Jumat, 29 Juni 2012

Pentingnya Sebuah Ketegasan




         Polemik GKI Yasmin masih belum usai tampaknya. Beberapa waktui lalu saya menonton sebuah acara dialog di sebuah televisi swasta yang dihadiri oleh tokoh agama muslim di Bogor yang terkait masalah GKI Yasmin , Ketua MUI, dan perwakilan GKI Yasmin. Peliknya masalah ini saya lihat ketika perwakilan GKI Yasmin bersikukuh bahwa mereka sudah mendapat hak lewat putusan Mahkamah Konstitusi sedangkan tokoh agama dari Bogor dan Ketua MUI mengatakan bahwa relokasi bangunan gereja GKI Yasmin adalah solusi terbaik sehingga tampak tak ada titik temu. Ya relokasi memang solusi yang baik juga jika hanya ingin meredam amarah masyarakat Bogor saja, tetapi perlu diingat juga bahwa jemaat GKI Yasmin juga wajar untuk tetap bersikukuh karena sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan dengan jaminan dana pembangunan gereja baru sekalipun. Tentu saja tidak terlalu bijak juga jika disamakan dengan HKBP Ciketing yang bersedia direlokasi. Jemaat GKI Yasmin jelas punya hak karena dijamin Pancasila, UUD 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah berkekuatan hukum tetap.
         Tetapi terlepas dari itu saya disini ingin bercerita sedikit tentang kisah yang saya analogikan mirip dengan masalah GKI Yasmin. Kisah ini terjadi ketika masalah rasisme masih terjadi di Amerika Serikat.

         Inilah kisah selengkapnya.
         Sejarah perbudakan di AS berlangsung sejak lama, jauh sebelum negeri itu berdiri pada 1776. Sebelum abad ke-16, lembaga perbudakan ada hampir di seluruh pelosok dunia, termasuk di dunia Islam. Baru pada pertengahan abad ke-16, muncul suara-suara protes dari kalangan gereja yang menyerukan penghapusan perbudakan. Salah satu sekte Kristen yang terkenal dengan semangat anti-perbudakan adalah Quaker. Bagi mereka, perbudakan adalah praktik yang un-Christian, tidak Kristiani.
Pada tahun 1865, perbudakan dihapuskan secara resmi di AS melalui amandemen ke-13, persis setelah perang sipil yang berlangsung selama lima tahun (1861-1865). Meski demikian, praktik diskriminasi terhadap mantan budak masih terus berlangsung, terutama di bagian Selatan. Praktik segregasi itu bahkan disahkan melalui doktrin hukum yang terkenal saat itu: equal but separate.
         Inti doktrin itu, orang-orang kulit hitam (belakangan lebih dikenal dengan sebutan African-American) dianggap sebagai warga negara yang sama dengan warga lain, tetapi mereka tak diperbolehkan berbaur dengan warga lain itu, terutama yang berkulit putih. Penganut doktrin ini beranggapan bahwa praktek 'equal but separate' tak berlawanan dengan amandemen ke-13.
         Dengan doktrin ini, orang-orang hitam tak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang-orang kulit putih, dilarang masuk ke tempat-tempat umum dimana orang kulit putih ada di sana: restoran, pub, bar, bahkan toilet. Orang kulit hitam memang dianggap sebagai warga negara yang sah dan sama kedudukannya dengan warga lain, tetapi mereka seperti 'dikarantina' di tempat yang terpisah.
         Praktik segregasi, terutama di sekolah itu, baru dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung(Supreme Court) AS pada 1954 melalui suatu keputusan yang dikenal dengan Brown v. Board of Education. Keputusan mahkamah ini menyatakan  bahwa seluruh praktik segregasi di sekolah-sekolah AS tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi. Seluruh sekolah diharuskan untuk mengintegrasikan murid-murid berkulit hitam dengan murid-murid kulit putih. De-segregasi juga diharuskan di tempat-tempat publik yang lain.

