Sabtu, 15 Desember 2012

Que Leges sine Moribus



Korupsi sudah menjadi permasalahan panjang dan serius sejak berabad-abad lalu, terbukti lewat tulisan PM Chandragupta tentang 40 cara mencuri kekayaan negara di India sekitar 2300 tahun lalu. Bahkan selama Abad Pertengahan di Eropa, ketika Gereja Katolik Roma terus memegang kekuasaan, dengan Paus sebagai pemegang kekuasaan atas semua jenjang kehidupan dan hidup seperti raja, korupsi dan ketamakan dalam kepemimpinan gereja adalah hal yang umum. Di China ribuan tahun lalu,ada Yang-lian yakni hadiah untuk pejabat negara yang bersih sebagai cara menekan korupsi. Begitu juga di Hindia Belanda di awal abad ke 20, VOC bangkrut karena korupsi. Hal ini berlanjut terus hingga Indonesia merdeka di era Orde Lama, Orde Baru hingga saat reformasi yang salah satu sebabnya adalah  masalah  korupsi. Setelah reformasi pun korupsi terus terjadi bahkan skalanya semakin masif di hampir seluruh lembaga negara, menggurita dan mencengkram negara Indonesia.

Korupsi yang terjadi Indonesia secara teoretis wajar terjadi karena masih bergerak pada fase transisi politik dan ekonomi menuju demokrasi. Ketika kendali otoriter diruntuhkan melalui liberalisasi ekonomi (partisipasi) dan demokratisasi politik (transparansi), namun belum digantikan oleh mekanisme check and balances yang demokratis serta institusi yang mendapat pengakuan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas); tingkat korupsi akan meningkat dan mencapai puncaknya sebelum declining sampai pada sistem pemerintahan yang benar-benar demokratis sempurna.

Memahami korupsi di Indonesia tepat bila menggunakan persamaan Klitgaard yaitu C=D+M-A. C=Corruption, M=Monopoly, D=Discretion, A=Accountability. Artinya adalah bahwa korupsi bisa terjadi apabila seseorang mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu  dan ditunjang oleh diskresi (mengambil kebijakan diluar ketentuan) dalam menggunakan kekuasaannya sehingga akan cenderung menyalahgunakannya, serta kurang dalam hal pertanggungjawabannya. Oleh karena itu jelas bahwa korupsi adalah masalah sistem dan sangat erat kaitannya dengan kewenangan/kekuasaan. Dari persamaan Klitgaard dapat dilihat bahwa di dalam KPK sendiri sebagai intitusi pemberantasan korupsi terdapat potensi masalah bawaan karena wewenangnya yang sangat besar. Lord Acton mengatakan bahwa power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Maka dari itu, solusi pemberantasan korupsi yang hanya fokus pada  penegakan hukum tidaklah terlalu tepat. Pendekatan moral dan etika, edukasi, dan sosiologis harus diutamakan berbarengan dengan penegakan hukum. Pendekatan ini perlu karena “Korupsi merupakan produk konstruksi sosial. Korupsi di kalangan bawah adalah hasil konstruksi sosial dan terkait dengan korupsi kalangan atas yang lebih dahsyat” (William J Chambliss,1975). Dalam Penjelasan UU no 30 tahun 2002 tentang KPK pun disebutkan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga pemberantasannya pun harus dengan menggunakan cara-cara luar biasa.

Dalam prosesnya, penegakan hukum hendaknya dilakukan secara senyap namun menebas tanpa pandang bulu.  Pola kerja penegak hukum terkait korupsi, dalam hal ini KPK, dapat dilakukan sepeti Densus 88 yang menindak terorisme secara fokus hingga ke akar-akarnya. Penyelesaian terhadap penindakan kasus korupsi juga hendaknya memberi dampak penjeraan yang kuat. Hukuman terhadap koruptor layak untuk dibuat lebih berat bahkan memungkinkan untuk hukuman mati tetapi dengan satu syarat mutlak yaitu penegak hukum harus sudah siap dan tidak tebang pilih. Penerapan UU Pencucian Uang dan Asas pembuktian terbalik juga mutlak dilaksanakan agar tujuan pemiskinan koruptor bisa tercapai. Sejalan dengan itu, Indonesia juga perlu meratifikasi anti-illicit enrichment (kekayaan yang diperoleh secara tidak sah) seperti tertuang di United Nations Conventions Against Corruption pasal 20.

Jika tidak dibarengi dengan hukuman yang berat, pemiskinan koruptor dan sanksi sosial dari masyarakat, penegakan hukum tidak akan berdampak signifikan. Pada praktiknya di Indonesia, seorang pejabat yang dituduh korupsi dan bahkan telah divonis bersalah sekalipun, bisa jadi masih mendapat tempat terhormat di masyarakat. Ini dapat dipahami sebagai bagian dari masih suburnya budaya feodalisme di Indonesia. Namun sebagai bagian dari orkestrasi penanganan korupsi, perlu dibangun gerakan moral untuk memberikan sanksi sosial bagi koruptor. Sanksi sosial dapat berupa menyita seluruh hak milik (diserahkan ke negara), memberlakukan kerja sosial, menjadikan keluargnya (suami/istri dan anak) sebagai anak negara dan melokalisasi mereka dalam kluster hunian khusus. Mengingat risiko berupa sanksi sosial yang berat, calon koruptor akan berpikir berulang kali untuk melakukan korupsi.
            
Perlu diperhatikan bahwa institusi penegak hukum tidak boleh terlalu bereuforia dengan banyaknya penindakan kasus korupsi. Semakin banyak kasus korupsi yang terbongkar adalah prestasi namun disisi lain merupakan gambaran bahwa tingkat korupsi tidak menurun. Seharusnya apabila upaya pemberantasan korupsi berhasil maka dari tahun ke tahun semakin sedikit politisi dan birokrat yang ditangkap karena kasus korupsi.
            
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan berhasil apabila hanya bertumpu pada institusi penegak hukum semata karena korupsi telah menyentuh hampir seluruh aspek kenegaraan dan kebangsaan. Solusi penanganan korupsi  yang terbaik adalah dengan melibatkan partisipasi seluruh elemen masyarakat dalam sistem pemberantasan korupsi yang holistis (menyeluruh). Perlu perbaikan sistem pada semua level pemerintahan dan semua struktrur sosial masyarakat. Tujuannya jelas sangat strategis yaitu menjadikan korupsi dari beresiko kecil dengan keuntungan besar menjadi beresiko tinggi dengan keuntungan kecil. Konsep ini merupakan gerakan anti korupsi yang melibatkan masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah. Proses ini tentu saja bukanlah seperti racun kontak yang langsung mematikan namun dapat memberantas korupsi sampai pada level yang dapat diterima dan meningkatkan integritas dalam tata pemerintahan secara keseluruhan.
            
Sebagai pondasi awal dari keseluruhan sistem ini perlu dibangun sistem nilai moral. Nilai nilai moral anti korupsi dalam masyarakat khususnya masyarakat usaha yang terkait dengan birokrasi. Kebiasaan  menyerahkan “upeti” layaknya warisan budaya feodalisme sudah saatnya ditinggalkan dan perlu digaungkan suatu gerakan nasional mengenai hal ini. Harus dibangun budaya bahwa compliance terhadap aturan adalah keunggulan kompetitif dari entitas bisnis. Dengan cara ini kita tidak akan melihat lagi percobaan penyuapan terhadap pegawai pajak dan beacukai, misalnya.
            
Nilai pondasi kedua harus dibangun awareness dan sikap peduli dari masyarakat akan kondisi pemerintahan. Kalangan menengah yang selama ini dianggap apatis terhadap kondisi pemerintah perlu terus menerus bergerak memobilisasi kekuatannya untuk “menekan” pemerintah agar tetap on the track. Masyarakat menjadi watchdog terhadap jalannya pemerintahan.
            
Diatas pondasi moral tersebut, kita juga membutuhkan perbaikan pada lembaga legislatif agar sistem pemerintahan Indonesia tidak menjadi legislative heavy. Perlu ada pemisahan peran yang jelas, dan anggota legislatif dibatasi perannya pada pembuatan undang-undang, meluruskan politik anggaran dan mengawasi pemerintah. Lobi-lobi kelompok kepentingan untuk mengarahkan produk legislasi perlu dihindari dan yang paling penting kelak sistem perwakilan di Indonesia harus disempurnakan menjadi sistem dua kamar sempurna (Hamzah,2012). Adalah penting juga mereduksi keterlibatan lembaga legislatif pada pembahasan anggaran cukup sampai level kebijakan saja. Selama ini lembaga legislatif terlibat mulai dari penyusunan kebijakan, program, proyek dan bahkan kegiatan, yang memungkinkan adanya deal-deal dengan pengusaha dan kepentingan lain. Korupsi di DPR akhir-akhir ini yang terbanyak adalah karena masalah ini, baik itu dengan pengusaha maupun satuan kerja pemerintahan yang membutuhkan alokasi anggaran.
            
Lembaga eksekutif dipimpin oleh kepala pemerintahan yakni Presiden harus menunjukkan keteladanan dan berpijak pada etika. Pesan keteladanan akan tersampaikan lewat media massa yang bebas. Fokus perbaikan sistem di eksekutif yang penting adalah pengadaan barang dan jasa publik, proses pengambilan keputusan yang terhindar dari konflik kepentingan serta hubungannya dengan lembaga peradilan.
            
Birokrasi sebagai pelaksana dari eksekutif harus membangun budaya melayani publik dalam menjalankan kebijakan. Tiap-tiap lembaga pemerintahan harus didorong terus menerus untuk berlomba dalam pelayanan publik dan harus ada reward untuk lembaga yang menurut persepsi publik telah memberikan pelayanan maksimal. Untuk menyelesaikan masalah desentralisasi keuangan negara ke daerah, perlu dilatih lebih banyak akuntan yang kompeten dan berintegritas agar mampu mensuvervisi daerah dalam hal pertanggungjawaban keuangan yang lebih transparan dan akuntabel.
            
Khusus untuk penyelenggara negara dan PNS diwajibkan untuk menyerahkan laporan kekayaannya. Dan diberikan konsekuensi bagi yang tidak bersedia menyerahkan laporan kekayaannya. Untuk PNS mungkin diberikan sanksi penundaan kenaikan pangkat/golongan sehingga ruang gerak untuk menerima uang gratifikasi semakin berkurang. Pemeriksaan laporan kekayaan memang membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit dan perlu dibangun sistem yang baik untuk itu.
            
Lembaga peradilan harus independen, tidak memihak dan mampu menjalankan fungsinya untuk memastikan bahwa jalannya pemerintahan telah sesuai dengan undang-undang. Lembaga lain bertanggung jawab kepada rakyat, tetapi khusus lembaga peradilan bertanggung jawab pada nilai-nilai yang jauh lebih tinggi. Penting juga untuk meningkatkan kesejahteraan hakim sampai pada level cukup atau lebih dari cukup untuk  karena dengan kesejahteraan yang minim dan potensi godaan yang tinggi, suap akan tetap terjadi.
            
Korupsi politik yang terjadi melibatkan partai politik juga harus diselesaikan dengan membangun sistem yang komprehensif. Perlu dilakukan reformasi dalam pembiayaan untuk kampanye politik karena sistem pemilu di Indonesia menuntut dana yang tidak sedikit. Jika dana partai politik tidak bisa diperoleh secara legal, biaya amat besar untuk kampanye politik bisa memunculkan korupsi. Solusi mewajibkan partai politik yang ikut pemilu diperiksa Badan Pemeriksa Keuangan dalam hal pembiayaan kampanyenya. Selama ini keuangan partai politik belum tersentuh padahal sangat penting untuk tahu sistem pendanaan partai politik untuk mengetahui adanya interest dari donatur donatur parpol yang kelak akan mempengaruhi kebijakan parpol.
            
Semakin luas transparansi dan keterbukaan yang dikembangkan masyarakat, makin banyak informasi yang dapat diserap oleh masyarakat. Karena itu tidak mungkin masyarakat menyerap semua informasi yang tersaji. Di sini peran media menjadi sangat penting untuk mernyaring semua informasi setiap hari, memilih dengan arif sambil mempertimbangkan kepentingan publik. Media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen. Pemilikan media secara perorangan sangat berbahaya bagi sistem demokrasi. Tingkat kebebasan media adalah tingkat yang dapat dicapai untuk melaksanakan fungsi pengawasan yang efektif atas perilaku pejabat publik.      
            
Masyarakat yang apatis terhadap hak-haknya, membuka peluang yang besar bagi terjadinya korupsi. Untuk tujuan ini, dibutuhkan kampanye terus-menerus untuk menumbuhkan kesadaran warga masyarakat, terutama kesadaran tentang kerugian akibat korupsi. Media massa merupakan alat ampuh untuk membongkar kasus-kasus korupsi, sekaligus merangsang pertumbuhan kesadaran warga masyarakat. Disini juga perlu peran LSM untuk melakukan edukasi anti korupsi pada masyarakat dan mengorganisir masyarakat dalam mengontrol jalannya pemerintahan mulai dari yang paling kecil yakni pemerintahan desa.
            
Pentingnya Moral
            
Horace menyampaikan sebuah pendapat yang populer yaitu  “Quid leges sine moribus (Roma)—apa artinya hukum jika tak disertai moralitas?”. Seberapapun baiknya sistem pencegahan korupsi yang dibangun dan betapapun baiknya hukum yang dibuat untuk memberantas korupsi, semuanya akan sia-sia jika tidak disertai moralitas. Absennya moralitaslah yang membuat pejabat mengambil keputusan-keputusan diluar akal sehat dan nurani. Absennya moralitas juga membuat kita sulit membedakan antara benar-salah, baik-buruk, wajar-tidak wajar. Maka dari itu, pondasi moralitas adalah mutlak sebelum memulai gerakan pemberantasan korupsi ini.

(Artikel ini membawa saya menjuarai sebuah kompetisi artikel antikorupsi di Semarang)