Senin, 04 Maret 2013

Apa itu Subprime Mortgage?


Ada begitu banyak orang yang tahu bahwa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 yang kemudian berdampak pada krisis global pada waktu waktu sesudahnya. Lebih dari itu, ada juga yang memahami bahwa awal dari krisis ekonomi ini adalah macetnya kredit perumahan subprimer (suprime mortgage). Namun demikian, tidak banyak yang benar-benar paham mengenai kejadian yang sebenarnya pada dunia kredit perumahan AS pada waktu itu. Lewat tulisan ini, penulis ingin mengurai lebih rinci dan berusaha untuk secara sederhana menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Tulisan ini banyak memuat pengakuan dari Lawrence McDonald, seorang mantan Wakil Presiden Lehman Brothers. Lehman Brothers adalah firma keuangan yang bangkrut pada hari Senin 15 September 2008 setelah dibangun selama 158 sebagai ksatria perbankan yang cemerlang dan masuk big four di AS maupun di dunia. Kebangkrutannya sangat mempengaruhi ekonomi AS dan ikut menjadi penyebab krisis global 2008.

Bagaimana ini semua berawal? Alan Greenspan, pemimpin Federal Reserve AS, sejak tahun 2000 secara bertahap memangkas suku bunga dari 6% hingga mencapai 1% pada tanggal 30 Juni 2003. Ini adalah suku bunga terendah sejak Great Depression 1920-an. Tujuan awalnya adalah mendorong pertumbuhan ekonomi setelah sebelumnya ada krisis gelembung dot-com akibat pertumbuhan berlebihan perusahaan berbasis internet. Namun Greenspan semakin yakin untuk mencegah resesi akibat peristiwa 11/9. Suku bunga yang hanya 1% ini membuat penurunan jumlah tabungan karena akan sama saja dengan menyimpang uang dibawah bantal. Yang naik adalah kecenderungan untuk menarik kredit dari bank. Untungnya, tidak terjadi inflasi besar karena tingginya angka impor AS terhadap barang dari China sehingga dollar AS banyak yang “diangkut” ke China.

Federal Reserve AS membayangkan sebuah kondisi positif dari perekonomian akibat menekan suku bunga ini. Suku bunga yang rendah sampai 1% akan membuat pertumbuhan kredit yang tinggi dan uang yang beredar banyak secara “gratis”. Bahkan rumah dapat dijadikan sebagai ATM dengan menarik uang dari bank atas pertumbuhan nilai property. Karena kebanjiran uang maka daya beli masyarakat juga naik dan membeli banyak barang dari pasar khususnya barang yang dijual di ritel besar seperti Home Depot, Sears, dll. Penguasa ritel ini mengimpor barang dari China sehingga China pun menjadi kelebihan dollar. Dollar AS milik China ini dipakai untuk membeli simpanan pada Bendahara Negara AS lewat obligasi negara. Jadinya, AS tetap tidak kekurangan dollar meskipun impor tinggi dan tetap dapat mempertahankan suku bunga 1%. Cita-cita pertumbuhan ekonomi pun tercapai karena ada efek domino yang positif dari suku bunga rendah ini. Dalam ekonomi, ini disebut dengan Putaran Umpan Balik Positif. Hal ini akan baik jika konsisten berjalan terus menerus dan akan menguntungkan semua pihak.

Kemudian berkembang pula pemberian kredit perumahan/hipotek di AS, utamanya di California (40% dari kredit subprimer). Kredit suprimer adalah kredit yang diberikan kepada orang yang sejarah kreditnya rendah/kemampuan bayarnya lemah. Bahkan hipotek ini diberikan bukan oleh Bank melainkan oleh “bank bayangan”. Bank bayangan ini nantinya akan menjual hipotek ini ke Bank dan Lembaga Keuangan di WallStreet antara lain Lehman Brothers, Morgan Stanley, Goldman Sachs, Merill Lynch, dll. Contohnya, sebuah bank bayangan berhasil menyalurkan kredit sebanyak 1000 hipotek masing-masing bernilai USD 300.000. Hipotek ini dijual ke Lehman seharga USD 300 juta. Bunga hipotek ini sebesar 2% perbulan sehingga total pembayaran untuk masing-masing hipotek sebesar USD 500 perbulan. Pemilik rumah yang menerima hipotek tidak perlu mengajukan dokumen dan jaminan apapun karena rumah itu sendiri yang akan menjadi jaminannya. Asumsi dari pemberi kredit adalah bahwa nilai rumah itu akan terus naik secara gradual.

Lembaga Keuangan kemudian “menyulap” 1000 buah hipotek ini menjadi obligasi. Hipotek yang tadi dibeli oleh Lehman sebesar USD 300 juta misalnya, dijadikan 300 buah obligasi dengan nilai masing masing USD 1 juta. Komisi dari lembaga keuangan adalah 1% dari nilai total hipotek ini. Tiga ratus buah obligasi kemudian dijual ke pasar dengan kupon 7%-8%. Sekilas tampak bahwa lembaga keuangan ini bodoh karena merugi sebesar 5%-6%, tetapi mereka memperhitungkan bahwa bunga hipotek akan naik menjadi 9%-10% dalam waktu 2 tahun. Selama 2 tahun, pembayaran hipotek akan berada pada bunga 2% namun setelahnya akan dilakukan penyesuaian bunga dengan asumi nilai aset rumah juga meningkat 5% per tahun. Cerdas sekali asumsinya! Namun lembaga keuangan ini melupakan asumsi yang lain bahwa ada kemungkinan penerima kredit tidak akan mampu membayar kredit ini. Bayangkan saja, tadinya kewajiban pembayaran seorang penerima hipotek berkisar USD 500 perbulan. Setelah dua tahun, maka dilakukan penyesuaian bunga sehingga kewajibannya naik menjadi USD 2000 perbulan.

Obligasi ini dijual ke pihak lain dan terutama dibeli oleh bank-bank dari luar negara AS seperti HSBC, Kaupting, dll. Anda bisa membayangkan bagaimana seseorang di Eslandia meminjamkan uang kepada seseorang di daratan California. Globalisasi keuangan? Ya inilah dunia sekarang, entah apapun namanya. Penjualannya mudah karena lembaga keuangan seperti Lehman menggandeng pemeringkat kredit seperti Standard and Poor’s, Moody’s, dan Fifth Ratings. Ketiga lembaga ini memberi peringkat AAA pada obligasi ini sehingga calon pembeli obligasi sangat yakin dengan daya bayar kredit tersebut. Sebagai perbandingan, obligasi ini setara dengan obligasi negara yang diterbitkan oleh Bendahara Negara Amerika Serikat. Yunani ketika sedang sekarat karena tidak mampu membayar utang diberi peringkat BB oleh ketiga lembaga tersebut. Oleh karena ketiga lembaga ini sangat reputable, pembeli obligasi ini menjadi sangat yakin tanpa sadar mereka telah membeli kucing dalam karung—membeli kredit yang hampir mustahil dapat dibayar.

Apa dampak buruk yang mungkin terjadi?
Saya ingin mengajak anda membayangkan serentetan kejadian apabila penerima kredit gagal membayar hipotek ini. Lembaga keuangan akan hancur dan bangkrut karena harus tetap membayar obligasi yang telah dijual ke bank-bank di seantero planet. Lembaga keuangan tidak akan menerima bayaran apapun dari pemilik rumah/penerima kredit karena jelas-jelas tidak mampu bayar. Ya memang lembaga keuangan dapat menyita aset berupa rumah tetapi itu menjadi tidak ada nilainya karena lembaga keuangan butuh cash ketika obligasi jatuh tempo. Lagipula, ketika gagal bayar kredit terjadi, nilai dari rumah tersebut akan terjun bebas. Apabila lembaga keuangan besar seperti Lehman Brothers yang masuk big four bangkrut maka mustahil tidak berdampak pada keuangan dunia.

Bahaya lainnya adalah ketika ada hipotek yang gagal bayar maka akan berimbas pada obligasi yang dijual lembaga keuangan tersebut. Pihak-pihak yang biasa membeli obligasi ini menjadi takut membelinya karena takut pada resiko gagal bayar. Hal ini akan membuat ambruk pasar properti AS sehingga rumah tidak lagi dapat digunakan sebagai ATM untuk menarik kredit dari bank. Karena kesulitan memperoleh kredit, masyarakat akan mengubah pola hidupnya menjadi sederhana dan tidak lagi membeli barang-barang dari penguasa ritel seperti dijelaskan pada awal tulisan ini. Penguasa ritel seperti Home Depot dan Sears pun kemudian mengurangi jumlah impor dari China. Cadangan dollar AS yang dimiliki China pun tidak lagi sebanyak sebelumnya. Padahal Bendahara Negara AS sangat ketergantungan pada China yang memasok dollar AS dengan membeli obligasi negara agar tetap dapat menekan suku bunga 1%. Dalam ilmu ekonomi ini disebut dengan Putaran Umpan Balik Negatif.

Terlalu mudah memberikan kredit ke pihak-pihak yang sangat potensial gagal membayar tentu sangat beresiko. Secara logika sederhana pun kita tentu dapat memahaminya tetapi keuntungan yang cepat dan besar membuat sebagian orang-orang di WallStreet menutup mata. Dampaknya tentu saja krisis global pada tahun 2008 yang masih terasa denyutnya hingga kini. Bahkan negara paling liberal seperti AS yang sejak lama membawa agenda kebebasan dan menolak campur tangan pemerintah sampai titik terendah harus menelan ludahnya sendiri. Kongres AS menyepakati paket bantuan untuk beberapa perusahaan besar di AS yang terancam bangkrut senilai USD 700 Miliar melalui program TARP (Troubled Assets Relief Program). Dana ini menjadi penyambung hidup bagi perusahaan seperti Frannie, Freddie, AIG (perusahaan asuransi terbesar di dunia), General Motors, Goldman Sachs, Bank of America, Citigorup. Perusahaan raksasa ini hampir semua memiliki anak perusahaan yang menyalurkan hipotek secara mudah dan kemudian hancur akibat gagal bayar. Bantuan semacam ini tentu saja pamali bagi negara laissez faire sekelas AS.

Lima tahun telah berlalu, disaat denyut krisis global itu masih terasa, saya justru baru saja memahami apa yang terjadi di AS. Baru awal 2013 saya benar-benar mengerti tentang suprime mortgage itu. Sederhana saja, meminjamkan uang kepada orang yang kita tahu tidak akan mampu membayar lagi.

Kapan terakhir kali anda meminjamkan uang dan tidak kembali? Haha