Ada begitu banyak orang yang tahu bahwa Amerika
Serikat mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang kemudian berdampak pada
krisis global pada waktu waktu sesudahnya. Lebih dari itu, ada juga yang
memahami bahwa awal dari krisis ekonomi ini adalah macetnya kredit perumahan
subprimer (suprime mortgage). Namun demikian, tidak banyak yang benar-benar
paham mengenai kejadian yang sebenarnya pada dunia kredit perumahan AS pada
waktu itu. Lewat tulisan ini, penulis ingin mengurai lebih rinci dan berusaha
untuk secara sederhana menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Tulisan ini
banyak memuat pengakuan dari Lawrence McDonald, seorang mantan Wakil Presiden
Lehman Brothers. Lehman Brothers adalah firma keuangan yang bangkrut pada hari
Senin 15 September 2008 setelah dibangun selama 158 sebagai ksatria perbankan
yang cemerlang dan masuk big four di
AS maupun di dunia. Kebangkrutannya sangat mempengaruhi ekonomi AS dan ikut
menjadi penyebab krisis global 2008.
Bagaimana ini semua berawal? Alan Greenspan,
pemimpin Federal Reserve AS, sejak tahun 2000 secara bertahap memangkas suku
bunga dari 6% hingga mencapai 1% pada tanggal 30 Juni 2003. Ini adalah suku
bunga terendah sejak Great Depression 1920-an.
Tujuan awalnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi setelah sebelumnya ada
krisis gelembung dot-com akibat pertumbuhan berlebihan perusahaan berbasis
internet. Namun Greenspan semakin yakin untuk mencegah resesi akibat peristiwa
11/9. Suku bunga yang hanya 1% ini membuat penurunan jumlah tabungan karena
akan sama saja dengan menyimpang uang dibawah bantal. Yang naik adalah
kecenderungan untuk menarik kredit dari bank. Untungnya, tidak terjadi inflasi
besar karena tingginya angka impor AS terhadap barang dari China sehingga
dollar AS banyak yang “diangkut” ke China.
Federal Reserve AS membayangkan sebuah kondisi
positif dari perekonomian akibat menekan suku bunga ini. Suku bunga yang rendah
sampai 1% akan membuat pertumbuhan kredit yang tinggi dan uang yang beredar
banyak secara “gratis”. Bahkan rumah dapat dijadikan sebagai ATM dengan menarik
uang dari bank atas pertumbuhan nilai property. Karena kebanjiran uang maka
daya beli masyarakat juga naik dan membeli banyak barang dari pasar khususnya
barang yang dijual di ritel besar seperti Home Depot, Sears, dll. Penguasa
ritel ini mengimpor barang dari China sehingga China pun menjadi kelebihan
dollar. Dollar AS milik China ini dipakai untuk membeli simpanan pada Bendahara
Negara AS lewat obligasi negara. Jadinya, AS tetap tidak kekurangan dollar
meskipun impor tinggi dan tetap dapat mempertahankan suku bunga 1%. Cita-cita
pertumbuhan ekonomi pun tercapai karena ada efek domino yang positif dari suku
bunga rendah ini. Dalam ekonomi, ini disebut dengan Putaran Umpan Balik
Positif. Hal ini akan baik jika konsisten berjalan terus menerus dan akan
menguntungkan semua pihak.
Kemudian berkembang pula pemberian kredit
perumahan/hipotek di AS, utamanya di California (40% dari kredit subprimer).
Kredit suprimer adalah kredit yang diberikan kepada orang yang sejarah
kreditnya rendah/kemampuan bayarnya lemah. Bahkan hipotek ini diberikan bukan
oleh Bank melainkan oleh “bank bayangan”. Bank bayangan ini nantinya akan
menjual hipotek ini ke Bank dan Lembaga Keuangan di WallStreet antara lain
Lehman Brothers, Morgan Stanley, Goldman Sachs, Merill Lynch, dll. Contohnya,
sebuah bank bayangan berhasil menyalurkan kredit sebanyak 1000 hipotek
masing-masing bernilai USD 300.000. Hipotek ini dijual ke Lehman seharga USD
300 juta. Bunga hipotek ini sebesar 2% perbulan sehingga total pembayaran untuk
masing-masing hipotek sebesar USD 500 perbulan. Pemilik rumah yang menerima
hipotek tidak perlu mengajukan dokumen dan jaminan apapun karena rumah itu
sendiri yang akan menjadi jaminannya. Asumsi dari pemberi kredit adalah bahwa
nilai rumah itu akan terus naik secara gradual.
Lembaga Keuangan kemudian “menyulap” 1000 buah
hipotek ini menjadi obligasi. Hipotek yang tadi dibeli oleh Lehman sebesar USD
300 juta misalnya, dijadikan 300 buah obligasi dengan nilai masing masing USD 1
juta. Komisi dari lembaga keuangan adalah 1% dari nilai total hipotek ini. Tiga
ratus buah obligasi kemudian dijual ke pasar dengan kupon 7%-8%. Sekilas tampak
bahwa lembaga keuangan ini bodoh karena merugi sebesar 5%-6%, tetapi mereka
memperhitungkan bahwa bunga hipotek akan naik menjadi 9%-10% dalam waktu 2
tahun. Selama 2 tahun, pembayaran hipotek akan berada pada bunga 2% namun
setelahnya akan dilakukan penyesuaian bunga dengan asumi nilai aset rumah juga
meningkat 5% per tahun. Cerdas sekali asumsinya! Namun lembaga keuangan ini
melupakan asumsi yang lain bahwa ada kemungkinan penerima kredit tidak akan
mampu membayar kredit ini. Bayangkan saja, tadinya kewajiban pembayaran seorang
penerima hipotek berkisar USD 500 perbulan. Setelah dua tahun, maka dilakukan
penyesuaian bunga sehingga kewajibannya naik menjadi USD 2000 perbulan.
Obligasi ini dijual ke pihak lain dan terutama
dibeli oleh bank-bank dari luar negara AS seperti HSBC, Kaupting, dll. Anda
bisa membayangkan bagaimana seseorang di Eslandia meminjamkan uang kepada
seseorang di daratan California. Globalisasi keuangan? Ya inilah dunia
sekarang, entah apapun namanya.
Penjualannya mudah karena lembaga keuangan seperti Lehman menggandeng
pemeringkat kredit seperti Standard and Poor’s, Moody’s, dan Fifth Ratings.
Ketiga lembaga ini memberi peringkat AAA pada obligasi ini sehingga calon
pembeli obligasi sangat yakin dengan daya bayar kredit tersebut. Sebagai
perbandingan, obligasi ini setara dengan obligasi negara yang diterbitkan oleh Bendahara
Negara Amerika Serikat. Yunani ketika sedang sekarat karena tidak mampu
membayar utang diberi peringkat BB oleh ketiga lembaga tersebut. Oleh karena
ketiga lembaga ini sangat reputable, pembeli
obligasi ini menjadi sangat yakin tanpa sadar mereka telah membeli kucing dalam
karung—membeli kredit yang hampir mustahil dapat dibayar.
Apa dampak buruk yang mungkin terjadi?
Saya ingin mengajak anda membayangkan serentetan
kejadian apabila penerima kredit gagal membayar hipotek ini. Lembaga keuangan
akan hancur dan bangkrut karena harus tetap membayar obligasi yang telah dijual
ke bank-bank di seantero planet. Lembaga keuangan tidak akan menerima bayaran
apapun dari pemilik rumah/penerima kredit karena jelas-jelas tidak mampu bayar. Ya memang lembaga keuangan dapat
menyita aset berupa rumah tetapi itu menjadi tidak ada nilainya karena lembaga
keuangan butuh cash ketika obligasi
jatuh tempo. Lagipula, ketika gagal bayar kredit terjadi, nilai dari rumah
tersebut akan terjun bebas. Apabila lembaga keuangan besar seperti Lehman
Brothers yang masuk big four bangkrut
maka mustahil tidak berdampak pada keuangan dunia.
Bahaya lainnya adalah ketika ada hipotek yang
gagal bayar maka akan berimbas pada obligasi yang dijual lembaga keuangan
tersebut. Pihak-pihak yang biasa membeli obligasi ini menjadi takut membelinya
karena takut pada resiko gagal bayar. Hal ini akan membuat ambruk pasar
properti AS sehingga rumah tidak lagi dapat digunakan sebagai ATM untuk menarik
kredit dari bank. Karena kesulitan memperoleh kredit, masyarakat akan mengubah
pola hidupnya menjadi sederhana dan tidak lagi membeli barang-barang dari
penguasa ritel seperti dijelaskan pada awal tulisan ini. Penguasa ritel seperti
Home Depot dan Sears pun kemudian mengurangi jumlah impor dari China. Cadangan
dollar AS yang dimiliki China pun tidak lagi sebanyak sebelumnya. Padahal
Bendahara Negara AS sangat ketergantungan pada China yang memasok dollar AS
dengan membeli obligasi negara agar tetap dapat menekan suku bunga 1%. Dalam
ilmu ekonomi ini disebut dengan Putaran Umpan Balik Negatif.
Terlalu mudah memberikan kredit ke pihak-pihak
yang sangat potensial gagal membayar tentu sangat beresiko. Secara logika
sederhana pun kita tentu dapat memahaminya tetapi keuntungan yang cepat dan
besar membuat sebagian orang-orang di WallStreet menutup mata. Dampaknya tentu
saja krisis global pada tahun 2008 yang masih terasa denyutnya hingga kini.
Bahkan negara paling liberal seperti AS yang sejak lama membawa agenda
kebebasan dan menolak campur tangan pemerintah sampai titik terendah harus
menelan ludahnya sendiri. Kongres AS menyepakati paket bantuan untuk beberapa
perusahaan besar di AS yang terancam bangkrut senilai USD 700 Miliar melalui
program TARP (Troubled Assets Relief Program). Dana ini menjadi penyambung
hidup bagi perusahaan seperti Frannie, Freddie, AIG (perusahaan asuransi
terbesar di dunia), General Motors, Goldman Sachs, Bank of America, Citigorup.
Perusahaan raksasa ini hampir semua memiliki anak perusahaan yang menyalurkan
hipotek secara mudah dan kemudian hancur akibat gagal bayar. Bantuan semacam
ini tentu saja pamali bagi negara laissez faire sekelas AS.
Lima tahun telah berlalu, disaat denyut krisis
global itu masih terasa, saya justru baru saja memahami apa yang terjadi di AS.
Baru awal 2013 saya benar-benar mengerti tentang suprime mortgage itu. Sederhana saja, meminjamkan uang kepada orang
yang kita tahu tidak akan mampu membayar lagi.
Kapan terakhir kali anda meminjamkan uang dan
tidak kembali? Haha