Kita sebentar lagi akan lulus, maka seharusnya
kita menganggap pendidikan yang kita jalani selama ini sebagai sebuah
pengalaman yang menyenangkan, terutama apabila kita adalah lulusan terbaik di
angkatan kita ataupun paling tidak di kelas atau komunitas bergaul kita. Namun
mari renungkan, apakah dengan menyandang lulusan dengan nilai terbaik maka
secara otomatis kita lebih pintar dibandingkan dengan teman teman kita
yang—katakanlah—nilainya tidak lebih baik dari kita. Sekali-kali tidak. Bagi
penulis, makna nilai terbaik itu hanyalah terbaik dalam hal melakukan apa yang
diperintahkan kepada kita dan terbaik dalam mematuhi sistem yang ada. Jika kita
saling membandingkan pencapaian kita lewat indikator nilai yakni IP atau IPK,
maka yang IP atau IPKnya lebih tinggi tidak berarti lebih pintar dari yang
lain. Secara sederhananya dapat dikatakan bahwa yang mencapai nilai lebih baik
tersebut hanya lebih patuh dalam sistem.
Ketika kelak pendidikan kita telah selesai maka
harus kita sadari bahwa periode
indoktrinasi kita telah selesai. Setelah kelulusan nanti maka kita akan
dilepas ke dunia kerja dengan penuh kegamangan mengenai apa yang akan kita
lakukan dalam bekerja. Lebih lebih lagi kegamangan kita akan bertambah ketika
harus menunggu sampai beberapa waktu lamanya untuk sampai waktu yang
tepat—menurut Kemenkeu—untuk penempatan kita.
Namun demikian kita perlu melakukan kontemplasi
untuk kembali menyadari bahwa kita adalah manusia, dilahirkan untuk berpikir,
mencari pengalaman hidup—bukan hanya pekerja. Menjadi pekerja artinya kita akan
terjebak dalam pengulangan, menjadi seorang budak di dalam sistem yang mengurung
diri kita. Jika demikian adanya, analog dengan pendapat penulis di awal tulisan
ini maka mahasiswa-mahasiwa yang meraih nilai terbaik telah menunjukkan bahwa
ia adalah budak terpintar. Mahasiswa yang mendapat predikat lebih baik dari
yang lainnya bermakna bahwa ia adalah budak yang lebih pintar dari yang
lainnya.
Sampai disini kita baru membahas tentang makna
sebagai yang terbaik, belum menyentuh tentang content dan pola pendidikan yang kita jalani. Izinkan saya
menggunakan analogi komputer sebagai cara kerja berpikir kita. Mayoritas materi
kuliah yang kita konsumsi dan pola
ujian yang kita terima mengarahkan kita menjadi memory storage bukan sebagai processor
ataupun CPU seutuhnya. Kita tak bisa menyangkal bahwa kita seakan-akan
dipaksa untuk menghafal seabrek materi kuliah dan bahkan tanpa memahami apa
maksudnya. Lalu apakah semuanya itu ditempatkan di long term memory? Tidak juga. Coba saja mengingat apa yang kita
pelajari di mata kuliah Pengetahuan Indentifikasi Barang tingkat I semester 1.
Lalu kemudian atas kemampuan storage kita tersebut dilakukan penilaian siapa yang terbaik.
Layakkah yang terbaik atau yang lebih baik dianggap sebagai terpintar atau
lebih pintar? Sekali-kali tidak. Yang terbaik berarti yang memory storage-nya kuat bukan processor-nya
yang andal. Apakah manusia dididik hanya sebatas menjadi storage atau menjadi CPU seutuhnya? Atau lebih sempitnya lagi,
dunia kerja justru membutuhkan daya kreativitas kita untuk memecahkan setumpuk
masalah bukan sebatas kepatuhan belaka apalagi hanya mengandalkan memory storage.
Secara umum, menjadi mahasiswa akan memberi kita
dua dari tiga pilihan untuk dikerjakan dalam menjalani day by day perkuliahan. Pilihan tersebut adalah nilai baik,
kesehatan, atau hobi/pergaulan. Ketiga-tiganya tidak bisa berjalan sekaligus,
melainkan hanya dua. Sebagai contoh, seorang aktivis kemahasiswaan yang
hidupnya sehat dengan jam tidur teratur akan sulit mendapatkan nilai yang baik
di kampus. Demikian juga mahasiswa yang mendapat nilai baik dibarengi dengan
kesehatan dan jam tidur yang teratur biasanya harus merelakan aktivitas sosial
pergaulan dan hobi. Jarang sekali yang mempu menyandingkan ketiganya.
Penulis mengamati bahwa mahasiswa yang mendapat
nilai terbaik berarti melakukan apa yang diperintahkan kepadanya secara ekstrim
baik. Di saat mahasiswa lain duduk melamun ataupun tertidur di kelas, mahasiswa
terbaik akan duduk membuat catatan dan menjadi pengikut ujian yang terhebat.
Saat mahasiswa lain masuk ke kelas dan menyadari belum menyelesaikan tugasnya,
mahasiswa terbaik sendiri tidak akan pernah lalai mengerjakan tugasnya. Saat
mahasiswa lain sibuk berbicara tentang jam jam bermain futsal dan update game terbaru, maka mahasiswa
terbaik akan mulai mempersiapkan dirinya untuk ujian ujian berikutnya.
Mahasiswa lain mungkin sudah terlarut dengan hobinya tetapi mahasiswa terbaik
bahkan akan sulit menyadari apa hobinya.
Lalu pertanyaannya kemudian adalah apakah pantas
mahasiswa terbaik tersebut menyandang predikat sebagai mahasiswa terbaik? Tentu
saja sangat pantas sebagai reward atas
kerja kerasnya yang luar biasa. Namun apakah yang akan didapatkan kemudian?
Predikat menjadi mahasiswa terbaik apakah menjamin kesuksesan setelah
meninggalkan institusi pendidikan? Atau bahkan penyandang mahasiswa terbaik
akan justru tersesat dalam hidupnya? Tidak ada jawaban yang benar-benar
memuaskan akan hal tersebut kecuali kegamangan yang kembali muncul.
Ketika Ketua Umum KBMC terpilih untuk periode 2012
2013 memilih penulis mendampinginya sebagai wakil, kami sempat terlibat diskusi
mengenai apa pentingnya penghargaan bagi IP tertinggi dan kenaikan IP
tertinggi. Namun apa daya, sekalipun penulis berpendapat penghargaan tersebut
dihapuskan, dalam praktiknya tidak bisa. Menurut hemat penulis, memberikan
penghargaan bagi mahasiswa haruslah dengan penilaian utuh, tidak sebatas
akademis tetapi juga aspek lain seperti kepribadian, pergaulan, keaktifan dalam
kegiatan mahasiswa dan mentalitas. Wajar juga ide penulis ditolak karena ukuran
ukuran terhadap substansi tersebut sangat kualitatif, hanya IPK-lah yang bisa
terukur secara jelas. Tetapi dengan memberi reward demikian, maka kita secara
kelembagaan juga mengakui dan mendorong mahasiswa untuk menjadi “pengejar IP”.
Tapi bukankah dalam dunia pendidikan kita lazim
terdengar tiga buah doktrin berikut ini? Pertama, lakukan apa yang
diperintahkan. Kedua, percayalah apa yang diajarkan. Ketiga, jangan menyimpang
dari textbook. Textbook dalam konteks pendidikan kita termasuk juga
peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Dalam Haluan edisi I, lewat
opini berjudul “Feodalisme dan Antikritik Apakah Masih Relevan?” penulis
mengkritik tentang tidak adanya ruang untuk kritis terhadap aturan. Harus patuh
dan terus patuh.
Buruknya lagi, dalam pendidikan yang kita ikuti
selama ini hanya membahas sebatas bagaimana menangani akibat dari suatu masalah
atau bagaimana menjadi budak yang bekerja secara lebih efisien, belum membahas
penyebab masalah.
Penulis berani menyampaikan pendapat ini bukan
bermaksud mengkritik orang lain tetapi lebih sebagai otokritik terhadap diri
sendiri. Setelah melakukan kontemplasi atas apa yang penulis lakukan selama
ini, tibalah pada sebuah kesimpulan bahwa penulis juga termasuk budak yang
dimaksud pada tulisan ini. Penulis pun kehilangan waktu waktu berkualitas untuk
melakukan hobi demi melaksanakan tuntutan menjadi manusia memory storgage. Namun tentu saja segala sesuatu memiliki dua sisi
paradoks. Membina sebuah generasi/angkatan menjadi orang yang patuh mengikuti
sistem ada baiknya (bagi orang-orang tertentu) dan juga ada sisi buruknya (bagi
orang-orang yang lain).