Monyet adalah binatang dengan tingkat
kecerdasan tinggi, setelah simpanse, lumba-lumba, dan gajah. Monyet memiliki kemampuan untuk mengambil
keputusan, mengingat dengan baik, serta mempelajari hal-hal yang baru. Hewan
yang dikenal berwajah ekspresif ini
tergolong sebagai hewan sosial yang dapat merencanakan tindakan bersama-sama.
Dalam beberapa aspek, kecerdasan monyet
dan manusia mungkin saja sudah tidak jauh berbeda lagi. Salah satu aspek vital
yang menurut penulis menarik untuk dibandingkan adalah kemampuan untuk berpikir
secara abstrak. Kemampuan berpikir abstrak ini adalah suatu aspek yang penting
dari inteligensi, karena mencakup
penggunaan efektif dari konsep-konsep serta simbol-simbol dalam
menghadapi berbagai situasi khusus untuk mengambil keputusan.
Kemampuan berpikir abstrak tidaklah
terlepas dari pengetahuan tentang konsep karena berpikir memerlukan kemampuan
untuk membayangkan atau menggambarkan benda dan peristiwa yang secara fisik
tidak selalu ada/tidak berwujud. Orang
dengan kemampuan berpikir abstrak yang baik akan dengan mudah menemukan
pemecahan masalah tanpa hadirnya objek permasalahan itu secara nyata.
Sedemikian pentingnya kemampuan berpikir abstrak, sampai-sampai ada yang
”menerjemahkan” kecerdasan sebagai kemampuan untuk melakukan pemikiran abstrak
(the ability to carry on abstract
thinking).
Bagaimana dengan monyet? Apakah monyet
juga memiliki kemampuan berpikir abstrak?
Monyet memiliki kemampuan untuk berpikir
abstrak, namun kadar berpikir konkretnya jauh lebih tinggi dibandingkan
kemampuan berpikir abstrak. Dalam mengambil keputusan, monyet akan lebih banyak
mempertimbangkan sesuatu yang bisa dilihat dan ada secara fisik. Contohnya,
monyet yang diberi makan pisang dalam jumlah sangat banyak tidak akan bersedia
menukar pisangnya dengan benda lain, sekalipun pisang miliknya berlebih. Itulah
sebabnya monyet belum sampai pada peradaban jual-beli barang (re:pisang) dengan
cara tukar-menukar alias barter, apalagi pada tahap penggunaan uang. Monyet
yang memiliki pisang berlebih tidak akan mau menjualnya ke monyet lain, dan
monyet yang kekurangan pisang juga tidak akan bersedia membeli atau menukarnya
dengan suatu benda yang dia miliki. Monyet belum sampai pada tahap meng-“abstraksi”-kan
uang sebagai sesuatu yang bernilai selayaknya manusia.
![]() |
http://qledbetter.com/ |
Sebaliknya, manusia justru memiliki
kemampuan berpikir abstrak yang sudah sangat baik, sampai-sampai kemampuan
berpikir konkretnya kadang-kadang dilupakan. Manusia begitu imajinatif sehingga
mampu memasukkan pertimbangan-pertimbangan yang secara fisik tidak ada/tidak
kelihatan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Peradaban
tukar-menukar barang yang kemudian berubah menjadi peradaban jual-beli
menggunakan uang adalah bukti adanya suatu lompatan kemajuan berpikir abstrak
pada manusia. Hal ini menjadi menarik karena manusia bisa menyepakati nilai
sekeranjang buah dengan beberapa lembar kertas yang bersama-sama disetujui
sebagai uang. Peradaban ini kemudian berubah lagi ke dalam fase dimana uang
tidak lagi diperlukan secara fisik. Keberadaan uang secara fisik hanya ada di
dalam Bank atau Lembaga Keuangan, namun kepemilikan, daya tukar, dan nilainya
dapat digunakan dan dipindahkan secara virtual. Tabungan adalah wujud kemampuan
abstraksi manusia yang sudah sangat jauh melampaui monyet sebagai sesama ordo Primata.
Manusia bersedia membeli dan menjual
pisang dengan menggunakan fasilitas Internet
Banking, SMS Banking, atau e-money, sementara monyet bahkan tidak bersedia
menukarkan satu buah pisang yang digenggamnya dengan satu lembar uang seratus
ribu rupiah. Sense of belonging atau
rasa memiliki terhadap satu buah pisang antara manusia dengan monyet mungkin
saja sama, namun kemampuan abstraksi berpikir
membuat pertimbangan dalam mengambil keputusan antara monyet dan manusia
menjadi berbeda.
Bagaimana kaitannya dengan pengambilan
keputusan dalam pilkada?
Sedemikian imajinatifnya kemampuan
berpikir manusia, sehingga mampu percaya begitu saja pada hal-hal yang abstrak,
seperti janji-janji politik calon kepala daerah dalam pilkada. Manusia kadang
juga dengan mudahnya mengabstraksikan hak suaranya dalam pilkada dan kemudian
bersedia menukarnya dengan uang. Abstraksi berpikir manusia justru tidak digunakan untuk menilai kapasitas para calon
kepala daerah yang akan dipilih. Keduanya dipertukarkan secara salah dimana
janji-janji yang abstrak itu dianggap konkret dan hadir secara nyata tetapi
rendahnya kapasitasnya justru tidak dinilai secara konkret. Ah rumit ya.
Para calon kepala daerah juga demikian
imajinatifnya sehingga mampu merekonstruksi pemahamannya sedemikian rupa untuk
meyakini bahwa tidak menjadi masalah apabila pengeluaran dalam proses
pencalonan dirinya menjadi Kepala Daerah jauh lebih besar daripada potensi
penerimaan lewat gajinya sebagai Kepala Daerah kelak. Sederhananya, para calon
siap menjadi Kepala Daerah meskipun secara hitung-hitungan finansial sangat
tidak menguntungkan.
Maka dari itu, otak monyet sebaiknya
jangan dibuang semua sehingga pemilih tidak bersedia menjual hak pilih hanya
dengan beberapa lembar uang seratus ribu.
Sudah seharusnya menyisakan ruang-ruang konkret dalam cara berpikir
sehingga pemilih memahami bahwa kuasanya sebagai pemegang hak pilih tak layak
untuk dipertukarkan dengan uang. Pun demikian halnya dengan para calon Kepala
Daerah, sudah seharusnya mempertahankan sebagian kemampuan berpikir konkretnya.
Kalau secara logika hitung-hitungan sederhana saja sudah tidak menguntungkan
untuk apa cara money politic
digunakan? Kecuali, sejak awal memang niatnya untuk korupsi dan menyalahgunakan
wewenang.
Beberapa hari lagi, Pemilihan Kepala
Daerah serentak akan dilaksanakan. Apakah pemilik hak suara siap mempertahankan
hak suaranya dari godaan uang layaknya monyet mempertahankan pisangnya dari
godaan uang ratusan ribu rupiah?