         Semua sekolah, tentu dengan enggan, menaati aturan ini. Tetapi ada perkecualian yang kemudian pecah sebagai insiden yang menghebohkan seluruh Amerika pada tahun 1957. Insiden itu terjadi di sebuah sekolah menengah di kota Little Rock, yakni Little Rock High School.
         Menindaklanjuti keputusan mahkamah itu, NAACP (National Association for the Advancement of Colored People), sebuah LSM yang berjuang untuk membela hak-hak sipil warga kulit hitam, berencana untuk mendaftarkan sembilan murid hitam di Sekolah Little Rock yang, sudah tentu, seluruh muridnya berkulit putih. Kepala sekolah setuju. Rencananya, kesembilan murid itu akan mulai masuk pada musim gugur 1957, persisnya pada 4 September 1957.
         Rencana ini diprotes oleh kelompok kulit putih yang pro segregasi. Mereka ramai-ramai mendatangi sekolah itu dan menghalang-halangi kesembilan murid tersebut untuk masuk gerbang sekolah. Yang lebih dramatis, Gubernur negara bagian Arkansas Orval Faubus mendukung kaum segregasionis itu, dan, tak main-main, mengirimkan pasukan Garda Nasional dari Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah sembilan murid hitam memasuki halaman sekolah.
         Sembilan murid hitam itu akhirnya gagal masuk sekolah. Mereka, murid yang masih ingusan itu, dicegat oleh barisan tentara Garda Nasional. Mereka juga menjadi sasaran cemoohan dan pelecehan massa kulit putih yang meneriakkan yel-yel, “Two, four, six, eight... We ain’t gonna intregrate!” Mereka mengejar dan memukuli para wartawan yang meliput peristiwa itu.
         Peristiwa ini langsung menjadi isu nasional yang menyedot perhatian seluruh warga Amerika. Melihat tindakan gubernur Arkansas yang nyata-nyata melawan keputusan Mahkamah Agung ini, Presiden Dwight D. Eisenhower langsung turun tangan. Dia meminta Gubernur Faubus menemuinya secara pribadi, dan memerintahkan agar dia tak membangkang dari keputusan Mahkamah. Gubernur Faubus rupanya tak menggubris. Terjadilah ketegangan antara pemerintah federal dan negara bagian.
         Presiden Eisenhower akhirnya mengambil alih masalah 'kecil' kota Little Rock ini. Dia mengirim pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi sembilan murid kulit hitam itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil. Pada 23 September 1957, untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika.
         Presiden Eisenhower juga mengambil tindakan drastis lain--memfederalisasi pasukan Garda Nasional Arkansas dan menempatkannya langsung dibawah komando presiden, bukan lagi di bawah Gubernur Faubus. Tujuannya jelas: agar Gubernur Faubus tak menggunakan tentara garda itu untuk melawan pemerintah federal.
         Kisah ini sangat mengharukan saya. Sembilan murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota Washington, masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk sekolah hendak dibatalkan oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung turun tangan melindungi murid-murid yang masih belia itu. 
         Keberanian Presiden Eisenhower untuk langsung turun tangan dan ambil alih masalah ini, merupakan 'kebajikan kepemimpinan' yang layak diteladani. Sudah tentu, tindakan Presiden Eisenhower ini kontroversial, dan ditentang oleh orang-orang kulit putih di kawasan Selatan yang umumnya masih pro segregasi. Tetapi, konstitusi tetaplah konstitusi, dan harus ditegakkan.

         Kasus di negara bagian Arkansas ini mengingatkan kita pada kasus yang nyaris serupa. Walikota Bogor, Diani Budiarto, membangkang dari keputusan MA yang telah menjamin hak jemaat GKI Yasmin untuk membangun gereja di sebuah kawasan perumahan di Bogor. Apa yang dilakukan oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan oleh Gubernur Orval Faubus dari Arkansas.
         Dalam kasus GKI Yasmin ini, kita tentu berharap ada 'Eisenhower Indonesia' yang mau turun tangan langsung dan memastikan bahwa hak-harga warga negara untuk membangun rumah ibadah yang dijamin oleh konstitusi itu tak dicederai.
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar