Polemik GKI Yasmin
masih belum usai tampaknya. Beberapa waktui lalu saya menonton sebuah acara
dialog di sebuah televisi swasta yang dihadiri oleh tokoh agama muslim di Bogor
yang terkait masalah GKI Yasmin , Ketua MUI, dan perwakilan GKI Yasmin.
Peliknya masalah ini saya lihat ketika perwakilan GKI Yasmin bersikukuh bahwa
mereka sudah mendapat hak lewat putusan Mahkamah Konstitusi sedangkan tokoh
agama dari Bogor dan Ketua MUI mengatakan bahwa relokasi bangunan gereja GKI
Yasmin adalah solusi terbaik sehingga tampak tak ada titik temu. Ya relokasi
memang solusi yang baik juga jika hanya ingin meredam amarah masyarakat Bogor
saja, tetapi perlu diingat juga bahwa jemaat GKI Yasmin juga wajar untuk tetap
bersikukuh karena sudah ada putusan hukum yang berkekuatan hukum tetap yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Bahkan dengan jaminan dana pembangunan
gereja baru sekalipun. Tentu saja tidak terlalu bijak juga jika disamakan
dengan HKBP Ciketing yang bersedia direlokasi. Jemaat GKI Yasmin jelas punya
hak karena dijamin Pancasila, UUD 1945, dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang
sudah berkekuatan hukum tetap.
Tetapi
terlepas dari itu saya disini ingin bercerita sedikit tentang kisah yang saya
analogikan mirip dengan masalah GKI Yasmin. Kisah ini terjadi ketika masalah
rasisme masih terjadi di Amerika Serikat.
Inilah kisah
selengkapnya.
Sejarah perbudakan di AS
berlangsung sejak lama, jauh sebelum negeri itu berdiri pada 1776. Sebelum abad
ke-16, lembaga perbudakan ada hampir di seluruh pelosok dunia, termasuk di
dunia Islam. Baru pada pertengahan abad ke-16, muncul suara-suara protes dari
kalangan gereja yang menyerukan penghapusan perbudakan. Salah satu sekte
Kristen yang terkenal dengan semangat anti-perbudakan adalah Quaker. Bagi
mereka, perbudakan adalah praktik yang un-Christian, tidak
Kristiani.
Pada tahun 1865, perbudakan dihapuskan secara resmi di AS melalui amandemen
ke-13, persis setelah perang sipil yang berlangsung selama lima tahun
(1861-1865). Meski demikian, praktik diskriminasi terhadap mantan budak masih
terus berlangsung, terutama di bagian Selatan. Praktik segregasi itu bahkan
disahkan melalui doktrin hukum yang terkenal saat itu: equal
but separate.
Inti doktrin itu,
orang-orang kulit hitam (belakangan lebih dikenal dengan sebutan
African-American) dianggap sebagai warga negara yang sama dengan warga lain,
tetapi mereka tak diperbolehkan berbaur dengan warga lain itu, terutama yang
berkulit putih. Penganut doktrin ini beranggapan bahwa praktek 'equal
but separate' tak berlawanan
dengan amandemen ke-13.
Dengan doktrin ini,
orang-orang hitam tak boleh bersekolah di tempat yang sama dengan orang-orang
kulit putih, dilarang masuk ke tempat-tempat umum dimana orang kulit putih ada
di sana: restoran, pub, bar, bahkan toilet. Orang kulit hitam memang dianggap
sebagai warga negara yang sah dan sama kedudukannya dengan warga lain, tetapi
mereka seperti 'dikarantina' di tempat yang terpisah.
Praktik segregasi,
terutama di sekolah itu, baru dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Agung(Supreme Court) AS pada 1954 melalui suatu keputusan
yang dikenal dengan Brown v. Board of Education.
Keputusan mahkamah ini menyatakan bahwa seluruh praktik
segregasi di sekolah-sekolah AS tidak sah dan berlawanan dengan konstitusi.
Seluruh sekolah diharuskan untuk mengintegrasikan murid-murid berkulit hitam
dengan murid-murid kulit putih. De-segregasi juga diharuskan di tempat-tempat
publik yang lain.
Semua sekolah, tentu
dengan enggan, menaati aturan ini. Tetapi ada perkecualian yang kemudian pecah
sebagai insiden yang menghebohkan seluruh Amerika pada tahun 1957. Insiden itu
terjadi di sebuah sekolah menengah di kota Little Rock, yakni Little Rock High
School.
Menindaklanjuti
keputusan mahkamah itu, NAACP (National Association for the Advancement of
Colored People), sebuah LSM yang berjuang untuk membela hak-hak sipil warga
kulit hitam, berencana untuk mendaftarkan sembilan murid hitam di Sekolah
Little Rock yang, sudah tentu, seluruh muridnya berkulit putih. Kepala sekolah
setuju. Rencananya, kesembilan murid itu akan mulai masuk pada musim gugur
1957, persisnya pada 4 September 1957.
Rencana ini diprotes
oleh kelompok kulit putih yang pro segregasi. Mereka ramai-ramai mendatangi
sekolah itu dan menghalang-halangi kesembilan murid tersebut untuk masuk
gerbang sekolah. Yang lebih dramatis, Gubernur negara bagian Arkansas Orval
Faubus mendukung kaum segregasionis itu, dan, tak main-main, mengirimkan
pasukan Garda Nasional dari Arkansas untuk membantu kaum kulit putih mencegah
sembilan murid hitam memasuki halaman sekolah.
Sembilan murid hitam itu
akhirnya gagal masuk sekolah. Mereka, murid yang masih ingusan itu, dicegat
oleh barisan tentara Garda Nasional. Mereka juga menjadi sasaran cemoohan dan
pelecehan massa kulit putih yang meneriakkan yel-yel, “Two,
four, six, eight... We ain’t gonna intregrate!” Mereka mengejar dan memukuli para
wartawan yang meliput peristiwa itu.
Peristiwa ini langsung
menjadi isu nasional yang menyedot perhatian seluruh warga Amerika. Melihat tindakan
gubernur Arkansas yang nyata-nyata melawan keputusan Mahkamah Agung ini,
Presiden Dwight D. Eisenhower langsung turun tangan. Dia meminta Gubernur
Faubus menemuinya secara pribadi, dan memerintahkan agar dia tak membangkang
dari keputusan Mahkamah. Gubernur Faubus rupanya tak menggubris. Terjadilah
ketegangan antara pemerintah federal dan negara bagian.
Presiden Eisenhower
akhirnya mengambil alih masalah 'kecil' kota Little Rock ini. Dia mengirim
pasukan Divisi Airborne 101 dari Angkatan Darat AS ke Arkansas untuk melindungi
sembilan murid kulit hitam itu. Tindakan Presiden Eisenhower membuahkan hasil.
Pada 23 September 1957, untuk kali pertama, sembilan murid itu berhasil masuk
sekolah dengan dikawal oleh 1.200 pasukan AD Amerika.
Presiden Eisenhower juga
mengambil tindakan drastis lain--memfederalisasi pasukan Garda Nasional
Arkansas dan menempatkannya langsung dibawah komando presiden, bukan lagi di
bawah Gubernur Faubus. Tujuannya jelas: agar Gubernur Faubus tak menggunakan
tentara garda itu untuk melawan pemerintah federal.
Kisah ini sangat
mengharukan saya. Sembilan murid hitam di sebuah kota yang jauh dari ibukota
Washington, masuk sekolah dengan dikawal oleh 1.200 tentara. Hak mereka untuk
sekolah hendak dibatalkan oleh seorang gubernur, dan seorang presiden langsung
turun tangan melindungi murid-murid yang masih belia itu.
Keberanian Presiden Eisenhower
untuk langsung turun tangan dan ambil alih masalah ini, merupakan 'kebajikan
kepemimpinan' yang layak
diteladani. Sudah tentu, tindakan Presiden Eisenhower ini kontroversial, dan
ditentang oleh orang-orang kulit putih di kawasan Selatan yang umumnya masih
pro segregasi. Tetapi, konstitusi tetaplah konstitusi, dan harus ditegakkan.
Kasus di negara bagian
Arkansas ini mengingatkan kita pada kasus yang nyaris serupa. Walikota Bogor,
Diani Budiarto, membangkang dari keputusan MA yang telah menjamin hak jemaat
GKI Yasmin untuk membangun gereja di sebuah kawasan perumahan di Bogor. Apa
yang dilakukan oleh walikota ini persis dengan yang dilakukan oleh Gubernur
Orval Faubus dari Arkansas.
Dalam kasus GKI Yasmin
ini, kita tentu berharap ada 'Eisenhower Indonesia' yang mau turun tangan
langsung dan memastikan bahwa hak-harga warga negara untuk membangun rumah
ibadah yang dijamin oleh konstitusi itu tak
dicederai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar