Feodalisme berasal dari bahas Latin yakni feodum atau feudum. Secara historis, istilah feudum ini berkembang pada Abad Pertengahan di Eropa yang kaitannya
dengan kekuasaan bangsawan yang dijual kepada kalangan borjuis atau ksatria
untuk menguasai lahan/tanah dan menyerahkan upeti kepada kerajaan. Pola ini
membentuk hirarkis dimana kalangan borjuis atau ksatria berada dibawah
kekuasaan bangsawan dan sekaligus membawahi rakyat jelata. Kelak, sistem sumber
pendapatan kerajaan dengan cara inilah yang mengawali lahirnya sistem pajak.
Pengertian feodalisme ini oleh para ekspertis kemudian
dikembangkan sehingga pengertiannya pun menjadi jauh lebih luas. Pemaknaan
mengenai feodalisme kemudian meliputi sikap yang mengagungkan kekuasaan, pangkat
ataupun jabatan serta bertahan pada nilai nilai lama yang sudah ditinggalkan.
Mental feodalisme seolah membenarkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan atau
pangkat maupun jabatan berhak sewenang-wenang pada pihak yang dikuasainya atau
orang yang secara hierarki berada dibawahnya. Lebih jauh lagi, seorang bawahan
tidak layak menegur atasan. Oleh karena itu, beberapa pengamat juga memasukkan
feodalisme sebagai salah satu sebab terjadinya korupsi.
Di era sekarang dimana alam demokrasi menjamin kebebasan berpendapat,
budaya feodalisme sudah tidak lagi relevan. Di dalam lingkaran kekuasaan
politik dan birokrasi, karakter feodalis masih tetap ada sekalipun tidak
sesubur di masa kepemimpinan diktator Jenderal Besar Haji Muhammad Soeharto,
Bapak Pembangunan. Kita belum berbicara tentang wakil rakyat, yang tidak akan ada
habisnya diperbincangkan di tulisan ini jika dikaitkan dengan mental feodalis.
Meskipun pada dasarnya tidak wajar dimaklumi, namun kita
seolah sudah dapat memaklumi feodalisme di lingkaran kekuasaan politik. Namun
yang mengejutkan tentu saja adalah ketika mental feodalisme ini juga
terpelihara di lingkungan akademis yaitu kampus, sengaja atau tidak sengaja.
Pada dasarnya kampus adalah tempat belajar, diskusi akademis, dan riset. Proses
belajar yang baik tentu saja yang mengikutsertakan situasi diskusi yang baik.
Suatu teori tidak begitu saja mutlak harus diterima terus-menerus karena suatu
saat suatu teori akan jatuh oleh fakta-fakta baru diiringi argumentasi yang
meyakinkan. Ilmu pengetahuan pun senantiasa berkembang termasuk proses
pembelajaran itu sendiri. Suatu teori akan terus menerus diuji oleh perubahan
dan perkembangan zaman apakah masih relevan atau tidak.
Sulit bagi penulis untuk melupakan kejadian beberapa
bulan lalu di kelas Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai (PHKC). Seorang teman
menanyakan urgensi dipertahankannya status Importir Mitra Utama Prioritas
(MITA-P). Importir MITA-P ini adalah importir yang dokumen impornya tidak
diteliti dan barang impornya tidak diperiksa sama sekali. Argumen yang
disampaikan oleh teman mahasiswa ini adalah, MITA-P ini tidak sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang Pabean dan menyalahi cita-cita untuk melindungi
masyarakat dari masuknya barang-barang yang tidak diperiksa ke wilayah
Indonesia. Bea Cukai seolah kehilangan perannya sebagai homeland protection agency demi mengakomodasi keinginan masyarakat
usaha atas kecepatan proses clearence
barang. Pengajar PHKC yang ditanyakan pendapatnya justru menunjukkan raut wajar
dan nada bicara emosi. “Siapa anda? Urusan
apa anda? Anda itu belajar disini. Peraturan ini dibuat oleh wakil rakyat, anda
harus patuh saja. Patuh pada atasan jangan mau dipengaruhi orang lain”
begitulah kira-kira jawaban pengajar secara berulang-ulang dengan penekanan
bahwa sebagai mahasiswa tidak pantas untuk menanyakan relevansi dan konsistensi
sebuah aturan.
Hal ini tentu saja mengecawakan karena opini tidak di-counter dengan opini tetapi justru dijawab dengan
tinggi rendahnya status. Lalu apakah karena masih menyandang status sebagai
mahasiswa yang memiliki ikatan dinas kita tidak boleh mempertanyakan sebuah
kebijakan? Sangat wajar tentunya mahasiswa bertanya dan menyampaikan
pendapatnya terkait suatu kebijakan apalagi pada saat jam belajar. Larangan
membantah atasan di dunia kerja mungkin masih wajar diterima, tetapi larangan
bertanya di kelas seperti ini tentu masih perlu dipirkan kembali. Jika memang
pengajar sudah termasuk ahli di bidangnya dan punya sejuta pengalaman di dunia
kerja, tentu saja pertanyaan seperti ini dapat dengan mudah dijawab dengan
argumentasi yang kuat.
Secara psikologis, emosi sering kali muncul dalam debat
karena ketidakmampuan dan minimnya kompetensi pada hal yang diperdebatkan. Namun rasanya tidak
pantas jika kita meragukan kemampuan pengajar, yang wajar kita sayangkan
hanyalah sikap anti-kritik dan iklim diskusi yang tidak sehat. Lagipula,
setelah diteliti lebih jauh ditemukan bahwa dasar peraturan yang mengatur
importir MITA-P ini bukanlah Undang Undang melainkan peraturan menteri dan
peraturan dirjen, artinya tidak ada keterlibatan wakil rakyat dalam
pembuatannnya.
Kita tentu merindukan sebuah situasi belajar yang
kondusif untuk sarana diskusi karena hanya dengan jalan diskusi dan
berargumentasi kita bisa menemukan ide ide dan formulasi terbaik dalam
pengambilan kebijakan. Idealnya, dunia kampuslah yang membantu dan memberikan
masukan pada pemerintah pada saat proses pengambilan kebijakan. Menarik
membayangkan STAN atau Pusdiklat Bea dan Cukai tidak hanya sekedar lembaga
pendidikan dan pelatihan tetapi juga lembaga riset atas kebijakan yang akan
atau sudah diambil di eselon I Kementrian Keuangan. Bagaimanapun, mahasiswalah
yang kelak akan mewarisi tongkat estafet kepemimpinan dan tentu saja ide ide
segar dan konstruktif sangat dibutuhkan.
Dalam sejarah pun, ada kejadian besar yang lebih besar
terkait kekuasaan yang anti-kritik ini. Galileo Galilei pernah dipenjara karena
penemuannya yang mendukung teori Copernicus bahwa Bumi bergerak mengelilingi
Matahari bukan sebaliknya. Pada masa itu, teori yang masih dipakai adalah teori
Aristoteles bahwa bumilah yan menjadi pusat alam semesta. Oleh Gereja Katholik,
pandangan Galileo Galilei dianggap merusak iman. Feodalisme dan sikap
anti-kritik gereja pada masa itulah yang membuat Galileo akhirnya meninggal
dalam tahanan rumah. Baru tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa
hukuman kepada Galileo adalah salah.
Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud melawan, hanya merupakan otokritik agar kelak
ada perbaikan. Budaya anti-kritik sudah saatnya dihilangkan dan dimulai dari
dunia kampus. Hanya karena kita ikatan dinas, tidak berarti bahwa setiap
tingkah laku kita harus dikaitkan dengan ancaman tidak akan ditempatkan.