Jumat, 29 Juni 2012

Buah Produk Impor vs Buah Produk Lokal

Ada apa dengan impor buah?
  Menjelang akhir Mei 2012, di media nasional cukup ramai diperbincangkan mengenai pengaturan impor buah dan holtikurltura. Mirisnya, yang jadi perbincangan justru bukan bagaimana melindungi buah dan holtikultura lokal dari banjirnya komoditi impor melainkan pertunjukan ego sektoral antara kementrian pertanian dan kementrian perdagangan yang membuat aturan yang tidak sinkron. Hal ini sangat mengusik batin saya sebagai seorang anak petani buah jeruk lokal yang sedang menempuh pendidikan terkait perdagangan internasional.

  Pengaturan impor komoditas dan produk holtikultura ini dimaksudkan dilakukan terhadap kentang, bawang bombai, bawang putih, bawang perai,kubis, bunga kol dan brokoli, wortel, lebak cina, cabai, pisang, kurma, ara, nanas, avokad, jambu, mangga, manggis, lemon, anggur, melon, pepaya, apel, pir, durian, lengkeng dan jeruk.

  Pengaturannya adalah dengan menetapkan bahwa impor komoditas tersebut hanya dapat dilakukan di pelabuhan tertentu dan hanya dapat dilakukan oleh importir yang terdaftar. Sebagai tambahan, importir dilarang menjual komoditi impor ini langsung ke konsumen atau pengecer melainkan ke distributor terlebih dahulu. Dengan pengaturan ini diharapkan volume impor buah dan sayur dapat ditekan karena prosesnya sedikit dipersulit dan jumlah importirnya dibatasi.
 
  Tentu saja ini menjadi kabar baik bagi petani lokal karena sekilas ada usaha dari pemerintah untuk melindungi petani lokal dari serbuan komoditi impor. Namun aturan ini belum sempat terlaksana, pemerintah kita akhirnya mundur akibat tekanan importir buah terutama peritel. Mereka berdalih bahwa pengaturan impor ini akan menyebabkan rantai distribusi menjadi terlalu panjang (high cost economy)  sehingga  akhirnya pemerintah pun mengijinkan impor buah dilakukan oleh pengusaha ritel. Dengan begitu, tetap saja pasar lokal akan dibanjiri buah impor dan buah produksi lokal akan tetap kalah.

  Perdagangan Bebas
  Gonjang ganjing impor buah dan holtikultura ini adalah bagian dari proses panjang keterlibatan Indonesia dalam skema perdagangan bebas. Saat ini setidaknya ada 3 kerjasama ekonomi perdagangan bebas yang melibatkan Indonesia yaitu ASEAN-China, ASEAN-Korea Selatan, Indonesia-Jepang dan akan menyusul beberapa kerjasama lain bersama India, Australia, Selandia Baru, negara negara Asia Pasifik, dll. Inti dari semua ini adalah bahwa komoditi tertentu bebas diperdagangkan antar negara peserta tanpa ada hambatan impor baik menyangkut tarif bea masuk maupun hambatan lainnya. Sebagai akibatnya, kita begitu mudah menemukan produk impor di pasar dalam negeri terutama Made in China. Harganya lebih murah daripada harga barang impor dari negara lain bahkan seringkali lebih murah dibanding harga produk dalam negeri. Harga murah ini disebabkan banyak oleh hal mulai dari biaya produksi di China yang murah, tidak dikenakan pajak impor ketika masuk ke dalam negeri (zero tariff) , dan efek nilai tukar mata uang China yang “dilemahkan”.

  Ketika wacana keterlibatan Indonesia dalam skema perdagangan bebas ini didengungkan sebelum tahun 2010, banyak ekonom dan juga pemikir kebangsaan yang berhipotesis bahwa hal ini hanya akan menyengsarakan produsen komoditi lokal dalam hal ini petani lokal. Tentu para pengamat paham betul bahwa sulit membayangkan bagaimana petani jeruk lokal dari Tanah Karo misalnya, harus bertarung melawan banjirnya buah jeruk impor di pasaran dalam negeri. Khusus untuk jeruk dari Karo mungkin tidak terlalu terasa efeknya karena memiliki segmen pasar tersendiri, bahkan yang menjadi tandingannya justru adalah jeruk sambas atau yang lebih dikenal jeruk pontianak karena pengapalannya dilakukan disana. Namun seandainya volume impor jeruk rendah, jeruk Karo akan memiliki pangsa pasar lebih luas dan harganya lebih tinggi.

  Berbeda dengan jeruk, ada begitu banyak juga komoditi lain yang harus kalah dari produk impor. Misalnya saja petani tebu di Jawa Timur yang terancam bangkrut karena gula tebu mereka akan kalah saing dengan gula impor yang kualitasnya lebih baik dan harganya bisa saja lebih murah. Begitu juga dengan petani jagung di Sumatera Utara yang beberapa waktu lalu meminta Pemprovsu untuk menghentikan impor jagung saat panen raya terjadi. Tidak akan jauh berbeda dengan petani kedelai, petani bawang dan komoditi lainnya.

  Saat ini apa yang menjadi hipotesis para ekonom kita dulu sudah menjadi kenyataan. Indonesia belum siap ikut dalam perdagangan bebas yang dimulai pada 1 Januari 2010. Maka lihatlah bagaimana negara kita juga impor garam dari India yang justru lautnya jauh lebih sempit dari laut Indonesia, kita juga impor kedelai dari Amerika Serikat, serta durian montong yang ikonik dan berbagai macam buah dari Thailand yang juga menjadi pesaing serius dari buah lokal.

  Lalu apa yang harus kita lakukan?
  Kerjasama perdagangan bebas itu sudah tidak akan bisa dicabut begitu saja dan juga tidak perlu kiita ratapi terlalu lama. Pendahulu kita mengajarkan “ula mandangi roka dung peranin”. Menyesali absennya kepekaan pada sikap pemerintah yang tidak memihak petani lokal rasanya hanya akan membuang energi kita dan membuat kita tidak menemukan solusinya. Lewat tulisan ini saya inigin mengajak kembali satu kegerakan kemandirian ekononomi yang sudah sering diutarakan.

  Ada 2 solusi yang mungkin kita lakukan. Yang pertama adalah penguatan di sektor produksi komoditi lokal. Contohnya pertanian buah dan dan sayuran. Transisi dari pertanian dari yang menggunakan pestisida ke pertanian organik sudah saatnya dilakukan seperti yang dilakukan petani di Siborong-borong bersama siswa SMK, sangat menarik.  Saat ini Singapura dan Indonesia memiliki kesepakatan bahwa Indonesia memasok 30% kebutuhan buah dan sayur di Singapura. Hanya saja buah dan sayur kita hanya diterima jika bebas pestisida. Ini tentu saja peluang besar untuk pertanian organik apalagi Sumut sangat dekat dengan Singapura, biaya ekspornya murah karena bisa keluar lewat Belawan.
 
  Selain itu perlu juga melakukan diversifikasi produk pertanian agar tidak melulu menanam tanaman konvensional spserti jeruk, cabai atau jagung.  Buah seperti marquisa, alpukat, pisang, terong belanda, timun serta kopi tentu saja memiliki pangsa pasar tersendiri. Solusi diversifikasi produk sebenarnya adalah solusi yang klasik bahkan di kurikulum SD pun ada yang namanya pertanian tumpang sari. Namun solusi ini cukup ampuh ketika ada masalah baik hama maupun harga dari satu komoditi. Contohnya serangan hama lalat buah (cit-cit) ke buah jeruk tentu tidak menjadi masalah besar jika petani kita tidak hanya menanam jeruk saja.

  Solusi kedua adalah dukungan konsumen terhadap produk lokal. Kementrian Perindustrian dan Perdagangan dulu sempat menggalakkan kampanye untuk mencintai produk lokal. Namun mandek karena pemimpinnya sendiri gemar dengan produk impor. Namun lagi lagi saya katakan, sudahlah stop mengkritik sikap tersebut. Bersama-sama kita membangun kegerakan untuk menggemari produk lokal utamanya buah dan sayuran lokal. Ayo Gemari Buah dan Sayur Lokal!! Memilih untuk mengonsumsi buah dan sayuran lokal memang  butuh sedikit pengorbanan baik harga bahkan yang paling berat adalah kualitas.
 
  Oleh karena itu solusi yang pertama dan kedua adalah satu kesatuan yang komplemen. Dengan beralih ke pertanian organik di sisi petani dan mengonsumsi buah sayuran lokal di sisi konsumen akan membangun sebuah kemandirian ekonomi kolektif yang sempurna.
 

  

  Siapa yang harus memulai? Jawabnya Anda. Kapan harus dimulai? Sekarang.


Oleh Jhon Billy Meliala
di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, akhir mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar