Mahkamah Konstitusi
akhirnya membubarkan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP
Migas) dan menyatakan bahwa fungsi dan wewenang BP Migas beralih ke Kementrian
Energi dan Sumber Daya Mineral. Keputusan ini sarat dengan kontroversi, dan
seperti biasa ada cukup banyak analisis yang dilakukan oleh cerdik pandai
maupun oleh orang awam dan melihat dari sisi yang beragam.
Sebelum mengkaji
lebih jauh tentang keputusan MK ini tentu perlu juga kita kaji mengenai
fakta-fakta terkait dunia perminyakan dan energi kita. Pengaturan mengenai
migas diatur dalam UU Migas no 22/2001. UU mengenai migas seharusnya sangat
penting karena sama dengan UU Keuangan Negara merupakan UU organik yang lahir
dari pesan dan perintah UUD 1945 pada pasal 33 yaitu cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, dan merupakan
kekayaan alam yang terkandung dalam bumi dan air Indonesia yang harus dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sejarah UU Migas
Secara historis, UU
Migas ini sarat dengan kepentingan asing. Draft UU Migas pertama kali
dikerjakan oleh konsultan US AID, diajukan sebagai draft Undang undang ke DPR
oleh Mentri Pertambangan Kuntoro Mangunsubroto. DR. Rizal Ramli pada saat itu
menjadi penasehat ekonomi fraksi ABRI dan fraksi-fraksi DPR lainnya menyarankan
agar DPR menolak draft UU Migas tersebut. Dan memang DPR pada waktu itu
akhirnya menolak dan meminta diperbaiki. Pada masa pemerintahan Gus Dur
pembahasan draft UU tersebut mandeg dan stuck
karena Menko Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli tidak mendorongnya. Barulah
setelah pergantian presiden, draft UU tersebut dikebut menjadi UU Migas.
Pembahasan intensif dilakukan setelah Gus Dur jatuh dan Kwik Kian Gie
serta Rizal Ramli tidak lagi jadi Menko.
Bahkan lebih parah lagi, ekonom politik Ichasnuddin Noorsy menilai bahwa konten
UU Migas adalah titipan IMF. Sulit untuk menyangkalnya mengingat begitu jauhnya
IMF ikut campur tangan di Indonesia seperti penutupan PT Dirgantara Indonesia
ketika krisis moneter 1998.
Profit Sharing Contract
Pengelolaan Migas
kita saat ini menggunakan Profit Sharing Contract(PSC). Prinsip-prinsip umum PSC
adalah: kendali manajemen dipegang oleh perusahaan negara; kontrak didasarkan
pada pembagian produksi (production sharing), setelah dikurangi biaya-biaya
(cost recovery); resiko ditanggung oleh
kontraktor; aset atau peralatan yang dibeli kontraktor dimiliki oleh negara;
kontraktor wajib mempekerjakan tenaga kerja Indonesia serta mendidik atau
melatih mereka; dan kontraktor wajib memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri
maksimum 25% dari bagian mereka. Di dalam PSC, kontraktor hanya berhak atas
manfaat ekonomi (economic right) dari pengusahaan migas. Sementara hak atau
kuasa pertambangan (mining right) dan hak atas minyak dan gas bumi (mineral
right) tetap menjadi milik negara.
Sampai UU Migas No
22 Tahun 2001 terbit, sistem PSC masih dianggap yang terbaik, dibandingkan
sistem-sistem pendahulunya, yakni sistem konsesi (1899 – 1960) dan kontrak
karya (1960 – 1964). UU ini hanya merubah pelaku yang mewakili negara dalam
mengadakan perjanjian dengan kontraktor. Sebelum UU liberal itu lahir, negara
menunjuk Pertamina sebagai kepanjangan tangan. Setelah itu, Pemerintah melucuti
kekuasaan Pertamina, dan membentuk BP Migas sebagai gantinya. Aneh memang
karena badan hukum negara yang sifatnya non-profit, membuat suatu perjanjian
bisnis.
Kontroversi UU Migas
Banyak pakar
perminyakan dan ekonom yang mengatakan bahwa UU Migas ini justru merugikan
rakyat Indonesia karena isinya memerintahkan kontrak-kontrak migas dilakukan
oleh BP Migas, bukan oleh Pertamina dan dampak kerugiannya ratusan trilliun. BP
Migas bukan entitas bisnis, maka minyak dan gas bagian negara yang berasal dari
kontraktor asing tidak bisa dijual sendiri oleh BP Migas. UU Migas
memerintahkan BP Migas menunjuk pihak lain untuk menjualnya.
Contohnya adalah
Lapangan Gas Tangguh yang dioperasikan oleh British Petroleum (BP). Karena
bukan entitas bisnis, maka yang membangun pabrik gasnya ditunjuk oleh BP juga.
Akibatnya BP meraup keuntungan luar biasa, dengan membangun pabrik, biayaknya
bisa dimark-up dan pinjam uang ke bank dengan jaminan pemerintah. Setelah gas
menjadi cair, harga penjualannya pun dikunci pada 3,35 dollar AS per mmbtu.
Mari kita bandingkan dengan Lapangan Gas Bontang yang pabriknya dikelola oleh
Pertamina. Meskipun lapangan gas Bontang ditemukan oleh investor asing, namun
UU lama memerintahkan Pertamina yang berkontrak, BUMN itu bisa membangun dan
memiliki pabriknya serta menjual ke Jepang dengan harga 20 dollar AS per mmbtu.
See the different?
Parahnya harga gas
Bontang akan naik sesuai dengan kenaikan harga pasar, sedangkan harga gas
Tangguh sudah terkunci. Kerugian Indonesia di lapangan gas tangguh mencapai 30
trilliun dan di blok Mahakan kerugian mencapai 5o trilliun (Kurtubi:2012).
Menurut survei
Fraser Institute Canada tahun 2011, kondisi investasi migas Indonesia menempati
peringkat 114 dari 145 negara di dunia dan paling buruk di Asia dan Oceania.
Lebih buruk dari Timor Leste, Papua Nugini, atau Filipina. Secara geologis
sumber daya migas di perut bumi Indonesia mencapai 50-80 miliar barrel dan gas
sekitar 350 triliun kaki kubik. Namun cadangan terbukti yang diproduksi saat
ini hanya sekitar 3,9 miliar barrel yang akan habis sekitar 12 tahun ke depan.
(Kurtubi:2012)
Kontroversi UU Migas
tidak selesai disitu saja karena masih banyak yang pro mendukung UU Migas dan
justru menganggap bahwa pembubaran BP Migas adalah salah satu langkah mundur
dan pengingkaran terhadap cita cita reformasi. Bahkan salah satu Hakim MK,
Harjono, menyampaikan dissenting opinion putusan MK dan menyatakan bahwa tidak
ada konstitusi yang dilanggar oleh UU Migas dan keberadaan BP Migas pun tidak
serta-merta inkonstitusional.
Menurut yang pro UU
migas yang sekarang, UU migas lahir karena adanya harapan bahwa regulator dan
operator Migas dilakukan oleh dua badan yang berbeda, artinya Pertamina tidak
boleh menjadi operator sekaligus regulator. Bahkan BP Migas berencana
menerbitkan buku putih untuk membuka kebenaran terkait stigma negatif yang
selama ini disematkan pada badan otonom pengawas sektor hulu migas Indonesia
itu. Beberapa poin yang ingin ditekankan
dalam buku putih tersebut adalah sebagai berikut:
Undang-Undang No. 22
Tahun 2001 sejatinya adalah tuntutan reformasi untuk tata kelola yang baik,
transparansi dan antikorupsi. UU Migas bertujuan untuk memperbaiki kondisi
sektor hulu dan hilir migas yang dulu monopolistik, oligarki, lemah pengawasan
dan rawan Korupsi, Kolusi serta Nepotisme (KKN). Sejak diberlakukannya UU Migas, tata kelola
di sektor hulu migas menjadi membaik yaitu Pertamina tidak lagi menjadi
pengawas sekaligus pemain di industri hulu migas. Hal tersebut mendorong
Pertamina menjadi lebih fokus dalam mengembangkan bisnisnya. Dampak di sektor hulu migas sangat terlihat
dari tingkat produksi Pertamina sebelum UU Migas yang hanya 70 ribu barel per
hari (bph), namun setelah diberlakukan UU Migas
produksi Pertamina naik menjadi 130 ribu bph. Di sektor hilir juga sangat terlihat
perbedaan mencolok sebelum dan sesudah diberlakukannya UU Migas di mana sebelum
diberlakukan UU Migas pelayanan SPBU Pertamina sangat buruk. Namun, kini
setelah UU Migas diberlakukan pelayanan SPBU Pertamina sangat jauh lebih baik
sehingga konsumen saat ini lebih diuntungkan dengan adanya UU Migas 22 Tahun
2001.
Pernyataan banyak
pihak sejak berlakunya UU Migas No. 22 Tahun 2001 penemuan cadangan migas baru
menurun dan produksi minyak nasional juga turun adalah tidak benar. Berdasarkan
fakta historikal sejarah atau data yang ada, produksi minyak bumi nasional
menurun sejak 1996 saat kendali industri hulu migas masih dipegang Pertamina
atau sebelum UU Migas diberlakukan, dengan rata-rata laju penurunan produksi
mencapai 12 persen per tahun.
Dan masih banyak
poin poin lain yang mendukung keberadaan BP Migas ini, rasanya tulisan ini akan
menjadi terlalu panjang.
Kembali Ke Cita-Cita
Dan begitulah,
kontroversi atas setiap kebijakan akan selalu ada. Ada yang pro dan ada yang
kontra. Namun penulis hanya ingin menyampaikan kembali visi negara Indonesia di
dalam pembukaan UUD 1945 yakni ”Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa,...”
Diatas semua
perdebatan kita mengenai layak atau tidaknya UU Migas dan BP Migas dibubarkan
atau dipertahankan, adalah jauh lebih penting untuk memahami secara utuh apakah
sumber daya energi perminyakan kita benar-benar telah digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat? Lalu apakah dengan dibubarkannya BP Migas,
rakyat akan semakin merasakan dampak kesejahteraan yang meningkat? Pada
dasarnya rakyat kecil tidak peduli apakah operator atau regulator migas di
tangan Pertamina atau BP Migas atau KemESDM.
Mari sejenak
merenung setelah melihat gambaran penguasaan kekayaan minyak kita sebagai
berikut:
![]() |
Adakah rasa nasionalisme anda tersentuh melihat ini? |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar