eksportir minyak
menjadi penting. Perusahaan perusahaan perminyakan di Libya banyak di dominasi
oleh perusahaan dari Asia terutama China. Selain itu menurut beberapa ahli
perminyakan, cost untuk minyak Libya lebih rendah daripada minyak dari negara
lain.
Menarik sekali jika kita amati sikap China terhadap serangan pasukan
koalisi ini. Hu Jintao menegaskan, saya tidak peduli dengan demokrasi tetapi
saya peduli dengan minyak. Maka tidak terlalu mengejutkan ketika China memutuskan
untuk abstain di DK PBB masalah resolusi PBB tentang zona larangan terbang di
Libya. Jelas sekali terlihat bagaimana sikap China menunjukkan bahwa mereka
hanya peduli dengan urusan ekonomi. Sebelum perusahaan China di Libya
terganggu, sikap China akan tetap sama.
Lalu akan bagaimana hasilnya? Khaddafi sendiri selama berkuasa sudah
menjadi sangat kaya, bahkan ia menyewa pasukan tentara bayaran di Afrika. Tanpa
serangan pasukan koalisi memang rasanya sulit sekali Khaddafi turun dari
jabatannnya. Namun Khaddafi bukan Ben Ali, bukan pula Mubarak, ia sendiri
mengatakan tidak akan pergi dari Libya. Menurut pengamat militer, secara logika
pasukan koalisi dengan segala kecanggihan senjata akan mudah menemukan dan
membunuh Khaddafi. Tetapi serangan itu mungkin hanya bentuk tekanan kepada
Khaddafi.
Yang perlu juga direungkan adalah
apakah Libya akan lebih baik tanpa Khaddafi. Apakah Libya akan lebih baik jika
dipimpin secara demokratis dan menjadi negara yang menghormati HAM. Biarlah
waktu yang akan menjawab. Apapun hasilnya ada satu hal yang pasti, peta
kekuatan politik dalam pergaulan internasional sangat dipengaruhi oleh
kepentingan ekonomi negara-negara yang kuat. Semua hanya urusan perut dan makan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar