Jumat, 05 April 2013

Mestakung Solusi Macet Jakarta


Konsep mestakung (alam semesta mendukung) dipopulerkan oleh Prof Yohannes Surya, fisikawan yang membina Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dibawah bimbingan beliau, banyak sekali prestasi yang telah diraih oleh TOFI di berbagai level, mulai dari Asian Physics Olimpiad (APhO) hingga International Physics Olimpiad (IPhO) dengan raihan mulai dari perunggu, perak, emas dan Absolute Winner. Capaian ini sangat luar biasa dan membuat Indonesia sangat disegani karena tidak kalah dengan siswa dari negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, China, dll. Menjadi lebih luar biasa karena Prof Yo, demikian biasa ia dipanggil, membuktikan bahwa kunci pencapaian sukses ini adalah pembinaan dan tidak melihat apakah calon peserta olimpiade harus dari sekolah-sekolah bertaraf internasional dari kota-kota besar. Prof Yo juga merekrut dari daerah-daerah terpencil untuk ditempa menjadi andalan di tim olimpiade ini. Bahkan Prof Yo pernah merekrut dari Papua seorang siswa SD yang akan dibina di tim olimpiade ini padahal siswa tersebut keliru menjawab penjumlahan ½ ditambah 1/3 dengan menjawab 1/5.

Prof Yo telah membuka rahasia dibalik kesuksesannya membimbing anak-anak didiknya di TOFI lewat buku Mestakung (alam semesta mendukung). Bahkan konsep mestakung ini telah diangkat ke layar lebar yang dibintangi oleh budayawan kondang, Sudjiwotedjo. Prinsip mestakung adalah bahwa usaha yang kita lakukan harus sampai pada titik paling maksimal sehingga pada titik itu alam semesta/lingkungan kita turut bergerak menyalurkan “energi”-nya untuk pencapaian tujuan dari usaha kita. Secara rinci dan ilmiahnya ada di publikasi Prof Yo.
 
Konsep mestakung ini sering berkecamuk dalam pikiran saya ketika sedang berada di tengah-tengah macetnya Jakarta. Di tengah rasa jenuh menunggu “antrian” macet di jalanan yang panas, pengap, dan penuh dengan asap knalpot serta rasa jengkel ketika melihat minimnya disiplin berkendara dari pengguna jalan, sering kali pula pejabat pemerintah melintas dengan sirine vorrijder dan sirine polisi memaksa memecah kemacetan. Tidak jarang pula saya mendengar masyarakat mengumpat dan ingin marah ketika mobil mobil plat merah dari para pejabat ini melintas. Budayawan Sudjiwotedjo bahkan pernah berkicau di akun twitternya bahwa sirine polisi di jalan raya itu lebih mirip suara babi, dengan arogan ingin mengatan bahwa gue penguasa, elo rakyat, minggir. Rasanya ada banyak orang yang merasa terwakili dengan kekesalan Sudjiwotedjo ini.

Penasaran dengan alasan penggunaan vorrijder dan sirine polisi ini, saya pun berusaha mencari tahu. Saya pun akhirnya menemukan suatu kesimpulan bahwa hal itu terjadi karena pejabat terburu-buru untuk agenda-agenda negara yang penting dan tidak boleh terlambat. Joko Widodo pun yang katanya menolak penggunaan vorrijder, memberikan pengecualian bila agendanya adalah pertemuan dengan kepala negara atau tamu-tamu negara asing. Artinya demi kepentingan agenda (pejabat) negara, masyarakat pengguna jalan haruslah mengalah dan memberi jalan.

Pada suatu senja ketika duduk menunggu redanya hujan di halte transjakarta di sekitaran Tebet, Jakarta Selatan akhirnya saya terinspirasi menggunakan konsep mestakung dalan menangani macetnya ibukota ini. Ketika itu daerah Tebet sedang macet parah di jam pulang kantor dan melintaslah iring-iringan pejabat plat merah dikawal polisi dan vorrijder sehingga pengguna jalan harus menepi. Dari platnya saya tahu bahwa yang melintas adalah pejabat setingkat menteri. Saya berasumsi saja semoga pejabat yang melintas benar-benar sedang menjalankan agenda negara, bukan sedang pulang ke rumahnya di Cibubur, mungkin. Terbersit di pikiran saya, selama pejabat negara masih tetap menggunakan vorrijder ataupun sirine polisi untuk memecah macetnya Jakarta, beliau-beliau tersebut tidak akan pernah sampai pada titik maksimal (mestakung) dalam memikirkan solusi macetnya Jakarta. Pejabat ini tidak akan bisa menggunakan daya pikirnya hingga titik maksimal dan berada pada kondisi alam semesta mendukung dalam mencari solusinya.

Saya pun membayangkan seandainya semua pejabat negara diwajibkan naik angkutan umum ataupun paling tidak vorrijder dilarang penggunaannya. Akan banyak sekali agenda (pejabat) negara yang kacau dan pertemuan-pertemuan yang tidak on time. Bahkan jika itu terkait dengan pertemuan-pertemuan dengan investor-investor asing, misalnya, bisa aja pembicaraan rencana investasi akan dibatalkan. Konsekuensinya tentu saja adalah kerugian besar yang harus kita tanggung akibat pembatalan investasi ini. Hal ini tentu hanya contoh kecil saja dari begitu banyak agenda negara yang memiliki limit waktu dan agenda negara yang eksekusinya sangat peka waktu.

Apa yang saya bayangkan kemudian berlanjut pada suatu situasi dimana para pejabat negara dipaksa untuk memobilisasi daya pikirnya untuk mencapai titik dimana mestakung terjadi dalam mencari solusi kemacetan Jakarta. Akhirnya akan tibalah kita pada titik dimana terjadi sinergi antara daya pikir pejabat negara, kita dan alam semesta untuk mencari solusi macet Jakarta. Bayangkan jika anggota DPR diharuskan naik busway kegedung DPR dan atau menteri kabinet Indonesia Bersatu diwajibkan naik bus dari rumah elit mereka di daerah Cibubur ke kantor-kantor di Jakarta. Layanan busway dan bus lain akan dipaksa meningkat dari sisi kuantitas dan utamanya adalah kualitas. Jika pejabat negara tidak merasakan rill-nya kemacetan yang dialami masyarakat maka kebijakan yang diambil sebagai solusi pun tidaklah memecahkan masalah.

Saya sih sudah sangat jenuh dengan macetnya Jakarta. Bagaimana dengan anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar