Korupsi
sudah menjadi permasalahan panjang dan serius sejak berabad-abad lalu, terbukti
lewat tulisan PM Chandragupta tentang 40 cara mencuri kekayaan negara di India
sekitar 2300 tahun lalu. Bahkan selama Abad
Pertengahan di Eropa, ketika Gereja
Katolik Roma terus memegang kekuasaan, dengan Paus sebagai pemegang kekuasaan
atas semua jenjang kehidupan dan hidup seperti raja, korupsi
dan ketamakan dalam kepemimpinan gereja adalah hal yang umum. Di China ribuan tahun lalu,ada Yang-lian yakni hadiah
untuk pejabat negara yang bersih sebagai cara menekan korupsi. Begitu juga di
Hindia Belanda di awal abad ke 20, VOC bangkrut karena korupsi. Hal ini
berlanjut terus hingga Indonesia merdeka di era Orde Lama, Orde Baru hingga
saat reformasi yang salah satu sebabnya adalah masalah korupsi. Setelah reformasi pun korupsi terus
terjadi bahkan skalanya semakin masif di hampir seluruh lembaga negara,
menggurita dan mencengkram negara Indonesia.
Korupsi
yang terjadi Indonesia secara teoretis wajar terjadi karena masih bergerak pada
fase transisi politik dan ekonomi menuju demokrasi. Ketika kendali otoriter
diruntuhkan melalui liberalisasi ekonomi (partisipasi) dan demokratisasi
politik (transparansi), namun belum digantikan oleh mekanisme check and balances yang demokratis serta
institusi yang mendapat pengakuan dan dapat dipertanggungjawabkan
(akuntabilitas); tingkat korupsi akan meningkat dan mencapai puncaknya sebelum declining sampai pada sistem
pemerintahan yang benar-benar demokratis sempurna.
Memahami
korupsi di Indonesia tepat bila menggunakan persamaan Klitgaard yaitu C=D+M-A. C=Corruption, M=Monopoly, D=Discretion, A=Accountability. Artinya
adalah bahwa korupsi bisa terjadi apabila seseorang mempunyai hak monopoli atas
urusan tertentu dan ditunjang oleh
diskresi (mengambil kebijakan diluar ketentuan) dalam menggunakan kekuasaannya
sehingga akan cenderung menyalahgunakannya, serta kurang dalam hal
pertanggungjawabannya. Oleh karena itu jelas bahwa korupsi adalah masalah
sistem dan sangat erat kaitannya dengan kewenangan/kekuasaan. Dari persamaan
Klitgaard dapat dilihat bahwa di dalam KPK sendiri sebagai intitusi pemberantasan
korupsi terdapat potensi masalah bawaan karena wewenangnya yang sangat besar.
Lord Acton mengatakan bahwa power tends
to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Maka dari itu, solusi pemberantasan
korupsi yang hanya fokus pada penegakan
hukum tidaklah terlalu tepat. Pendekatan moral dan etika, edukasi, dan
sosiologis harus diutamakan berbarengan dengan penegakan hukum. Pendekatan ini
perlu karena “Korupsi merupakan produk konstruksi sosial. Korupsi di kalangan
bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan korupsi kalangan atas
yang lebih dahsyat” (William J Chambliss,1975). Dalam Penjelasan UU no 30 tahun
2002 tentang KPK pun disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa
sehingga pemberantasannya pun harus dengan menggunakan cara-cara luar biasa.
Dalam
prosesnya, penegakan hukum hendaknya dilakukan secara senyap namun menebas
tanpa pandang bulu. Pola kerja penegak
hukum terkait korupsi, dalam hal ini KPK, dapat dilakukan sepeti Densus 88 yang
menindak terorisme secara fokus hingga ke akar-akarnya. Penyelesaian terhadap
penindakan kasus korupsi juga hendaknya memberi dampak penjeraan yang kuat.
Hukuman terhadap koruptor layak untuk dibuat lebih berat bahkan memungkinkan
untuk hukuman mati tetapi dengan satu syarat mutlak yaitu penegak hukum harus
sudah siap dan tidak tebang pilih. Penerapan UU Pencucian Uang dan Asas
pembuktian terbalik juga mutlak dilaksanakan agar tujuan pemiskinan koruptor
bisa tercapai. Sejalan dengan itu, Indonesia juga perlu meratifikasi anti-illicit enrichment (kekayaan yang
diperoleh secara tidak sah) seperti tertuang di United Nations Conventions
Against Corruption pasal 20.
Jika
tidak dibarengi dengan hukuman yang berat, pemiskinan koruptor dan sanksi
sosial dari masyarakat, penegakan hukum tidak akan berdampak signifikan. Pada
praktiknya di Indonesia, seorang pejabat yang dituduh korupsi dan bahkan telah
divonis bersalah sekalipun, bisa jadi masih mendapat tempat terhormat di
masyarakat. Ini dapat dipahami sebagai bagian dari masih suburnya budaya
feodalisme di Indonesia. Namun sebagai bagian dari orkestrasi penanganan
korupsi, perlu dibangun gerakan moral untuk memberikan sanksi sosial bagi
koruptor. Sanksi sosial dapat berupa menyita seluruh hak milik (diserahkan ke
negara), memberlakukan kerja sosial, menjadikan keluargnya (suami/istri dan
anak) sebagai anak negara dan melokalisasi mereka dalam kluster hunian khusus.
Mengingat risiko berupa sanksi sosial yang berat, calon koruptor akan berpikir
berulang kali untuk melakukan korupsi.
Perlu
diperhatikan bahwa institusi penegak hukum tidak boleh terlalu bereuforia
dengan banyaknya penindakan kasus korupsi. Semakin banyak kasus korupsi yang
terbongkar adalah prestasi namun disisi lain merupakan gambaran bahwa tingkat
korupsi tidak menurun. Seharusnya apabila upaya pemberantasan korupsi berhasil
maka dari tahun ke tahun semakin sedikit politisi dan birokrat yang ditangkap
karena kasus korupsi.
Upaya
pemberantasan korupsi tidak akan berhasil apabila hanya bertumpu pada institusi
penegak hukum semata karena korupsi telah menyentuh hampir seluruh aspek
kenegaraan dan kebangsaan. Solusi penanganan korupsi yang terbaik adalah dengan melibatkan
partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam sistem pemberantasan korupsi yang
holistis (menyeluruh). Perlu perbaikan sistem pada semua level pemerintahan dan
semua struktrur sosial masyarakat. Tujuannya jelas sangat strategis yaitu
menjadikan korupsi dari beresiko kecil dengan keuntungan besar menjadi beresiko
tinggi dengan keuntungan kecil. Konsep ini merupakan gerakan anti korupsi yang
melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah. Proses ini tentu
saja bukanlah seperti racun kontak yang langsung mematikan namun dapat
memberantas korupsi sampai pada level yang dapat diterima dan meningkatkan
integritas dalam tata pemerintahan secara keseluruhan.
Sebagai
pondasi awal dari keseluruhan sistem ini perlu dibangun sistem nilai moral. Nilai
nilai moral anti korupsi dalam masyarakat khususnya masyarakat usaha yang
terkait dengan birokrasi. Kebiasaan menyerahkan
“upeti” layaknya warisan budaya feodalisme sudah saatnya ditinggalkan dan perlu
digaungkan suatu gerakan nasional mengenai hal ini. Harus dibangun budaya bahwa
compliance terhadap aturan adalah
keunggulan kompetitif dari entitas bisnis. Dengan cara ini kita tidak akan
melihat lagi percobaan penyuapan terhadap pegawai pajak dan beacukai, misalnya.
Nilai
pondasi kedua harus dibangun awareness dan
sikap peduli dari masyarakat akan kondisi pemerintahan. Kalangan menengah yang
selama ini dianggap apatis terhadap kondisi pemerintah perlu terus menerus
bergerak memobilisasi kekuatannya untuk “menekan” pemerintah agar tetap on the track. Masyarakat menjadi watchdog terhadap jalannya pemerintahan.
Diatas
pondasi moral tersebut, kita juga membutuhkan perbaikan pada lembaga legislatif
agar sistem pemerintahan Indonesia tidak menjadi legislative heavy. Perlu ada pemisahan peran yang jelas, dan
anggota legislatif dibatasi perannya pada pembuatan undang-undang, meluruskan
politik anggaran dan mengawasi pemerintah. Lobi-lobi kelompok kepentingan untuk
mengarahkan produk legislasi perlu dihindari dan yang paling penting kelak
sistem perwakilan di Indonesia harus disempurnakan menjadi sistem dua kamar
sempurna (Hamzah,2012). Adalah penting juga mereduksi keterlibatan lembaga
legislatif pada pembahasan anggaran cukup sampai level kebijakan saja. Selama
ini lembaga legislatif terlibat mulai dari penyusunan kebijakan, program,
proyek dan bahkan kegiatan, yang memungkinkan adanya deal-deal dengan pengusaha dan kepentingan lain. Korupsi di DPR
akhir-akhir ini yang terbanyak adalah karena masalah ini, baik itu dengan
pengusaha maupun satuan kerja pemerintahan yang membutuhkan alokasi anggaran.
Lembaga
eksekutif dipimpin oleh kepala pemerintahan yakni Presiden harus menunjukkan
keteladanan dan berpijak pada etika. Pesan keteladanan akan tersampaikan lewat
media massa yang bebas. Fokus perbaikan sistem di eksekutif yang penting adalah
pengadaan barang dan jasa publik, proses pengambilan keputusan yang terhindar
dari konflik kepentingan serta hubungannya dengan lembaga peradilan.
Birokrasi
sebagai pelaksana dari eksekutif harus membangun budaya melayani publik dalam
menjalankan kebijakan. Tiap-tiap lembaga pemerintahan harus didorong terus
menerus untuk berlomba dalam pelayanan publik dan harus ada reward untuk lembaga yang menurut
persepsi publik telah memberikan pelayanan maksimal. Untuk menyelesaikan
masalah desentralisasi keuangan negara ke daerah, perlu dilatih lebih banyak
akuntan yang kompeten dan berintegritas agar mampu mensuvervisi daerah dalam
hal pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan dan akuntabel.
Khusus
untuk penyelenggara negara dan PNS diwajibkan untuk menyerahkan laporan
kekayaannya. Dan diberikan konsekuensi bagi yang tidak bersedia menyerahkan
laporan kekayaannya. Untuk PNS mungkin diberikan sanksi penundaan kenaikan
pangkat/golongan sehingga ruang gerak untuk menerima uang gratifikasi semakin
berkurang. Pemeriksaan laporan kekayaan memang membutuhkan sumber daya yang
tidak sedikit dan perlu dibangun sistem yang baik untuk itu.
Lembaga
peradilan harus independen, tidak memihak dan mampu menjalankan fungsinya untuk
memastikan bahwa jalannya pemerintahan telah sesuai dengan undang-undang.
Lembaga lain bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi khusus lembaga peradilan
bertanggung jawab pada nilai-nilai yang jauh lebih tinggi. Penting juga untuk
meningkatkan kesejahteraan hakim sampai pada level cukup atau lebih dari cukup
untuk karena dengan kesejahteraan yang
minim dan potensi godaan yang tinggi, suap akan tetap terjadi.
Korupsi
politik yang terjadi melibatkan partai politik juga harus diselesaikan dengan
membangun sistem yang komprehensif. Perlu dilakukan reformasi dalam pembiayaan
untuk kampanye politik karena sistem pemilu di Indonesia menuntut dana yang
tidak sedikit. Jika dana partai politik tidak bisa diperoleh secara legal,
biaya amat besar untuk kampanye politik bisa memunculkan korupsi. Solusi
mewajibkan partai politik yang ikut pemilu diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan
dalam hal pembiayaan kampanyenya. Selama ini keuangan partai politik belum
tersentuh padahal sangat penting untuk tahu sistem pendanaan partai politik
untuk mengetahui adanya interest dari
donatur donatur parpol yang kelak akan mempengaruhi kebijakan parpol.
Semakin
luas transparansi dan keterbukaan yang dikembangkan masyarakat, makin banyak
informasi yang dapat diserap oleh masyarakat. Karena itu tidak mungkin
masyarakat menyerap semua informasi yang tersaji. Di sini peran media menjadi
sangat penting untuk mernyaring semua informasi setiap hari, memilih dengan
arif sambil mempertimbangkan kepentingan publik. Media yang bebas sama pentingnya
dengan peradilan yang independen. Pemilikan media secara perorangan sangat
berbahaya bagi sistem demokrasi. Tingkat kebebasan media adalah tingkat yang
dapat dicapai untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang efektif atas perilaku
pejabat publik.
Masyarakat
yang apatis terhadap hak-haknya, membuka peluang yang besar bagi terjadinya
korupsi. Untuk tujuan ini, dibutuhkan kampanye terus-menerus untuk menumbuhkan
kesadaran warga masyarakat, terutama kesadaran tentang kerugian akibat korupsi.
Media massa merupakan alat ampuh untuk membongkar kasus-kasus korupsi,
sekaligus merangsang pertumbuhan kesadaran warga masyarakat. Disini juga perlu
peran LSM untuk melakukan edukasi anti korupsi pada masyarakat dan
mengorganisir masyarakat dalam mengontrol jalannya pemerintahan mulai dari yang
paling kecil yakni pemerintahan desa.
Pentingnya
Moral
Horace
menyampaikan sebuah pendapat yang populer yaitu
“Quid
leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas?”. Seberapapun baiknya sistem pencegahan korupsi yang
dibangun dan betapapun baiknya hukum yang dibuat untuk memberantas korupsi,
semuanya akan sia-sia jika tidak disertai moralitas. Absennya moralitaslah yang
membuat pejabat mengambil keputusan-keputusan diluar akal sehat dan nurani.
Absennya moralitas juga membuat kita sulit membedakan antara benar-salah,
baik-buruk, wajar-tidak wajar. Maka dari itu, pondasi moralitas adalah mutlak
sebelum memulai gerakan pemberantasan korupsi ini.