Setelah negara-negara di dunia yang menyepakati General Agreement on Tariff and Trade,
secara bertahap di seluruh belahan dunia terjadi pengurangan hambatan tarif dan
non tarif perdagangan internasional. Jika dilihat lebih ke belakang, gagasan
ini terjadi sejak depresi besar yang melanda Amerika Serikat tahun 1920-an,
dimana ketika itu terjadi proteksi luar biasa dalam perdagangan bahkan dapat
disebut sebagai perang tarif. Terlebih lagi gagasan yang lazim disebut
perdagangan bebas ini sangat didukung oleh ekonom penganut mazhab Adam Smith.
Namun faktanya kini sekalipun pengurangan atau
penghapusan tarif tidak menghapus sentimen dan kebijakan tentang
proteksionisme, negara-negara di dunia justru mencari jalan keluar lain untuk “memproteksi”
dirinya. Tak mengherankan jika kemudian penurunan tarif di negara-negara maju
kemudian secara cerdik dibarengi dengan munculnya penghalang non tarif. Penghalang
non tarif yang populer diantaranya adalah safeguard, dumping dan subsidi.
Yang terjadi sekarang bukanlah hambatan non tarif
seperti dibahas sebelumnya tetapi justru penghalang-penghalang teknis lainnya.
Masalah dumping dan safeguard misalnya masih bisa diatasi dengan bea masuk anti
dumping dan bea masuk safeguard dan sudah lazim dalam tatalaku perdagangan
internasional. Berbeda dengan penghalang-penghalang teknis lainnya yang sedikit
sulit diselesaikan karena belum diantisipasi dalam sistem perdagangan
internasional. Tidak bermaksud mendiskreditkan negara maju, namun memang hal
ini sepertinya secara sengaja dibiarkan sebagai intrumen proteksi negaranya. Akal-akalan.
Secara historis, Amerika Serikat pernah bertarung
hebat dengan Meksiko terkait dengan ekspor alpukat dari Meksiko ke AS yang
dianggap membawa lalat buah. Brazil juga pernah merasakan restriksi perdagangan
dari AS terkait dengan dugaan kontaminasi penyakit kuku dan mulut. China bahkan
memperkirakan 90% produk pertaniannya terpengaruh oleh penghalang yang bersifat
teknis dan mengalami kerugian sekitar 9 miliar dollar. Sekarang “perang
restriksi” tampaknya terjadi juga antara Indonesia dan AS.
Dalam laporan Appellate Body World Trade
Organization tanggal 4 April 2012 dinyatakan bahwa Amerika Serikat melanggar
ketentuan WTO dalam hal diskriminasi dagang terkait rokok beraroma. AS
melanggar artikel 2.1 pada perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) WTO. Kasus
ini berawal dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act di AS.
Undang Undang tersebut melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma,
termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan. Namun ketentuan ini
mengecualikan rokok mentol produksi dalam negeri AS. Hal ini banyak merugikan
pabrikan rokok Indonesia yang mengekspor rokok ke AS sehingga Indonesia
mengajukan kasus tersebut ke WTO. Namun kasus ini agaknya mengecewakan kita
karena sekalipun WTO telah memaksa AS untuk membuka kembali legalitas
perdagangan rokok kretek ini, AS tetap tidak menjalankannya.
Ini bukan kasus satu-satunya terkait diskriminasi
dagang yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia. Pada 27 Januari 2012,
Pemerintah AS menerbitkan notifikasi Badan Perlindungan Lingkungan (EPA)
terkait standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbaharui. Notifikasi ini
menegaskan bahwa bahan bakar minyak nabati dari CPO Indonesia belum memenuhi
standar terbarukan. Kasus ini memang tidak sampai dibawa Indonesia ke WTO,
hanya sebatas menyampaikan sanggahan. AS menjanjikan akan melakukan pengecekan
terhadap CPO Indonesia apakah benar-benar ramah lingkungan. Alasan lingkungan
ini hanyalah alasan yang dibuat-buat karena dapat dipahami bahwa intensi AS
adalah untuk melindungi minyak nabati berbahan baku jagung dan kedelai.
Belum berhenti disitu, The Walt Disney Company
juga menambah panjang kasus boikot terhadap produk RI yakni boikot terhadap
kertas made in Indonesia. Hanya saja
kasus boikot kertas ini agak berbeda karena dilakukan oleh perusahaan, bukan
oleh pemerintah seperti kejadian rokok dan CPO.
Beberapa hari terakhir di media cetak nasional
pembahasan terkait pengaturan impor hortikultura yang dilakukan oleh Kementrian
Pertanian dan Kementrian Perdagangan juga hangat dibicarakan. Sebabnya adalah
permohonnan peninjauan oleh AS kepada Dispute
Settlement Body WTO atas kebijakan pemerintah RI ini. AS menilai hal ini
mengganggu aliran ekspor produk hortikultura dari AS ke Indonesia dan terkhusus
lagi ekspor daging sapi. Seorang ekonom nasional, Bustanul Arifin malah menilai
ini sebagai sikap yang berlebihan karena pada dasarnya porsi ekspor daging sapi
AS ke Indonesia hanya 15%. Bahkan China yang merupakan pemasok utama untuk
produk hortikultura tidak berkeberatan dengan kebijakan Indonesia ini.
Fakta-fakta tersebut menambah keyakinan bahwa
perdagangan bebas bukanlah konsep perdagangan yang ideal. Perdagangan yang
ideal adalah perdagangan yang adil. Menurut Nobel
Laureate, Joseph Stigliz, perdagangan yang adil adalah sebuah sistem
perdagangan yang akan timbul jika semua subsidi dan hambatan-hambatan terhadap
perdagangan dihilangkan. Jika dibaca secara sekilas, konsep dari Stigliz ini
sama saja dengan konsep perdagangan bebas. Bedanya justru terletak pada legal
atau tidak legalnya hambatan non tarif diberlakukan. Penurunan hambatan tarif
menjadi fokus dari perdagangan bebas tetapi hambatan non tarif diberlakukan
secara terselubung. Hambatan non tarif yang diberlakukan secara terselubung ini
justru mengorbankan negara-negara berkembang. Kita bisa melihat dengan jelas
kasus alpukat Meksiko, daging Brazil, dan rokok serta CPO dari Indonesia.
Bahkan sekalipun WTO telah mengeluarkan putusannya terkait keberatan yang
diajukan Indonesia, AS tetap tidak menjalankannya. WTO seakan-akan powerless menghadapi superpower ini.
Perdagangan bebas hanya menguntungkan satu pihak
dan membebani pihak lain. Bahkan dengan catatan, masyarakat yang negaranya
merasa diuntungkan belum tentu merasakan keuntungan. Contohnya, saat ini
kesepakatan internasional melarang semua bentuk subsidi kecuali untuk
barang-barang pertanian. Kondisi tersebut tentu saja menekan pendapatan di
negara-negara berkembang yang tidak mendapatkan subsidi karena produk mereka
kalah di pasar internasional. Dan oleh karena sekitar 70% masyarakat di
negara-negara berkembang secara langsung maupun tidak langsung menggantungkan
hidup mereka pada bidang pertanian, pendapatan negara-negara berkembang mengalami
penurunan. Namum bagaimana dengan petani-petani di negara maju, apakah mereka
juga menikmati keuntungan dari subsidi ini? Tidak juga karena sebagian besar
subsidi pertanian di negara maju juga dinikmati oleh kartel dari perusahaan
pertanian besar seperti Cargill dan Bayer.
Oleh karena itu katakan saja tidak pada
perdagangan bebas, dan mulailah membangun suatu tatanan baru untuk perdagangan
yang adil.