Selasa, 05 Februari 2013

To Build International Trade a New



Setelah negara-negara di dunia yang menyepakati General Agreement on Tariff and Trade, secara bertahap di seluruh belahan dunia terjadi pengurangan hambatan tarif dan non tarif perdagangan internasional. Jika dilihat lebih ke belakang, gagasan ini terjadi sejak depresi besar yang melanda Amerika Serikat tahun 1920-an, dimana ketika itu terjadi proteksi luar biasa dalam perdagangan bahkan dapat disebut sebagai perang tarif. Terlebih lagi gagasan yang lazim disebut perdagangan bebas ini sangat didukung oleh ekonom penganut mazhab Adam Smith.

Namun faktanya kini sekalipun pengurangan atau penghapusan tarif tidak menghapus sentimen dan kebijakan tentang proteksionisme, negara-negara di dunia justru mencari jalan keluar lain untuk “memproteksi” dirinya. Tak mengherankan jika kemudian penurunan tarif di negara-negara maju kemudian secara cerdik dibarengi dengan munculnya penghalang non tarif. Penghalang non tarif yang populer diantaranya adalah safeguard, dumping dan subsidi.

Yang terjadi sekarang bukanlah hambatan non tarif seperti dibahas sebelumnya tetapi justru penghalang-penghalang teknis lainnya. Masalah dumping dan safeguard misalnya masih bisa diatasi dengan bea masuk anti dumping dan bea masuk safeguard dan sudah lazim dalam tatalaku perdagangan internasional. Berbeda dengan penghalang-penghalang teknis lainnya yang sedikit sulit diselesaikan karena belum diantisipasi dalam sistem perdagangan internasional. Tidak bermaksud mendiskreditkan negara maju, namun memang hal ini sepertinya secara sengaja dibiarkan sebagai intrumen proteksi negaranya. Akal-akalan.

Secara historis, Amerika Serikat pernah bertarung hebat dengan Meksiko terkait dengan ekspor alpukat dari Meksiko ke AS yang dianggap membawa lalat buah. Brazil juga pernah merasakan restriksi perdagangan dari AS terkait dengan dugaan kontaminasi penyakit kuku dan mulut. China bahkan memperkirakan 90% produk pertaniannya terpengaruh oleh penghalang yang bersifat teknis dan mengalami kerugian sekitar 9 miliar dollar. Sekarang “perang restriksi” tampaknya terjadi juga antara Indonesia dan AS.

Dalam laporan Appellate Body World Trade Organization tanggal 4 April 2012 dinyatakan bahwa Amerika Serikat melanggar ketentuan WTO dalam hal diskriminasi dagang terkait rokok beraroma. AS melanggar artikel 2.1 pada perjanjian Technical Barriers to Trade (TBT) WTO. Kasus ini berawal dari Family Smoking Prevention and Tobacco Control Act di AS. Undang Undang tersebut melarang produksi dan perdagangan rokok beraroma, termasuk rokok kretek dan rokok beraroma buah-buahan. Namun ketentuan ini mengecualikan rokok mentol produksi dalam negeri AS. Hal ini banyak merugikan pabrikan rokok Indonesia yang mengekspor rokok ke AS sehingga Indonesia mengajukan kasus tersebut ke WTO. Namun kasus ini agaknya mengecewakan kita karena sekalipun WTO telah memaksa AS untuk membuka kembali legalitas perdagangan rokok kretek ini, AS tetap tidak menjalankannya.

Ini bukan kasus satu-satunya terkait diskriminasi dagang yang dilakukan oleh AS terhadap Indonesia. Pada 27 Januari 2012, Pemerintah AS menerbitkan notifikasi Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) terkait standar bahan bakar dari sumber yang dapat diperbaharui. Notifikasi ini menegaskan bahwa bahan bakar minyak nabati dari CPO Indonesia belum memenuhi standar terbarukan. Kasus ini memang tidak sampai dibawa Indonesia ke WTO, hanya sebatas menyampaikan sanggahan. AS menjanjikan akan melakukan pengecekan terhadap CPO Indonesia apakah benar-benar ramah lingkungan. Alasan lingkungan ini hanyalah alasan yang dibuat-buat karena dapat dipahami bahwa intensi AS adalah untuk melindungi minyak nabati berbahan baku jagung dan kedelai.

Belum berhenti disitu, The Walt Disney Company juga menambah panjang kasus boikot terhadap produk RI yakni boikot terhadap kertas made in Indonesia. Hanya saja kasus boikot kertas ini agak berbeda karena dilakukan oleh perusahaan, bukan oleh pemerintah seperti kejadian rokok dan CPO.

Beberapa hari terakhir di media cetak nasional pembahasan terkait pengaturan impor hortikultura yang dilakukan oleh Kementrian Pertanian dan Kementrian Perdagangan juga hangat dibicarakan. Sebabnya adalah permohonnan peninjauan oleh AS kepada Dispute Settlement Body WTO atas kebijakan pemerintah RI ini. AS menilai hal ini mengganggu aliran ekspor produk hortikultura dari AS ke Indonesia dan terkhusus lagi ekspor daging sapi. Seorang ekonom nasional, Bustanul Arifin malah menilai ini sebagai sikap yang berlebihan karena pada dasarnya porsi ekspor daging sapi AS ke Indonesia hanya 15%. Bahkan China yang merupakan pemasok utama untuk produk hortikultura tidak berkeberatan dengan kebijakan Indonesia ini.

Fakta-fakta tersebut menambah keyakinan bahwa perdagangan bebas bukanlah konsep perdagangan yang ideal. Perdagangan yang ideal adalah perdagangan yang adil. Menurut Nobel Laureate, Joseph Stigliz, perdagangan yang adil adalah sebuah sistem perdagangan yang akan timbul jika semua subsidi dan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dihilangkan. Jika dibaca secara sekilas, konsep dari Stigliz ini sama saja dengan konsep perdagangan bebas. Bedanya justru terletak pada legal atau tidak legalnya hambatan non tarif diberlakukan. Penurunan hambatan tarif menjadi fokus dari perdagangan bebas tetapi hambatan non tarif diberlakukan secara terselubung. Hambatan non tarif yang diberlakukan secara terselubung ini justru mengorbankan negara-negara berkembang. Kita bisa melihat dengan jelas kasus alpukat Meksiko, daging Brazil, dan rokok serta CPO dari Indonesia. Bahkan sekalipun WTO telah mengeluarkan putusannya terkait keberatan yang diajukan Indonesia, AS tetap tidak menjalankannya. WTO seakan-akan powerless menghadapi superpower ini.

Perdagangan bebas hanya menguntungkan satu pihak dan membebani pihak lain. Bahkan dengan catatan, masyarakat yang negaranya merasa diuntungkan belum tentu merasakan keuntungan. Contohnya, saat ini kesepakatan internasional melarang semua bentuk subsidi kecuali untuk barang-barang pertanian. Kondisi tersebut tentu saja menekan pendapatan di negara-negara berkembang yang tidak mendapatkan subsidi karena produk mereka kalah di pasar internasional. Dan oleh karena sekitar 70% masyarakat di negara-negara berkembang secara langsung maupun tidak langsung menggantungkan hidup mereka pada bidang pertanian, pendapatan negara-negara berkembang mengalami penurunan. Namum bagaimana dengan petani-petani di negara maju, apakah mereka juga menikmati keuntungan dari subsidi ini? Tidak juga karena sebagian besar subsidi pertanian di negara maju juga dinikmati oleh kartel dari perusahaan pertanian besar seperti Cargill dan Bayer.

Oleh karena itu katakan saja tidak pada perdagangan bebas, dan mulailah membangun suatu tatanan baru untuk perdagangan yang adil.