Jumat, 29 Juni 2012

Semua Hanya Urusan Perut

Peta perpolitikan dunia sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi negara-negara maju bahkan melampaui kepentingan politik karena kepentingan politik justru hampir selalu disandra oleh kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi juga punya banyak sekali faktor penentu, salah satunya adalah ketersediaan dan distribusi minyak dunia khususnya ke negara Industri. Sering sekali dinamika dunia ini dipengaruhi oleh minyak ini, bahkan sampai ada plesetan HAM (hanya alasan minyak).
Perang dunia pertama dan perang dunia kedua mungkin lebih banyak dipengaruhi oleh perang ideologi meskipun perang yang awalnya adalah Imperialisme ini juga mengandung motif ekonomi meski tidak sedahsyat pengaruh ekonomi di perang perang sesudahnya.
Perang Teluk di tahun 90-an adalah contoh nyata bagaimana benturan kepentingan minyak melahirkan perang yang melibatkan negara yang secara geografis justru jauh dari teluk. Adalah Amerika Serikat yang khawatir dengan invasi Irak ke Kuwait yang kaya minyak. Ketika Irak menginvasi Kuwait, Amerika yang merasa sebagai “satpam” dunia langsung melindungi rakyat Kuwait, kalau bukan minyaknya. Kuwait dianggap sebagai negara yang patut diamankan karena cadangan minyak yang luar biasa. Amerika jelas sangat khawatir jika Kuwait berada di bawah kendali Irak.
Perang Teluk mungkin sudah dua dekade berlalu tetapi kini kita justru menyaksikan Pendudukan AS di Irak yang dampaknya tak kunjung usai. Irak benar benar babak belur bahkan bukan hanya karena pendudukan itu tetapi efek domino yang disebabkannya yaitu perang saudara. Ada kekacauan luar biasa setelah tentara Irak dibubarkan, apalagi diperparah dengan konfl;ik horizontal sunni dan syiah. Secara resmi Gedung Putih “merilis” alasan pendudukan ini adalah membawa Irak keluar dari otoritarian dan menjadi negara demokrasi. Jeremy Scahill dalam bukunya Blackwater justru menendang habis alasan AS ini karena fakta yang disaksikannya selama menjadi jurnalis di Irak adalah perang ini dilatari oleh motif ekonomi. Perang ini diboncengi oleh misi Privatisasi Tentara Bayaran AS dan menyerahkan kendali minyak Irak ke kontraktor kontraktor swasta AS disana. Tentara resmi negara Irak dibubarkan pada masa Paul Bremer memimpin pendudukan AS di Irak dan kemudian keamanan diambil alih oleh tentara swasta yang merupakan kepentingan bisnis beberapa politisi Gedung Putih. Bahkan pendudukan perang ini lebih tepat dikatakan sebagai pendudukan ekonomi karena menurut Jeremy, jumlah kontraktor swasta disana justru lebih banyak dari jumlah tentara resmi AS. Lalu pertanyaannya, untuk apa kontraktor swasta itu ada di Irak? Jika memang pendudukan itu hanya untuk demokratisasi, tentu saja tidak perlu membawa kontraktor swasta ke dalam negeri Irak.
Fakta ini sangat menguatkan apa yang sebelumnya dibuka oleh Scott Mc Clellan mantan Juru Bicara Gedung Putih masa George W. Bush yang kemudian mengundurkan diri. Scott dalam bukunya Kebohongan di Gedung Putih, melihat bahwa pendudukan Irak yang alasannya penegakan demokrasi di Timur Tengah itu hanyalah kebohongan dan salah satu kebohongan terbesar Gedung Putih. Yang ada sebenarnya adalah motif ekonomi. Hampir tidak ada kebijakan AS yang tidak dilatari motif ekonomi. Simpelnya, semua itu hanyalah urusan makan dan perut.

Rakyat Irak sendiri memang menganggap kehadiran AS hanyalah bentuk diktatorisme gaya baru. AS dianggap sama diktatornya dengan Saddam Hussein yang dijatuhkan karena alasan tidak demokratis. Bahkan janji mendemokratiskan Irak itu tidak pernah terwujud, tidak pernah ada dirasakan warga Irak. Jadi, seandainya sekalipun benar misi awal AS adalah demokratisasi Irak, misi ini telah gagal.
Sekarang yang jadi headline adalah Libya yang diserang oleh AS dengan pasukan koalisinya lewat udara. Libya adalah negara kaya minyak dan dipimpin oleh pemimpin yang tidak demokratis. Khaddafi yang tidak demokratis itu jadi alasan kuat AS meligitimasi langkahnya menggempur Libya. Jika ditanya, manakah yang lebih kuat alasan Demokratisasi Libya atau Cadangan Minyak Libya? Tegas saya jawab, Cadangan Minyak Libya.
Ada banyak hal yang membuat keberadaan Libya sebagai eksportir minyak menjadi penting. Perusahaan perusahaan perminyakan di Libya banyak di dominasi oleh perusahaan dari Asia terutama China. Selain itu menurut beberapa ahli perminyakan, cost untuk minyak Libya lebih rendah daripada minyak dari negara lain.
Menarik sekali jika kita amati sikap China terhadap serangan pasukan koalisi ini. Hu Jintao menegaskan, saya tidak peduli dengan demokrasi tetapi saya peduli dengan minyak. Maka tidak terlalu mengejutkan ketika China memutuskan untuk abstain di DK PBB masalah resolusi PBB tentang zona larangan terbang di Libya. Jelas sekali terlihat bagaimana sikap China menunjukkan bahwa mereka hanya peduli dengan urusan ekonomi. Sebelum perusahaan China di Libya terganggu, sikap China akan tetap sama.
Lalu akan bagaimana hasilnya? Khaddafi sendiri selama berkuasa sudah menjadi sangat kaya, bahkan ia menyewa pasukan tentara bayaran di Afrika. Tanpa serangan pasukan koalisi memang rasanya sulit sekali Khaddafi turun dari jabatannnya. Namun Khaddafi bukan Ben Ali, bukan pula Mubarak, ia sendiri mengatakan tidak akan pergi dari Libya. Menurut pengamat militer, secara logika pasukan koalisi dengan segala kecanggihan senjata akan mudah menemukan dan membunuh Khaddafi. Tetapi serangan itu mungkin hanya bentuk tekanan kepada Khaddafi.
Yang perlu juga direungkan  adalah apakah Libya akan lebih baik tanpa Khaddafi. Apakah Libya akan lebih baik jika dipimpin secara demokratis dan menjadi negara yang menghormati HAM. Biarlah waktu yang akan menjawab. Apapun hasilnya ada satu hal yang pasti, peta kekuatan politik dalam pergaulan internasional sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi negara-negara yang kuat. Semua hanya urusan perut dan makan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar